FOTOGRAFI DAN OLAHRAGA adalah kawan lama. Tidakkah ada yang bertanya mengapa para atlet sepakbola, misalnya, repot-repot berpose sebelum pertandingan? Atau, mengapa fotografer ditempatkan di atas lapangan, yang notabene berada dalam satu tataran dengan pemain dan pelatih?
Barangkali tokoh yang satu ini dapat menjawabnya: Dicky Bisinglasi, seorang Jurnalis Visual dan Fotografer Dokumenter Indonesia yang sekarang tinggal di Bali.
Dicky Bisinglasi, atau akrab dipanggil Dicky, lahir di Malang pada tahun 1987, dan memulai karier profesionalnya pada 2014 sebagai staf jurnalis foto untuk sebuah surat kabar lokal.
Pada 2019, ia memutuskan untuk menjadi pekerja lepas penuh waktu di jurnalisme foto dan video untuk beberapa media internasional.
Dicky Bisinglasi / Foto: Dok. Pribadi
Laki-laki keturunan NTT itu mengaku, sejak kecil ia sudah menyukai seni visual. Dicky suka menggambar-melukis sejak TK sampai SD. “Bahkan SD sudah mulai motret juga. Waktu itu pakai kamera film point and shoot alias tustel, brand Fujifilm, yang tinggal jepret tanpa mikirin exposure. Cuma nggak sering. Lebih dominan lukis dan gambar,” terangnya kepada Tatkala.co, Senin (15/5/2023) sore.
Namun sayang, kegemarannya memotret agak berkurang sejak ia masuk SMP, bahkan berlanjut sampai SMA. “Agak ninggalin seni visual, karena pindah ke seni musik. Tapi sesekali masih menggambar,” ujarnya.
Ia kembali ke “pelukan” fotografi lagi pada 2009, saat kuliah di Ilmu Komunikasi. Ia mengatakan, saat itu, ada mata kuliah dasar-dasar fotografi, dari sana ia mulai serius mengenal fotografi.
Dicky semakin serius mempelajari dan menekuni dunia fotografi ketika masuk klub fotografi kampus. Namanya JUFOC (JUrnalistik FOtografi Club). Di JUFOC, katanya, banyak seniornya yang sudah jadi photojournalist. “Awalnya ikut hype-nya doang sih, belum yang terinspirasi gimana-gimana. Malah pernah cuti kuliah dan nyoba kerja di bidang lain, di Bali, alih-alih jadi fotografer, apalagi photojournalist,” katanya sambil tertawa.
Tetapi, pada tahun 2012, Dicky mulai aktif kembali di JUFOC. Beberapa kali ia mencoba ngejob—walaupun lebih banyak ngejob komersial—dan sesekali membantu majalah otomotif sebuah brand motor sebagai freelancer.
Memulai karier profesional
Dicky bergerita: tahun 2014 ada pelatihan foto story oleh salah seorang senior di JUFOC. Namanya Lukman Bintoro, seorang photojournalist untuk media Australia di Bali waktu itu. Saat itu tugasnya adalah bikin coverage foto story tentang difabel.
“Dari situ saya (benar-benar) mulai mengenal fotografi jurnalistik lebih serius lagi, terutama esensinya: kenapa orang motret jurnalistik, dan untuk apa. Di kemudian hari saya merasa, tanpa pemahaman esensi ini, orang tidak akan paham apalagi terjun ke dunia photojournalist,” ungkapnya, menjelaskan.
Lukman Bintoro, fotografer yang diakui Dicky sebagai mentornya, tak hanya memberikan pengetahuan tentang foto story saja, tapi juga memberinya sebuah scarf (syal) dari Kamboja.
“Namanya Krama, yang dia dapat saat workshop foto Angkor Photo di sana. Saat itu dia bilang, ‘Ini adalah lambang perjuangan rakyat Kamboja’. Setelah itu saya jadi berpikir banyak hal, dari apa artinya, dan kenapa ini dipakai banyak jurnalis foto,” ucapnya, mengenang.
