Pagi itu saya berangkat menuju rumah kedua saya yaitu kampus, saat diperjalanan yang sangat ramai, saya tak sengaja melihat truk yang bak belakangnya berisi tulisan “Pulang Malu Tak Pulang Rindu” berisikan gambar wanita cantik dan tubuhnya seksi dambaan semua para lelaki mata keranjang.
Saat melihat gambar itu, saya ingat dengan novel yang berjudul “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas” karya Eka Kurniawan. Novel ini menggambarkan kisah laki laki yang memperjuangkan kejantanan yang ia miliki agar dapat terbangun dari kerasnya dunia dan mengisahkan kekerasan yang dialami oleh perempuan.
Novel “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas” karya Eka Kurniawan ini berlatar tahun 80 hingga awal 90-an. Tak hanya tentang kisah cinta sang jagoan, novel karya Eka Kurniawan ini juga adalah bentuk pemikiran penulis dari toxic masculinity dan juga kekerasan seksual yang banyak terjadi pada zaman revolusi hingga saat ini.
Ada suatu bagian utuh yang tercermin dari kepuasan dan juga penjajahan, salah satunya bisa dilihat dan menonjol yaitu kekerasan seksual. Tidak hanya itu, kekerasan yang terdapat dalam novel ini mengenai kekerasan psikologis, kekerasan fisik, kekrasan secara finalsial dan kekerasan spiritual.
Judul “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas” ini dengan jelas mencerminkan bahwa hasrat akan sesuatu. Kata dendam pun memiliki arti yang hadir bersamaan dengan kata rindu, yang dimana rindu dendam memiliki arti sangat birahi atau menaruh cinta kasih pada seseorang.
Hasrat akan sesuatu seperti kesenangan, dendam, pemenuhan, kuasa, rindu, dan lainnya. Dengan demikian, istilah rindu-dendam dari judul novel tersebut merupakan makna hasrat untuk melakukan sesuatu.
Awal cerita dari novel “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas” ini bermula dari suatu kisah yang tragis seorang tokoh laki-laki yang impoten, akibat dari masa kecilnya yang menyaksikan perbuatan keji yang dilakukan oleh dua aparat yang tak punya naluri dan otak, dengan memperkosa Rona Merah, seorang wanita yang sudah mengalami gangguan jiwa.
Tokoh laki-laki tersebut yaitu Ajo Kawir. Seorang laki-laki yang sudah tidak memiliki keluarga yang utuh, namun memiliki sahabat yang baik dan sudah menganggapnya sebagai saudara kandung. Ajo Kawir digambarkan dalam karakter yang pemberani dan selalu menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan yaitu perkelahian.
Namun di satu sisi Ajo Kawir merasakan hasrat seksual yang tak bisa terlampiaskan, karena burung yang tertidur sepanjang masa, membuat Ajo Kawir merasa tak pantas untuk mencintai seseorang, sehingga ia berfikir hanya orang yang tidak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati. Kekerasan fisik sudah dialami Ajo Kawir sejak menginjak masa remaja, karena Ajo Kawir memiliki hobi berkelahi.
Tokoh Ajo Kawir tak pernah luput dari suatu konflik kekerasan yang dialaminya, namun Ajo melakukan suatu kekerasan, karena ia merasa bahwa hal tersebut memang salah dan harus diselesaikan dengan perkelahian bahkan sampai bertumpah darah. Kekerasan demi kekerasan sudah dilihat dengan mata telanjang, sehingga membuat Ajo Kawir sangat geram dan ingin membunuh seseorang yang sudah melakukan perbuatan bejat tersebut.
“Si Pemilik Luka menghampirinya, berdiri di belakangnya, melingkarkan tangannya ke tubuh Rona Merah. Ia meremas dadanya perlahan. Telapak tangan Si Pemilik Luka bergerak seperti pengrajin keramik bermain-main dengan tanah liat, berputar- putar mengikuti bentuknya. Rona Merah mengerang. Si Pemilik Luka mencium ubun- ubun perempuan itu, sementara tangannya bergerak semakin lama semakin kencang.”(SDRHDT hlm 25)
“Si Pemilik Luka terhuyung, tapi ia sempat menangkap Rona Merah dan menahannya di meja. Rona Merah berontak namun Si Pemilik Luka naik ke meja dan menindihnya. Rona Merah memekik pendek, Si Pemilik Luka menampar wajahnya sambil berseru, “Diam, Sinting!. Dengan rakus Si Pemilik Luka kembali menjilati dada Rona Merah. Sesekali ia membenamkan wajahnya di sana sementara Si Perempuan meronta-ronta.”(SDRHDT hlm 26)
Dilihat sudut pandang yang berbeda, novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas mengsuguhkan kisah kekerasan yang dialami oleh tokoh perempuan, yang mengalami kekerasan pada masa lalunya, sehingga membuat seorang wanita tersebut memiliki sisi atau sifat maskulinitas dalam dirinya yang sudah ditanam sejak dini. Tokoh tersebut adalah Iteung.
