TIDAK ADA yang tidak pernah mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lagu itu selalu dikumandangkan pada setiap acara di wilayah NKRI. Bahkan acara-acara di luar negeri yang melibatkan Indonesia, terdengar pula lagu Indonesia Raya.
Setiap mendengar lagu kebangsaan itu, rasa nasionalisme kita terbangun dan membuat semangat bergelora. Saya sendiri seakan merasakan sesuatu yang ajaib ketika mendengar dan menyanyikan lagu ini. Entah karena apa, bulu kuduk terasa berdiri, dan saya yakin tidak sedikit masyarakat juga merasakan hal itu juga.
Lagu Indonesia Raya diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman pada saat ia berumur 21 tahun. Secara perdana lagu itu dikumandangkan saat malam penutupan Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 di Batavia.
Seiring waktu lagu ini dikenal secara masif dan pada setiap acara-acara kongres organisasi selalulah lagu itu dikumandangkan. Saat itu pemerintah Hindia Belanda merasa panik dan menyita seluruh piringan hitam, hingga akhirnya pada tahun 1930 lagu Indonesia Raya dilarang untuk dinyanyikan secara publik sebab dikhawatirkan lagu ini akan memicu semangat kemerdekaan atau pemberontakan.
Dan saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, lagu itu dikumandangkan dan semenjak itu lagu Indonesia Raya dijadikan sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
Indonesia Raya memang hanya sebuah lagu, tapi lagu itu terasa hidup dan benar-benar hidup hingga saat ini, dan akan tetap hidup selamanya. Dan inilah salah satu contoh karya seni manusia yang penuh jiwa.
Dalam isi lagu Indonesia Raya, ada bait lagu berbunyi “bangunlah jiwanya, bangunlah raganya”. Syair itu bukan sekadar syair, tapi memiliki nilai spirit yang sangat dalam maknanya.
Memang, harus diakui. lagu Indonesia Raya ini dapat membangkitkan rasa nasionalisme dan semangat persatuan. Selain itu, lebih dalam lagi, saya melihat dalam syair itu juga terdapat spirit yang kuat untuk membangun apa pun juga, termasuk membangun daerah.
Agar hidup menjadi bernilai maka kita harus selalu membangun dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi jiwa dan raga. Dan ketika kita hanya memperhatikan raga atau fisik tanpa memperhatikan jiwa atau rohnya, maka karya itu sudah pasti akan kurang memiliki nilai, atau dipastikan tidak akan bertahan lama.
Dalam keseharian kita, baik dalam bekerja, berkomunikasi atau berinteraksi, sering kita dengar bahasa “bekerja dangan hati” dan “komunikasi dengan hati”. Dan, jika benar-benar dilakukan dengan hati, maka pekerjaan, hasil komunikasi dan karya-karya yang dilahirkan benar-benar akan berjiwa dan menjadi hidup.
Yang pasti, karya-karya apapun juga, yang diciptakan pada zaman dulu, dan kita masih tetap lihat hingga saat ini, pasti karya-karya itu dikerjakan dengan spirit hati.
Termasuk juga dalam membangun wilayah atau daerah. Perhatian terhadap jiwa atau roh yang berasal dari tempat kita membangun itu harus menjadi perhatian utama, seperti bali yang sampai saat ini memiliki taksu dan hidup. Apalagi jika kita hidup di Bali, di mana jiwa atau roh Bali itu ada pada adat budayanya, sehingga perhatian terhadap hal itu jelas sangat penting.
Masing-masing individu punya ciri khas atau gaya yang beda dengan yang lain. Setiap daerah pasti memiliki kharakteristik dan ciri khas yang beda dengan daerah yang lain, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh jiwa atau roh pada individu, atau jiwa dari tempat itu sendiri.
Sering kita mendengar jadilah diri kita sendiri sehingga kita akan bernilai dan dihargai. Berpikirlah dengan hati, berbicara dengan hati dan berprilaku dengan hati, maka sudah pasti jiwa (hati) siapapun pasti akan tersentuh dan di nsitulah nilai itu akan muncul.
Tapi dalam keseharian banyak orang hidup atas bayang-bayang orang lain dan tidak menjadi dirinya sendiri, atau sering ikut-ikutan, maka sudah pasti akan tidak kelihatan atau tidak muncul dan kurang bernilai. Karena ikut-ikutan, berarti dia akan tetap menjadi ikut atau ekor.
Daerah pun seperti itu, membangun daerah itu implementasi dari membangun diri kita sendiri, yaitu hidup jadi diri kita sendiri. Begitu juga daerah memiliki ciri khas, potensi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Ketika kita mampu menggali potensi itu, mengembangkan potensi itu, maka sudah pasti hal itu akan meningkatkan produktifitas, yang pada akhirnya hasil dari buah penggalian dan pengembangan itu akan dinikmati oleh masyarakat itu sendiri.
Saya yakin spirit one vilage one product didapat dari cara berpikir seperti itu.
Spirit “bangunlah jiwanya, bangunlah raganya” dari lagu Indonesia Raya harus bisa diimplementasikan baik untuk diri kita sendiri maupun untuk membangun daerah. Dan bisa dipastikan, dengan spirit itu kita akan menjadi pribadi yang kuat, mandiri dan bernilai.
Membangun daerah jangan lupa membangun jiwa atau roh daerah itu, serta membangun dengan jiwa (dengan hati) kita sendiri dan bukan menjadi pribadi ikut-ikutan yang membuat kita akan tetap di belakang. Karena ikut atau ekor letaknya selalu di belakang.
Jadi, sejatinya, membangun daerah sama dengan membangun diri kita sendiri, yang semuanya dimulai dari diri kita sendiri, jiwa kita sendiri, hati kita sendiri.[T]
BACA esai-esai lain dari penulis DOKTER CAPUT