AYAM TEPUNG SAMBEL WIJEN
Menjelang Nyepi 1944, malam mampir ke rumah
seluruh keramaian sudah kutitipkan
kepada pemuda-pemuda setengah kepayang di pinggir jalan
mereka sedang membakar waktu, satu persatu
isi kepalaku bisa jadi puisi, jika api sisa bakaran itu
menerangi penyap-panjang dan lengang.
“Lapar Jong? kami masak, tunggu saja sebentar,” kata ayahmu
Sepasang suami istri, menumis cemas di atas teplon
suami mengulek sambel wijen,
isiannya: 2 buah cabe-usahakan berwarna merah batu saga
sejumlah bawang putih bersih, tanpa bercak air hujan
sederet riuh gamelan sumbang, di kejauhan
lalu diulek, selaras langkah kecil Malika
meniru ogoh-ogoh dinosaurus warna hijau
memporak porandakan rumah-rumah di kota.
Setelah tepung selesai diadon, ibu menggoreng dengan seksama
memikirkan harga hidup, seperti daftar belanja setiap bulan
jika coklatnya sematamu, angkatlah lalu tiriskan
jangan lupa memotongnya-persekian detik
biarkan udara dipenuhi bumbu-bumbu
tetangga tidak akan protes,
mereka sedang menikmati peran
jadi turis tersesat di pantai kuta yang sepi
Aku menunggu di meja tamu
kursi kosong, dinding bergerak cepat pada menit-menit
meja sunyi tanpa basa basi,
anakmu sedang menari di udara, berkebaya putih
ia seperti peri lampu-lampu merkuri
Lika, tadi Om Jong melihat kata-kata tak berdaya di trotoar
mungkin mereka lupa makan, atau tak bawa bekal perjalanan
kamu kan peri, bisakah membuat keajaiban?
Semua hidangan sudah disaji
kami makan sambil larut
di atas piring masing-masing.
Maret 2022
RUMAH DAN MUNGKINAN DARIMU
Mungkin rumah terbaik itu adalah…
kamu yang berlari di atas garis lantai
memakai baju putri, warna merah muda
kemudian melompat ke atas sofa merah
berpura jadi manusia laba-laba
sedang mengintip nyamuk di atas kepalaku-bertengger.
Mungkin, rumah ternyaman itu adalah…
melihat kamu meniru tokoh kartun di televisi
bermain gitar tanpa dawai, membaca lirik terbata-bata
menyuruhku berpaling dengan cemberut
karena gerak gerikmu rahasia
seperti permainan petak umpet di sore hari
aku bersembunyi di matamu
kamu menyelinap di jendela
jadi bulir-bulir hujan, turun perlahan-sejuk
Sekali lagi, mungkin rumah terlucu itu adalah…
saat kami bertiga menerjemahkan senyum pagimu di atas meja makan
sambil mencari kesamaannya, antara nasi goreng bumbu ayam
atau macaroni bawang putih, bekal sekolahmu
aku bilang, senyummu kurang asin
lalu ayahmu menambahi gula,
ibumu mengurangi waktu tidurnya.
Pernah, kamu tidak di rumah
kami bertiga sibuk saja di atas kertas
menggambar kata-kata, mencurangi pekerjaan
tidak ada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
sebab asal pemungkinan itu selalu dari pipi mungilmu, Lika.
Maret 2022
3 IKAN DI DALAM BOTOL PLASTIK
Pada satu bulan yang penuh wajahmu
aku mengajak pergi mencari ikan-ikan kecil
Lala, Lulu dan Lele namanya
di dalam botol kecil, pengap dan gerah
aku yakin kamu belum pernah merasa tersesat dan hampa kan?
setiap hal yang kamu temui adalah pertanyaan
setiap pertanyaan adalah kejujuran
tapi kejujuran hanya milik ramalan, Lika
aku tak pernah diramal, seusiaku hidup terasa lebih nikmat
tanpa tanda seru, tanpa titik di ujung kalimat.
Di perjalanan pulang
kamu menghitung berapa jumlah awan di langit
jika hitungan salah, kamu cemberut
lalu mengigit pipiku tanpa aba-aba
begitu seterusnya, hingga kita menemukan satu kesimpulan
awan bisa menyatu dengan bentuk lain
makanya hitunganmu selalu salah,
dan pipiku sudah memerah.