Ia tak paham betul apa makna di balik itu semua, yang jelas, pemikiran-pemikiran esensial tersebut semakin menginspirasinya untuk, suatu saat, terjun ke dunia foto jurnalistik.
Akhirnya, pada September 2014, kesempatan itu datang. Sebuah koran di Malang membutuhkan jurnalis foto. Ya, di koran Malang Post Dicky mengawali karier profesionalnya hingga 2019.
Di sana ia belajar banyak hal, dari ilmu jurnalistik, sampai telnis fotografi—di sana ia dituntut dapat motret apapun dalam kondisi apapun. Tetapi, menurutnya, mental itu yang membentuk karakternya sampai skarang.
Dan, pada tahun 2019, setelah resign dari staff koran, Dicky memutusukan menjadi freelancer dan akhirnya pindah ke Bali, sampai sekarang.
Sebagai jurnalis foto freelance, menurut pengakuannya, ia sering dituntut lebih, apalagi media asing, yang kebutuhannya tentu berbeda dari media lokal setingkat kota. Tetapi, ia belajar banyak, terutama kualitas, orisinalitas ide, dan kteatifitas ”Tidak seperti saat masih bekerja di koran dulu, yang tak terlalu risau soal kualitas,” akunya.
Karena freelance, Dicky bekerja untuk banyak media dan wire service asing, baik foto maupun video. “Di dunia jurnalistik, posisi seperti ini sering disebut visual journalist,” katanya.
Memotret olahraga
Selama di Malang Post, hampir 4 tahun lebih ia habiskan waktu untuk liputan sepakbola, khususnya klub bola Arema FC. “Saya sering motret pertandingan resmi mereka di Malang maupun di luar kota atau pulau,” katanya.
Selain memotret event-event olahraga selain sepakbola yang ada di Malang, ia mengatakan, meliput pertandingan bola juga mengasah skill-nya dalam fotografi olahraga.
“Fotografi Jurnalistik Olahraga merupakan segala bentuk fotografi yang dilakukan berkaitan dengan dunia olahraga, baik yang berupa action maupun yang bersifat dokumenter. Atau bisa juga storytelling,” terang Dicky dilansir dari Tatkala.co, Selasa (16/5/2023).
Dikutip dari Tatkala.co, Dicky mengatakan, fotografi dalam olahraga tidak hanya mengambil momen saat atlet menyundul atau menangkap bola, atau ketika seorang atlet renang melakukan lompatan indah saja, tetapi, ada kalanya beberapa momen sangat perlu untuk diabadikan. Dan tentunya, beberapa momen ini tidak kalah penting dengan foto action yang dilakukan.
“Misalnya, momen ketika pemain melakukan selebrasi atau ekspresi mengalami kekalahan. Tentu, hasil fotonya akan menjadi sebuah kenangan yang sangat berarti bagi para pemain. Terlebih lagi jika momentum itu tidak dapat terulang kembali,” tambahnya.
Dicky Bisinglasi mengabadikan momen kiper yang sedang melakukan ritual dan seorang pemain yang menunjukkan ekspresi kekalahan
Karenanya, foto adalah medium yang tepat untuk menziarahi kenangan, terutama yang terlupakan karena ingatan.
Menurut Dicky, setidaknya ada sepuluh shotlist dalam fotografi olahraga: mulai dari momen puncak action; momen bersejarah; duel kompetisi; selebrasi; ekspresi kekalahan; ekspresi penonton; insiden; ritual pemain; solidaritas; sampai hal-hal menarik lainnya.
Berbeda dengan fotografi lainnya yang lebih mengutamakan estetika, dalam fotografi jurnalistik olahraga, menurut Dicky, lebih cenderung mengutamakan story telling dari gambar yang dihasilkan. Sehingga, orang-orang yang nantinya melihat gambar tersebut dapat mengetahui jalan cerita yang terjadi.
“Fotografi dalam olahraga juga bisa menjadi media dalam membuktikan kecurangan atau menampilkan peristiwa-peristiwa yang mungkin terlewatkan oleh mata kita,” katanya.