Iteung memiliki masa lalu yang suram, karena perbuatan seorang guru yang bejat dan keji, ia mengalami kekerasan seksual saat SMA, sehingga Iteung berfikir untuk mengikuti les berkelahi dan meminta kepada orang tuanya untuk mendaftarkan ia les berkelahi disuatu pasraman. Tokoh Iteung ini berparas wanita cantik, namun memiliki jiwa laki-laki. Oleh karena itu menurut Iteung perkelahian hanya untuk melindungi diri sendiri dari laki-laki bejat.
“Kenapa kamu ingin belajar berkelahi?” “Aku ingin melindungi ini.” Ia menunjuk satu titik dipangkal kedua pahanya.”(SDRHDT hlm 168)
Dikisahkan juga tokoh Ajo Kawir yang impoten bertemu dengan tokoh Iteung yang cantik, namun pemberani, berawal dari Ajo Kawir ingin membunuh Pak Lebe seorang laki-laki yang sudah menodai seorang janda kampung tempat tinggalnya, sehingga Ajo Kawir tidak terima perbuatan mesum dan bejat tersebut, Ajo ingin menghabisi Pak Lebe, namun dihalau oleh Iteung, karena Iteung menjadi anak buah dari Pak Lebe. Dari kejadian tersebutlah muncul benih-benih cinta Ajo Kawir kepada Iteung.
Tokoh Ajo Kawir dan Iteung ini memiliki persamaan masa lalu yaitu kekerasan seksual dan kekerasan fisik, maka tak disalahkan penulis mentomini hasrat kekerasan yang dibangun oleh kedua tokoh tersebut sehingga cerita dalam novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas dapat membangunkan jiwa sang pembaca.
“Ia berbaring di tempat tidur dan menangis. Pak Lebe sudah menanggalkan pakaiannya, Ia berharap tak perlu melihat Pak Lebe, tapi lelaki itu menyentuh wajahnya, membuatnya terpaksa melihat wajah lelaki itu. Ia kembali menangis dan Pak Lebe tersenyum.”(SDRHDThlm 45).
Novel karya Eka Kurniawan ini lebih banyak menjelaskan tentang kekerasan pada seorang wanita pada zaman dahulu, karena faktor kemiskinan yang dialami, seperti cerita yang terdapat didalam novel ini seorang janda yang tidak bisa membayar kontrakannya, sehingga harus membayar dengan tubuh yang ia miliki.
Pada zaman dulu payung hukum belum jelas terlihat dan teratur mengenai kekerasan pada perempuan, dan masyarakat pun enggan untuk melaporkan kejadian-kejadian yang terkadang sudah melanggar hak-hak kemanusian. Sehingga dalam novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas ini, terlihat nilai sosial dan budaya sangat tidak terjalin. Eka Kurniawan sangat mengkemas cerita ini dengan baik, sehingga para pembaca terhanyut dan terbawa kemasa lalu pada tahun 80 sampai awal 90-an.
Pembahasan mengenai kekerasan pada perempuan berlatar belakang tahun 80-90an sangat tergambarkan pada novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, karya Eka Kurniawan, yang dimana seorang perempuan hanya menuruti apa perintah laki-laki yang ia cintai dan mau melakukan apapun, jika sudah terdesak dalam kondisi yang amat sulit terselesaikan.
Namun Novel karya Eka Kurniawan ini juga membubuhi karya-karyanya dengan bersifat maskulin yakni digambarkan tokoh Iteung. Kaum perempuan dalam Novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah salah satu objek penceritaan, Kehadiran perempuan dalam karya sastra Eka Kurniawan merupakan bagian dari upaya merefleksikan permasalahan kehidupan yang ada dalam masyarakat.
Permasalahan Perempuan, baik individu maupun kelompok dalam karya sastra dipandang sebagai masalah kemanusiaan yang penting berhubungan dengan kedudukan dan hak-hak perempuan.
Pada dasarnya dunia tidak pernah ramah bagi perempuan, perempuan bukanlah objek seksual bukan pula sebagai pemuas birahi, perempuan sudah seharusnya dihargai, bukan lantas disakiti oleh manusia yang tak punya hati. Dimata mereka tubuh perempuan sangat rentan mudah dikuasai dan bahkan sampai dinikmati.
“Yang melahirkan peradaban tidak pantas untuk dilecehkan“ [T]