KETAKUTAN dan kegelisahan perempuan kian bertambah seiring berjalannya waktu. Perempuan yang dicap sebagai individu lemah, tak berdaya, dan lebih peduli terhadap pandangan orang lain, seakan menjadi sasaran empuk tindak kekerasan dan pelecehan.
Kasus pelecehan terhadap perempuan kian meningkat dari masa ke masa, korbannya tidak memandang usia, baik dewasa, remaja, maupun anak-anak—bahkan, dilansir dari Tatkala.co, dalam satu bulan pada tahun lalu terjadi satu kasus kekerasan seksual terhadap anak di Buleleng.
Ironisnya, pelecehan seksual sering terjadi di tempat umum, di jalan, dan kendaraan umum.
Misalnya yang terbaru, terjadi aksi bejat begal payudara di Kabupaten Buleleng, Bali. Kali ini korbannya adalah seorang perempuan berusia 29 tahun berasal dari daerah Kecamatan Sawan, Buleleng. Ia bahkan nyaris diperkosa oleh pria yang meraba tubuhnya di jalanan.
Kejadian tersebut bermula ketika korban melintas di jalan di wilayah Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Senin, 19 Juni 2023. Tiba-tiba, seorang pria tak dikenal mendekat dan langsung melecehkannya dengan cara meremas payudaranya.
Peristiwa semacam tentu bukan peristiwa pertama yang terjadi di Bali, apalagi di Indonesia. Pelaku biasanya beraksi pada malam hari dan memanfaatkan jalan-jalan yang sepi. Pelaku akan mempepet motor korban dan dengan tidak senonoh mencoba memegang dada atau paha korban. Hati-hati!
Dan orang-orang yang melakukan pelecehan seksual di tempat umum termasuk ke dalam golongan orang yang mengalami gangguan kejiwaan, yang biasa dikenal dengan istilah megalomania.
Dilansir dari Halodokter, megalomania merupakan keadaan di mana seseorang yang mengalaminya merasa bahwa dirinya memiliki kekuatan, kekuasaan, kecerdasan dan merasa dominan. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa semua perbuatannya tidak salah dan cenderung akan mengulanginya.
Pelaku pelecehan seksual di tempat umum cenderung orang yang percaya diri (dalam hal negatif), mereka tidak akan peduli dengan dampak perbuatannya ataupun kondisi korban atas ulahnya.
Parahnya, pelaku pelecehan seksual menganggap bahwa situasi tersebut terjadi karena kesalahan si korban yang memberi kesempatan kepada pelaku untuk berbuat demikian, atau yang dikenal dengan istilah victim blaming.
Bentuk-bentuk victim blaming
Seringkali korban (perempuan) mendapatkan perilaku tidak adil dari masyarakat. Setiap kali terjadi kasus pelecehan seksual, mereka justru menyudutkan korban yang menyebabkan kejadian tersebut.
Biasanya mereka akan berkata, “Makanya kalo pakai baju yang bener”. Atau, “Pake pakaian jangan yang seksi-seksi”. Dan, “Jangan mancing laki-laki, kucing aja dikasi ikan pasti disamber.”
Lalu, bagaimana dengan korban pelecehan seksual yang memakai pakaian tertutup? Seperti korban pelecehan seksual yang baru-baru ini terjadi di Seririt, Buleleng, Bali? Korban memakai jilbab, memakai pakaian tertup, tapi nyatanya masih juga ada bajingan yang mencoba meremas dadanya ketika sedang berkendara.
Selain karena pakaian yang terbuka, masyarakat juga sering menjudge korban karena keluar malam-malam sendirian. Lantas, bagaimana bila keadaan urgent yang mengharuskan perempuan untuk keluar malam, sedangkan tidak ada yang bisa menemani, seperti tuntutan pekerjaan, misalnya?
Penyebab victim blaming
Fenomena victim blaming sering terjadi di masyarakat, barangkali hal ini juga dipengaruhi oleh budaya patriarki, di mana posisi laki-laki lebih dominan, lebih berpengaruh, sementara perempuan diposisikan sebagai bawahan.
Akibatnya, laki-laki menuntut rasa hormat dan kepatuhan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Selain itu, perempuan dianggap sebagai individu yang lemah, tidak berani melawan laki-laki—sosok yang lebih dominan, kuat dan berkuasa.
Rendahnya pengetahuan hukum terkait kekerasan seksual juga mempengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga mereka menganggap bahwa korban pantas mendapatkan perlakuan tersebut karena tidak bisa menjaga diri.
Dampak victim blaming
Karena adanya victim blaming korban sering kali menyalahkan dirinya dan menganggap bahwa pelecehan seksual yang dialaminya sebagai aib yang harus ditutupi.
Korban tidak akan berani menceritakan kejadian yang dialami karena takut akan disudutkan dan dihakimi oleh masyarakat alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Karena anggapan pelecehan seksual sebagai aib, maka korban pelecehan seksual tidak berani melaporkannya kepada pihak terkait, takut bahwa kasusnya akan menyebar dan diketahui banyak orang.
Korban akan merasa bahwa tidak ada yang akan mendukungnya. Hal ini juga semakin meningkatkan keberanian pelaku pelecehan seksual untuk beraksi.
Pelecehan seksual sangat berdampak pada kondisi psikologis korban yang bisa menimbulkan trauma seumur hidupnya dan mengganggu aktivitas kesehariannya.
Korban pelecehan seksual mudah cemas, takut bertemu orang baru, kehilangan rasa percaya pada orang lain, serangan panik yang tiba-tiba terjadi, menyalahkan diri sendiri, bahkan sampai melakukan tindakan bunuh diri.
Pelecehan seksual bukanlah aib atau kesalahan yang harus ditanggung oleh pihak korban—kalau diibaratkan seperti kata pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”. Sebab, dalam kasus pelecehan seksual, korban akan sangat dirugikan, mereka harus menimpa kekerasan seksual yang berpengaruh pada fisik maupun psikis, ditambah sanksi sosial yang seakan-akan menyudutkan korban.
Lalu, di mana letak keadilan bagi korban pelecehan seksual? Kenapa korban yang harus menanggung semua akibat dari kejadian tersebut? Apa karena korban adalah perempuan sedangkan pelaku adalah laki-laki? Atau barangkali pemikiran masyarakat yang sudah dipasung oleh budaya patriarki? Entahlah. Sebagai seorang perempuan, saya hanya bisa berkata: lawan, dengan cara apapun![T]