3 ikan masih di dasbord mobil
kita berjanji akan melepasnya ke sungai dekat rumah
tapi kamu takut ia tidak mampu berenang mengikuti arus
atau ikan yang lebih besar akan memakan mereka
tenang saja, ada batu-batu melindungi mereka
batu besar yang selalu menunggu si pemancing
Seseorang selalu datang, menatap sungai
menghitung lompatan ikan-ikan,
di hari tertentu ia juga ikut berenang
menjadi ikan kuning bersirip tajam
saat bulan purnama penuh di wajahmu
seseorang itu tidak pernah datang lagi.
Katamu, ia sudah bertemu Lala, Lulu dan Lele
menjadi ayah yang baik bagi mereka.
Mei 2022
SEBAGIAN PUISIKU SALAH ALAMAT
Ibumu selalu rajin mengirim video atau pesan suaramu
“Om jooooong, jalan-jalan ke mana?”
Satu pesan suara kuuingat, saat itu aku sedang melaju
mencari sebagian puisi- sengaja ku kirim lewat jasa pengiriman barang
tapi aku lupa, untuk siapa sebagian puisi itu dialamatkan.
Tidak mungkin aku menjawab
“Om Jong sedang jalan-jalan mencari puisi yang salah alamat”
suatu saat nanti pasti kamu paham maksudnya
belum sekarang, waktu masih di tangan untukmu.
Saat itu hampir semua teman aku kabari
apakah ada paket untuk mereka,
tiba dengan sepucuk bunga layu di depan amplop
belum ada yang membalas pesan,
rupanya siang ini orang-orang sedang bekerja
aku tidak tahu kunci kepala mereka
untuk membuka pintu, perlu lebih dari satu kunci.
Kemudian ibumu mengirim fotomu lagi
berjongkok bermain tanah, dengan baju warna jingga
sejengkal bayang pohon jatuh di samping
seiring matahari bergerak, bayang itu memintas di rambutmu
mata kecil memicing, alisnya mengerjit, mulutnya protes
“Tidak adakah matahari tanpa bayangan?”
Aku jadi ingat, puisi-puisi memiliki bayangan
ia jatuh di lembar berikutnya, saat puisi pertama selesai ditulis
biasanya aku selalu mengikuti bentuknya,
menebalkan dengan pulpen warna merah
setiap jejak, beda bentuk, sampai-sampai aku lupa
puisiku tidak lagi berupa kata-kata, hanya bayangan.
“Ika mau ke Balizoo, mau belenang, mau pergi banyak-banyak, om jong mau ikut?”
Pesan suaramu lantang
sayang aku lagi sibuk mencari alamat
besok, jika sebagian puisi sudah kutemukan
kubawakan sepasir putih dari sanur
rumah rumput laut menyembunyikan anak-anak kepiting
tempat perahu-perahu nelayan ditambatkan
saat aku dan beberapa kawan ayahmu,
menanyakan laut dan ombak yang tidak selalu sepakat.
Mei 2022
SEPERTI DI AWAL
Lika, kamu percis ibumu
suka menata barang dengan presisi, komposisi yang sismetris
Ibumu pernah memindahkan bantal tidurku
saat bantal itu aku tinggal sebentar
untuk meminjam mimpi penjaga gerbang perumahan
mimpi itu sudah di tangan, tapi bantalku tersusun rapi ke tempatnya
akhirnya aku tidur di karpet depan tv
sambil melihat-lihat apakah mimpi digenggamanku-bisa kugunakan
ada matanya yang sayu, kulitnya hitam perak,
tubuhnya terkulai begitu saja di lantai pos jaga.
Pernah kamu menata mainan di atas sofa
ada jagung, wortel, telur, kursi, meja, boneka, pisau
potongan lego, serta benda-benda kecil warna-warni
aku datang mengambil satu wortel
katamu: tidak ada yang bisa mencuri wortel, selain rabbit
berkaki empat, melompat bagai kilat.
Wortel kamu tata lagi, sesuai tempat awalnya
berulangkali tanganmu tampak cemas,
aku akan memindahkan mainanmu ke tempat lain
lebih baik diam saja, sambil melihatmu mengucapkan mantra
entah itu percakapan, monolog, jelasnya matamu berbinar
saat boneka berhasil meminum teh racikan crayon ungu
dan gula yang jatuh dari lentik bulu matamu.
Kemudian aku membuat satu lakon
tentang anak babi yang ingin pergi jalan-jalan
Aku lupa, kamu memerankan apa?
kita berdua menjadi kecil di kamar si babi
mencakapkan pertemuan, berkenalan,
lalu ngeloyor memasak kentang goreng
untuk kudapan tamu sepertiku.