Benar. Seperti Piala Dunia 1986, misalnya.Tepatnya kala Diego Maradona mencetak satu gol paling terkenal sepanjang masa, yaitu Gol Tangan Tuhan.
Di kala fans Inggris tak percaya Maradona mencetak gol dengan tangannya, wasit tertipu untuk mengesahkan gol tersebut, dan cuplikan siaran televisi tak pernah mampu mengungkap momen “Tangan Tuhan” secara sahih dan memuaskan, foto datang untuk memberikan bukti tak terbantahkan. Tanpa foto, peristiwa di atas hanya akan menjadi dongeng belaka.
Tahun 2021, saat pandemi Covid-19, kompetisi sepakbola Liga 1 Indonesia harus dalam sistem bubble, yang kebetulan diselenggarakan di Bali. Penyelenggara liga membutuhkan fotografer dan seorang teman merekomendasikan Dicky. “Dan masih berlanjut hingga sekarang. Senang rasanya bisa kembali “merumput” motret sepak bola lagi,” ujarnya.
Menurut Dicky, salah satu yang mempengaruhi hasil dalam fotografi olahraga, adalah shuter speed atau kecepatan rana. Kecepatan rana merujuk kepada durasi waktu pembukaan media perekam dalam kamera yang digunakan untuk pengambilan gambar.
Mode shutter speed digunakan dalam pengambilan gambar dari objek yang bergerak cepat. Dalam dunia olahraga, shutter speed biasanya digunakan seorang fotografer ketika sedang mengambil gambar dari pertandingan sepakbola, lari, lompat jauh, dan yang lainnya, terutama olahraga dengan action yang lebih banyak.
“Pengalaman saya ketika mengambil gambar saat pertandingan sepakbola, agar dapat menghasilkan foto yang bagus adalah dengan mengatur speed. Minimal saya gunakan 1/1250. Sehingga dapat menghasilkan gambar bola yang sedang ditendang, seakan-akan terhenti dan melayang di udara,” ujar Dicky dilansir dari Tatkala.co, Selasa (16/5/2023).
Dikutip dari Tatkala.co, shutter speed memiliki dua macam pengaturan: rendah dan tinggi. Speed rendah digunakan untuk menyampaikan dinamika gerakan. Pengaturan ini biasanya digunakan oleh fotografer agar gambar yang dihasilkan memiliki semacam bayangan sesuai dengan arah gerakannya, yang biasa disebut dengan efek blur motion.
“Sedangkan speed tinggi digunakan untuk membekukan gerak dari suatu objek gambar. Fotografer akan menggunakan speed tinggi untuk menangkap gambar dari objek yang bergerak dengan kecepatan tinggi. Sehingga, seolah-olah objek yang bergerak tersebut dibekukan (freeze),” jelas Dicky.
Karya Dicky Bisinglasi
Ya, sejatinya, fotografi memang “membekukan” benda-benda dalam waktu dan peristiwa yang bergerak. Tapi pembekuan itu tak harus menjadikan objek menjadi kaku.
Teknologi memungkinkan pembekukan waktu itu tetap mengesankan benda-benda dan peristiwa di dalamnya tetap hidup, bergerak, dalam bingkai yang kita inginkan, agar cerita yang terkandung di dalamnya tetap abadi.
Karena itu, foto menjadi bagian dari kesenian. Ia setara dengan sastra, lukisan, atau karya-karya agung lain dari cipta karya tangan manusia.
Foto mengabadikan cerita manusia dan benda-benda di sekelilingnya: waktu yang terus bergerak menjadi berhenti, terabadikan dalam lensa kamera, sehingga generasi berikutnya mendapat pengetahuan yang sama dengan mereka yang berada dalam peristiwa-peristiwa itu—termasuk peristiwa dalam olahraga.
Di luar fotografi olahraga—yang untuk saat ini sifatnya sebagai sampingan—Dicky masih tetap mengerjakan jurnalisme visual secara umum, baik di hard news, soft news maupun dokumenter. “Saya juga masih melanjutkan project personal saya tentang konservasi satwa laut, khususnya mamalia laut dan penyu di Indonesia,” katanya.[T]