HARI RAYA NYEPI Tahun Saka 1945 sudah selesai. Kini aktivitas masyarakat Bali sudah mulai tampak normal kembali. Kepulan asap kendaraan yang membuat sesak sudah mulai kita hirup kembali. Bising bunyi knalpot dan suara klakson kendaraan menjadi normal kembali seperti hari-hari normal sebelumnya. Satu lagi yang mungkin sangat penting sekali yaitu sinyal Internet sudah mulai pulih normal kembali.
Hari Raya Nyepi, terutama di Bali, mungkin lebih sangat terasa. Masyarakat Bali yang sudah kita tahu sendiri adalah masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Hindu yang tentu, oleh karena itu, perayaan Nyepi di Bali menjadi perayaan tahunan yang masih dilaksanakan lengkap dengan menjalankan Catur Berata Penyepian.
Di Bali, masyarakat non Hindu mengikuti aturan selama perayaan hari raya Nyepi seperti ikut tidak bepergian, ikut tidak menyalakan lampu ketika malam hari. Untuk masyarakat yang beragama Islam, mereka beribadah tidak menggunakan pengeras suara. Toleransi tak perlu diragukan lagi. Jika ada riak kecil, itu hanya beberapa orang saja yang mungkin belum paham sepenuhnya tentang Nyepi dan juga tentang toleransi.
Banyak warga non Hindu yang ikut tertib mentaati aturan-aturan yang disepakati pada saat perayaan Nyepi. Bukan hanya pada Hari Nyepi tahun Saka 1945 ini, namun juga pada perayaan-perayaan Nyepi tahun-ahun sebelumnya. Bahkan Banser dan organisasi mayarakat agama lain pun ikut membantu pecalang dalam hal menjaga keamanan bersama agar perayaan Nyepi berlangsung dengan lancar dan hikmat.
Penjagaan oleh pecalang dan unsur keamanan atau organisasi masyarakat lainnya yang disiagakan oleh masing-masing Desa Adat tujuannya, selain mengamankan situasi dalam hal keamanan pada saat perayaan Nyepi, juga menjadikan masyarakat taat menjalankan pantangan yang ada di catur berata penyepian, yakni Amati Geni (tidak menyalakan api) , Amati Karya (tidak berkerja) , Amati Lelungan (tidak bepergian) dan Amati Lelanguan (tidak mencari Hiburan).
Para penjaga keamanan, dalam hal ini pecalang dan unsur yang terlibat lainnya, tidak segan untuk menghimbau kepada masyarakat yang melanggar agar kiranya dapat mematuhi pantangan yang ada di Catur Berata Penyepian.
Jangankan untuk menyalakan pengeras suara atau bepergian keluar rumah, menyalakan api untuk memasak saja saya rasa banyak di antara masyarakat yang takut karena mungkin ada beberapa dari Desa Adat yang menjalankan sangsi ke masyarakatnya bilamana ditemukan pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan Catur Berata Penyepian.
Penjagaan oleh unsur keamanan seperti pecalang dan dari unsur lainnya sepertinya harus dan sangat perlu dilakukan agar pelaksaan Nyepi berjalan dengan hitmat. Bahkan kehitmatan perayaan Nyepi oleh masyarakat Bali juga dipikirkan oleh Pemerintah Provinsi Bali, salah satunya mematikan jaringan Internet untuk masyarakat. Hanya obyek-obyek yang dianggap vital saja yang masih bisa beroperasi.
Mungkin dimatikannya jaringan internet untuk masyarakat adalah salah satu cara pemerintah membantu masyarakat Bali terkusus bagi umat yang menjalankan Catur Berata Penyepian agar kiranya lebih fokus dan khusuk menjalankan perayaan Nyepi.
Selain makna dan arti luas dari perayaan Nyepi yang dilaksanakan setiap satu tahun ini, secara filosofi, sederhanya, perayaan Nyepi adalah menghentikan sejenak rutinitas-rutinitas dan ini menjadi ajang perenungan diri.
Nyepi menjadi proses mengintrofeksi diri sendiri, atau memberikan ruang bagi alam semesta dan mahluk lainnya untuk merasakan kebebasan sehari tanpa gangguan dari kita sebagai manusia.
Seperti halnya sebuah lagu yang dinyanyikan salah satu band dari Bali, yaitu Navicula, yang mengangkat tema tentang Nyepi yang dilaksanakan di Bali. Salah satu liriknya berbunyi “saat semua semakin cepat Bali berani berhenti dan menyepi”.
Lirik itu seakan menjadi penegasan bahwa hiruk pikuk rutinitas masyarakat Bali dan kegiatan gemerlap pariwisata Bali yang begitu derasnya dihentikan dengan perayaan hari raya tahunan yang di sebut sebagai Nyepi. Dalam sehari Bali menjadi sepi, menepi, sunyi, hening.
Bali dengan lalu lintas penerbangannya yang menjadi salah satu penerbangan tersibuk di Indonesia, aktifitas bising club malam di Kuta yang hampir setiap hari terdengar, asap kendaraan dan asap pabrik yang ada di Bali yang hampir setiap hari kita hirup, aksi penebangan pohon, itu semua terhenti.
