PUISI DAN RUPA bisa saling melengkapi satu sama lain─walaupun keduanya memiliki eksistensinya masing-masing. Seperti kata Leonardo Da Vinci, maestro dunia itu: O, penulis, dengan huruf-huruf apa dapat kau ungkapkan seluruh bentukan sesempurna yang diberi gambar?
Puisi, sebagaimana gambar (rupa), menyimpan banyak sekali cerita. Entah cerita yang lahir dari realita maupun cerita-cerita yang lahir dari buah imajinasi.
Pada Minggu, 19 Februari 2023, seorang penyair sekaligus perupa, Wayan Redika, sedikit banyak menyampaikan hal tersebut. Ia diminta menjadi pembicara─atau lebih tepatnya bercerita tentang “Puisi Rupa, Rupa Puisi”─oleh tatkala.co di Rumah Komunitas Mahima di Jl. Pantai Indah III No. 46, Singaraja-Bali.
Benar. Wayan Redika memang seorang perupa sekaligus penyair. Ia bisa menekuni keduanya dengan baik, meski ia sempat menjadi pegawai dengan kedudukan yang lumayan penting di sebuah perusahaan listrik milik negara. “Itu sebuah kecelakaan,” kata penulis buku Ayat-Ayat Sesat Kaum Kiri itu sesaat setelah ia dipersilakan berbicara oleh Made Adnyana Ole selaku moderator diskusi.
Dalam diskusi yang dihadiri oleh akademisi, seniman, dan wartawan, itu, Wayan Redika banyak berbicara tentang perjalanan hidupnya, dari mulai menulis puisi, menjadi pegawai PLN, kedekatannya dengan Umbu Landu Paranggi dan melukis. “Umbu itu mentor saya,” ungkapnya.
Wayan Redika (kiri) dan moderator Made Adnyana Ole dalam acara ngobrol Puisi Rupa, Rupa Puisi, di Komunitas Mahima
Ia juga berbicara tentang tradisi kesenian di Bali, bahwa, tradisi dan kesenian di Bali sudah mendarah daging dalam keseharian masyarakatnya. Menurutnya, masyarakat Bali punya akar yang kuat (basic) dalam berkesenian─dan itu bekal yang sangat berharga.
“Laku hidup masyarakat Bali itu sebenarnya sudah seni. Beda dengan Jawa. Bali itu memiliki basic yang kuat. Kultur ini yang menyebar ke seni rupa, teater, musik, sastra─dan ini menjadi satu kesatuan yang memiliki format yang utuh,” jelasnya.
Menurutnya, dengan bekal akar yang kuat soal kesenian dan tradisi, Bali sangat berpotensi menjadi barometer tradisi, kesenian dan kebudayaan di tanah air─maksudnya kesenian dan tradisi yang bukan hanya berbicara soal pariwisata, tapi lebih daripada itu, soal nilai-nilai yang terkadung di dalamnya.
Puisi batin, rupa sukma
Puisi, ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus, begitulah arti puisi menurut KBBI. Sedangkan rupa, keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya); karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti lukisan, ukiran, dan pahat.
Menurut Redika, puisi─yang tak hanya sekadar kata-kata indah tur mendayu-dayu─adanya di batin. Sedangkan seni rupa, adanya di sukma.
Barangkali memang benar, dalam puisi, batin merupakan bentuk dari pikiran atau perasaan yang diungkapkan oleh penyair. Struktur ini ialah wacana teks puisi secara utuh yang mengandung arti atau makna yang hanya dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan.
Kendati demikian, pemakaian gambar dan tulisan sekaligus (dalam hal ini puisi dan rupa) dalam sebuah tanda (sign) sebagai alat komunikasi antar-manusia merupakan sebuah kenyataan sejarah yang berumur panjang dan universal.
Historisitasnya yang panjang bisa dilihat pada produk-produk budaya yang dihasilkan oleh peradaban yang telah mengenal baik gambar maupun tulisan, terutama yang terakhir ini, sebagai pencapaian intelektual menakjubkan dari evolusi sejarah manusia.
Meskipun puisi dan rupa sama-sama melekat erat dalam tubuh Redika, ia tetap menganggap bahwa, “puisi memiliki posisi yang lebih tinggi dari seni rupa,” katanya. [T]