KEHADIRAN MEDIA BARU (new media) membawa banyak berkah sekaligus musibah dalam kehidupan manusia. Akses informasi dan penyampaian pesan yang berbasis internet ini telah mampu membelah dunia, antara yang nyata dan yang maya. Media sosial sebagai bagian dari media baru menjadi pedoman dan panutan dalam berperilaku.
Banyak contoh kasus pengaruh media baru dalam kehidupan manusia. Ada yang menangguk manfaat bertemu jodoh di media sosial. Ada yang tersandung sial, uang tabungan jutaan rupiah di bank raib gara-gara menekan tautan aplikasi media sosial.
Ada pula yang mendapat musibah tertabrak mobil karena asyik dengan telepon selulernya sambil berjalan. Berbagai informasi dan tayangan membanjiri media baru, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, penculikan, perampokan, hingga pembunuhan. Media baru pun menjadi kawan yang menyenangkan sekaligus hantu yang mengerikan.
Mobilitas dan Riset Komunikasi
Pengaruh media baru yang signifikan berkaitan dengan mobilitas manusia antara dulu dan sekarang. Dahulu diperlukan waktu puluhan tahun bagi orang untuk dapat mengenal budaya bangsa lain. Diperlukan waktu yang sangat panjang bagi ulama maupun pendeta untuk mengenalkan agama ke penjuru dunia.
Kini jarak menjadi dekat dan waktu begitu cepat. Mesin pencarian di aplikasi dapat membantu orang mengenal budaya dari negara manapun dalam hitungan detik. Ceramah agama juga dapat diakses dengan cepat melalui kanal media sosial.
Media baru juga telah menggeser orientasi riset bidang kajian ilmu komunikasi. Banyak penelitian komunikasi yang diarahkan pada kajian media sosial. Sementara riset terkait komunikasi interpersonal dan kultural kurang diminati. Hal ini memang dapat dimaklumi, mengingat media sosial saat ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.
Begitu penting arti media sosial sehingga mengakibatkan hilangnya hakikat komunikasi interpesronal, jarak fisik, dan sentuhan fisik dalam interaksi. Sentuhan fisik tergantikan sentuhan layar gawai, sehingga komunikasi banyak kehilangan makna.
Kehangatan dalam komunikasi interpersonal dan sosial berada dalam kebisuan. Semua asyik menjadi pribadi yang sendiri di tengah keramaian, dan riuh dalam kesendirian. Media baru membuat haru biru di tengah masyarakat yang hilang arah serta abai terhadap berbagai rambu.
Adaptasi dan Peradaban Baru
Menjadikan media baru sebagai sumber pedoman perilaku tentu tidak keliru sepanjang mampu menjadikan manusia hidup dalam kedamaian dan ketenteraman.
Oleh sebab itu diperlukan adaptasi terhadap media baru tersebut. Adaptasi media baru dapat dimulai dengan literasi media, yaitu proses pencerdasan khalayak dalam penggunaan media. Saring sebelum sharing menjadi penting, mengingat begitu melimpah informasi yang berseliweran melalui media baru. Jangan sampai hoaks berpindah ruang dari dunia maya ke dunia nyata.
Peradaban baru juga mesti dibangun sebagai pijakan etika bermedia. Hal ini akan membuat orang akan lebih bijak sebelum bertindak. Peradaban baru bermedia akan menjadikan khalayak tunduk pada nilai moral, bukan nilai viral. Menjadi khalayak dalam era media baru bukan sekadar menilai informasi terkait SARA, kekerasan, dan pornografi dari sisi benar dan salah, tetapi juga boleh dan tidak boleh serta baik dan buruk.
Di tengah haru biru media baru, orang tetap perlu menjaga adab untuk berbuat baik. Patut disimak apa yang dituturkan sejarawan dan sosiolog Ibnu Khaldun: ”Puncak dari ketinggian adab adalah saat engkau diam dan mendengarkan seseorang yang berbicara tentang sesuatu yang engkau ketahui dengan baik, sementara dia tidak menguasainya”. [T]