Tetapi membuka pikiran tentang memaknai perayaan Nyepi di era sekarang, memang tidaklah mudah. Jangankan dituntut untuk menjalankan catur berata penyepian, dimatikan sinyal internet saja sebagian dari kita bahkan saya sendiri sudah kalang kabut atau banyak yang kontra dengan kebijakan ini.
Bahkan pada kenyataannya masih banyak sekali di antara kita yang sengaja menjadikan momen hari raya Nyepi menjadi ajang turun ke jalan raya sekedar ingin melepas penat karena seharian di dalam rumah apalagi tanpa adanya jaringan internet.
Tanpa ingin menjadi orang yang dengan keterbatasan ilmu pengetahuan tentang arti Nyepi itu sendiri lalu banyak mengajarkan tentang bagaimana seharusnya menjalani penyepian itu sendiri.
Tetapi, sebagai umat Hindu yang setiap tahun menjalankan Nyepi, yang kita anggap dan setuju bahwa hari Nyepi adalah hari raya suci, maka bukankah kita harus ikut menyucikan dari hari raya kita ini?
Jika tulisan awal membahas tentang bagaimana toleransi yang terjadi di Bali dan dilakukan oleh umat beraga lain tentang perayaan Nyepi itu sendiri, kita sendiri sebagai masyarakat yang seharusnya menjadi pelaku atau pelaksana dari hari raya Nyepi ini tidak mentaatinya.
jangan salahkan kemudian jika ada peristiwa seperti beberapa tahun silam yang dimana masyarakat yang tidak beragama Hindu mengunggah kegiatan mereka pada saat perayaan Nyepi di media sosial, lalu banyak dari kita masyarakat Hindu menghujat perbuatan tersebut.
Selain fungsi pengawasan dari pecalang, maksud dimatikannya internet adalah untuk mengantisipasi keamanan dan menjaga kekusukan masyarakat agar bisa menjalankan Nyepi.
Yang paling penting adalah bagaimana kita sebagai umat Hindu yang seharusnya menjalankan dan yang dituntut menjadi contoh agar mentaati catur berata penyepian itu sendiri.
Tanpa harus menjadi guru, sebenarnya hal paling simpel yang bisa dilakukan pada saat Nyepi adalah dengan cukup tidak bepergian saja. Jika dirasa keempat pantangan tersebut sangat sulit dijalankan layaknya seperti saya yang tidak kuat puasa , yang masih menyalakan alat elektronik, setidaknya tidak bepergian saja itu menurut saya sudah lebih dari cukup dari pada tidak sama sekali .
Tetapi sekali lagi ini bukan masalah hal paling benar atau paling salah, bukan juga tentang paling baik dan yang lain buruk, bukan tentang menggurui atau tidak, tetapi lebih sederhana dari itu, hanya mengajak lebih membuka diri tentang bagaimana beretika dalam berhari raya .
Etika dalam berhari raya yang dimaksud adalah lebih menghargai hari raya sendiri. Tidak menghujat jika ada yang tidak menghargai hari raya kita jika kita sendiri saja tidak bisa menghargai hari raya kita. Etika dalam berhari raya juga bermaksud lebih bisa memaknai filosofi dari setiap hari raya yang kita jalankan .
Bukan tentang memperdebatkan siapa yang lebih baik dan tidak baik dalam menjalaninya , bukan tentang salah dan benarnya perilaku kita atau orang lain dalam hal memaknai hari raya suci kita . Tetapi lebih sederhana hanya dengan cukup menghormati apa yang kiranya menjadi landasan atau prinsip dasar dari hari raya itu sendiri .
Penjagaan oleh pecalang dan mematikan internet saja tidaklah akan cukup jika di antara kita tidak bisa memaknai dari perayaan hari raya Nyepi. Himbauan tidak menggunakan pengeras suara kepada umat yang beragama muslim yang ingin menjalankan ibadahnya, tidak akan cukup jika kita sendiri sebagai umat yang menjalankan Nyepi tidak memberikan ruang kepada mahluk lain untuk bebas walau sehari saja.
Perayaan Nyepi dan menjalankan catur berata penyepian seharusnya tidak menunggu arahan dari pemerintan atau Desa Adat melalui pecalangnya. Perayaan Nyepi atau sepi sesungguhnya adalah mulai dari hati lalu pikiran berikutnya adalah tindakan kita untuk lebih beretika dalam perayaan yang suci ini.
Kita sebaiknya menjadi pecalang dalam diri kita sendiri. Sehingga kita tak perlu takut pada pecalang desa adat, tapi takut pada diri sendiri. Kita mengawasai diri sendiri. Jika semua warga mengawasai dirinya sendiri, maka Nyepi barangkali tak memerlukan pecalang lagi.
Sebagai penutup, di penggalan lagu Navicula menyebutkan saat semua semakin cepat Bali Berani Berhenti dan menyepi. Sekarang saya akan tambahkan dan ganti menjadi “saat semua semakin cepat, Bali berani Nyepi tanpa pecalang dan wifi”. [T]