DI KALANGAN PEGIAT SASTRA, saya suka menyebut diri saya sebagai seorang penyusup. Dan di Komunitas Mahima, saya diterima dalam sebuah pondok yang hangat.
Kenapa penyusup? Ini sekadar istilah, yang saya gunakan semata-mata karena pandangan umum dari masyarakat biasa, latar belakang maupun pekerjaan saya yang jauh dari dunia sastra. Meskipun menurut saya, sastra memang bukan hanya sebuah kreatifitas dan penciptaan belaka. Sastra, menurut saya merupakan pilihan cara untuk memandang kehidupan, dapat diterapkan kapan di mana saja.
Dan soal pondok hangat di Komunitas Mahima, saya kemudian meyakini, itu bukanlah sebuah keistimewaan untuk saya belaka. Karena sastra selalu menyediakan kehangatan untuk siapapun yang datang kepadanya. Soal kemewahan-kemewahan itu, saya akan kemukakan sekarang.
Pertama-tama, tentang cerita. Hari ini, dalam kepungan media digital, kisah dan cerita seakan wajib mewah untuk disimak dan disukai atau viral.
Untuk mewah, maka konten tak mungkin yang biasa-biasa saja, ia butuh cerita ekstrim dan luar biasa. Dan nilai baru diperoleh ketika ada pengakuan ribuan atau jutaan like dan subscribe. Meskipun masih ada ruang, namun topik-topik sederhana yang sering kita abaikan, kita lupakan, rasanya bukan menjadi pilihan yang terlalu menarik. Umpamanya membahas keunikan dan pergeseran model nama-nama orang Bali, tarif praktek seorang dokter, mendengarkan kisah seorang sopir ambulance atau tukang parkir.
Sastra mengajak kita memberinya pondok-pondok yang hangat buat dibahas, dipahami bahkan diistimewakan. Maka, segala peristiwa memiliki nilai saat kita memberinya nilai. Segala kisah takkan berarti apa-apa jika kita tak memberinya makna.
Jika boleh disebut nyaris tidak ada, referensi saya dalam dunia sastra betul-betul sedemikian minimal dan terbatas. Nyatanya saya tetap percaya diri dan nyaman terlibat dalam diskusi-diskusi sastra bersama Komunitas Mahima atau menulis, terutama melalui platform media digital Tatkala.co dan juga tulisan-tulisan di media sosial (medsos). Juga menulis cerita pendek (cerpen) dan mencetak buku.
Mungkin karena bagi saya, sastra bukan melulu hasil karya sebuah proses penciptaan, namun sekali lagi, lebih dari itu, sastra adalah sebuah cara pandang. Cara pandang yang memberi ruang kolektivitas, bagi kelima atau mungkin keenam indera kita. Dari itu, kita akan temukan setiap kisah atau peristiwa memiliki keunikannya sendiri, keistimewaannya masing-masing.
Satu kisah yang menarik dan mengesankan, dapat lahir dari peristiwa sederhana yang kita ceritakan dengan semangat, kecintaan dan kerendahan hati. Maka, sebuah buku yang telah diciptakan adalah lembaran-lembaran cinta demi cinta hati, kelembutan perasaan dan kekuatan pikiran insani.
Pondok yang hangat bagi seorang penyusup, akan selalu sebuah berkat dan kemewahan. Ia bukanlah bangunan fisik dengan segala ornamennya, melainkan sebuah ekosistem dengan spirit dan tantangan bagi kita untuk menulis dan bercerita, Komunitas Mahima. Yang mungkin saja hanyalah dedaunan yang kering, yang terjatuh ke tanah dan akan segera sirna tersapu angin atau sapu lidi.
Namun, dedauan kering yang telah mengingatkan kita akan siklus penciptaan energi maha penting oleh pepohonan hijau melalui proses fotosintesis. Ekosistem yang tetap menjaga sepoi-sepoi angin semilir di hadapan gelombang besar media digital. [T]