SETIAP KALI aku mendengar nama Sutasoma, hal pertama yang mencuat dalam pikiranku tertuju kepada semboyan bangsa kita (bangsa indonesia) yang diusulkan oleh Muhammad Yamin. Sloka “Bhinneka Tunggal Ika” yang dipegang oleh kedua kaki garuda sebagai lambang persatuan. Usul itu ia lontarkan kepada Soekarno dan bapak-bapak bangsa yang hadir pada saat itu. Muhammad Yamin mengambil sloka itu dari Kakawin Sutasoma pupuh 139, bait 5.
Secara lengkap bait 5 berbunyi:
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
(Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Berbeda-bedalah itu, tetapi satu jualah. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.)
Kutipan sloka tersebut merupakan bagian dari susastra dalam bahasa Jawa Kuno yang sekian lama telah kukenal, versi “Kapustakan Jawi” karya Poerbatjaraka tahun 1952. Kisah kisah yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14 dari kisah yang sama di India.
Kakawin ini berisi sebuah cerita epik dengan Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat yang tertuang didalam kitab ini mengajarkan kita akan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha.
Oleh sebab itu dalam usulannya Muhammad Yamin mengusulkan agar kutipan sloka tersebut digunakan sebagai semboyan bangsa kita, dengan konteks ia ingin menyatakan toleransi antar agama dan antar kepercayaan yang ada di jagat nusantara ini (Indonesia).
Kedua, barulah pikiranku mengingatkanku pada sebuah novel masterpiece dari Cok Sawitri, perempuan pengarang dari Bali. Sutasoma, itulah nama dari karya Cok Sawitri tersebut, yang diilhami dari kitab Sutasoma (Purosadha) karya Mpu Tantular. Hal tersebut diperkuat dengan kutipan dari Wartono dan Still (1990:1) yang menyatakan bahwa pengarang adalah pembaca teks, dan hal tersebut sudah dapat dipastikan karena di Bali sendiri kakawin Sutasoma sangat dikenal dalam masyarakat.
Selain itu, pemikiran-pemikiran atau ide brilian dari Cok Sawitri, yang tertuang dalam buku ini memberikan warna yang beragam dalam penceritaan novel ini. Sehingga karya ini kaya akan berbagai sudut pandang yang mampu melahirkan sebuah penafsiran-penafsiran baru terhadap apa yang telah didengarkan oleh Cok Sawitri pada masa kecilnya.
Novel yang mengisahkan tentang Jayakanta, Raja Kerajaan Ratnakanda yang harus menyaksikan konflik dan carut-marut keluarga kerajaannya. Persaingan terselubung, politik istana yang saling tarik-menarik, hingga perebutan kekuasaan mewarnai perjalanan hidup Sang Raja dan menyebabkan Ratnakanda perlahan berada di ambang kehilangan Sang Raja mengembalikan kedaulatan Ratnakanda.
Dalam karya Cok Sawitri ini sosok Jayantaka hadir hingga 14 bab pertama dan segera membius para pembaca untuk jatuh cinta pada karakternya yang gagah, sakti, dan cerdas. Jayantaka merupakan seorang raja yang dinobatkan pada masa perkabungan ayahnya dan meneruskan niatan Raja Sudasa untuk menegakkan dharma agama dan dharma negara.
Dengan ambisi yang begitu besar dan semangat perjuangannya yang bagaikan si jago merah yang sedang membara, Jayantaka justru meluaskan niatnnya tersebut bukan saja di negerinya sendiri, tetapi juga meluas ke negeri-negeri lain. Oleh karena itu Jayantaka berkaul kepada sang Kala yaitu 100 kepala raja dan oleh karena kaulnya tersebut ia dikenal sebagai Porusadha, raksasa pelahap kepala raja.
Seperti apa yang diceritakan dalam kakawin, dalam novel itu juga diceritakan bahwa Buddha bereinkarnasi dan menitis kepada putra Raja Hastina Prabu Mahaketu. Putranya bernama Sutasoma. Setelah dewasa Sutasoma rajin beribadah, cinta akan agama Buddha (Mahayana). Ia tidak senang akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja.
Maka pada suatu malam, Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina dan menuju ke hutan. Setibanya di hutan, Sutasoma bersembahyang dalam sebuah kuil. Lalu datanglah Dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang Sutasoma telah diterima dan dikabulkan. Kemudian Sutasoma mendaki pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta.
Sesampainya di sebuah pertapaan, maka Sutasoma mendengarkan riwayat cerita seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia, Porusadha. Porusadha memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada Sang Kala.
Pada saat yang sama, sedang terjadi perang antara Porusadha dan Raja Dasabahu, sepupu Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai Sutasoma dan diajaknya pulang. Porusadha yang sudah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada Batara Kala mendapati kenyataan bahwa Batara Kala tidak puas. Batara Kala baru mau menerima persembahan Porusadha bila ada Sutasoma.
Maka Porusadha menangkap Sutasoma yang tidak melawan. Sutasoma bersedia dimakan Batara Kala, asal ke 100 raja itu semua dilepaskan. Pengorbanan diri Sutasoma ini menyentuh hati Batara Siwa yang menitis pada Porusadha. Batara Siwa tahu bahwa Sutasoma adalah Sang Budha sendiri. Maka ditinggalkannya tubuh raksasa Porusadha dan ia kembali ke kahyangan. Porusadha akhirnya bertobat. Semua raja dilepaskan.
Karya sastra dari Cok Sawitri ini merupakan salah satu bentuk narasi fiksi sastra dan memanglah suatu yang niscaya mampu untuk menarik para pembaca, baik yang telah kenal dengan teks terdahulu atau belum. Ditambahkannya tokoh-tokoh baru seperti Belawa, Nini, ketiga istri Sudasa, anak-anak tiri Sudasa dan sekaligus saudara Jayantaka sekaligus penokohan baru atas tokoh-tokoh yang ada dalam teks terdahulu membuat novel ini “kaya amunisi”.
Bahkan boleh dibilang bukan hanya kaya amunisi, tetapi juga “gemuk” oleh pandangan-pandangan personal Cok Sawitri yang dititipkan ke dalam tiap tokoh yang ada sehingga membuat Sutasoma karya Cok Sawitri ini boleh dikatakan cukup berbeda.
Persoalan kebhinnekaan dalam teks terdahulu juga hadir di sini, namun tentu saja keempat dimensi toleransi antaragama yang ada di teks terdahulu kini tergantikan. Gantinya, adalah toleransi antara agama minoritas dan agama mayoritas. Jayantaka dalam teks Cok Sawitri mewakili agama minoritas, yang dalam pernyataan Cok Sawitri mewakili apa yang tengah diperjuangkannya adalah mewakili agama Tantrayana, sedang Sutasoma mewakili agama mayoritas, baik itu Hindu dalam konteks Bali atau agama mayoritas di Indonesia yakni Islam. Petuah dalam gubahan Cok Sawitri cukup jelas melansir keinginannya agar agama-agama mayoritas/besar tidak menghancurkan agama kecil, melainkan belajar untuk mentoleransi dalam semangat kebhinekaan yang dihembuskan oleh Sutasoma.
Kritik pada masyarakat kelas atas yang berada pada lingkaran istana juga mencuat dalam karya Cok Sawitri ini, yang dengan mudah bisa ditarik garis paralel antara negeri di bawah pimpinan Sudasa dan Jayantaka dengan negeri Indonesia ini. Sebuah paralelisme yang kurang lebih sama dilakukan Mpu Tantular sewaktu menggubah Sutasoma kali pertama dari teks aslinya. [T]