Si babi pulang, kembali lagi kita berdua jadi pendongeng
mengisahkan ia yang baru saja bertemu naga di tengah perjalanan
suaraku seperti naga mengaum, kamu ketakutan
berlari ke meja makan, menjadi patung-patung mainan
pementasan kecil itu selesai,
kita merapikan barang berdua
sesuai tempat awal, tanpa miring sedikitpun.
Persis ibumu.
SEDANG MENCUCI
Sabun berbusa putih di wastafel
baju ungu dan kamu tenggelam jadi buih
ini bantalan sepatu kotor
di cuci segera, agar kutu-kutu tak bersarang.
Ayahmu juga mencuci kerangka sepeda
kerak-kerak dipuas agar kinclong silau
warna perak seperti superhero
sepeda untuk mengayuh bulan
bukankah kamu suka bintang-bintang
saat tidur kita sering menghitungnya
tapi kamu selalu lupa bintang mana yang jatuh
bulan mana yang tidak pernah sembunyi di rambutmu.
Ibu juga sedang mencuci,
piring, sendok, garpu, asbak dan perih
luka di tangan, tangis bergumpal-gumpal
di pipa-pipa pembuangan.
busa ibu tidak putih, tapi agak coklat
tubuhnya dari tanah, rambutnya dari padi
kamu jadi burung-burung,
beranak pinak di atas kepalanya.
Lika sedang mencuci kaki
mau tidur, seekor panda berbaring di bantal
apakah matanya sudah menghitam?
pohon bambu menderu sore-sore
apakah bulunya masih putih?
jika belum, Lika mau mencucinya di wastafel.
Juni 2022
MEJA BIRU TENGAH HARI
Di atas meja biru, Lika minum teh
ada boneka warna ping, ada bentuk Beruang
aku berperan sebagai boneka Gajah
Wortel kuning, telur asin–sarapan Ayah
ayam goreng, kentang rebus–makan siang Ibu
kita berdua sudah memasak malam
merebus awan-awan jadi hidangan penutup.
Jemari kecilmu melompat seperti kelinci
kata-kata ragu dari bibir mungil,
mengucapkan selamat tidur kepada setiap orang
aku tetap jadi Gajah
sambil mengibaskan hidung ke langit-langit
mencium aroma asing, dari seorang tamu.
Kata Lika, itu Om Ika jadi kunang-kunang
Om Bolon seperti kupu-kupu
tapi siapa ini? laron-laron seperti kereta api
ujung lubang tembok semut merah
mereka menawar malam,
agar datang dua hari sekali.
Meja biru tengah hari
Lika sendiri di kamar, lampu pendar
bayang-bayang hutan rumah si Beruang
Ping ingin ikut memanjat pohon
melihat laut dari ujung ranting
apakah kita selalu merasa kita?
Ia bangun menuju ruang tengah
menegurku untuk menyiapkan teh di meja
tapi hari ini giliran Ayah, bukan Ibu
siapa itu di balik pintu?
mengendap jejak-jejak cicak
kehilangan anak-anaknya.
Juni 2022
MIE PANGSIT AWAL BULAN, DI ATOOM BARU
Tiga pangsit di atas mie
kuah bening warisan keluarga
kaldu-kaldu di mulut kami melintas
seperti sejarah panjang jalan Gajah Mada
Lika melahap satu penuh
tusuk di ujung sumpit merah
mie panjang halus, ditiup-tiup agar cepat dingin
tak ada angin di depan trotoar
seorang nenek berwarna sephia tersenyum
melihat gedung merubuh di atas tangannya.
Si kecil berlari kecil, ubin-ubin memantul bayangan
Rak kayu keriput, mata uang china dan bulir hitung sempoa
Kita bertiga adalah patung-patung keramik pajangan
Diam, melihat seluruh waktu di dinding
berputar saling berkejaran
siapa yang menangkap, siapa yang kalah?
Barangkali pada dasar mangkok pesanan
tak ada lagi wajah kita
lantas apakah nasib-nasib harus digadai terlebih dahulu
agar anakmu paham, di toko ada yang tertinggal
dari deru bemo roda tiga dan suara ringkih kuda hitam.
“Om Jong, gelas-gelas ini imut sekali, Lika mau” katamu
Semua gelas dan pigura menyusut seukuran kelingking
agar yang menunggu dari kemarin dapat membawanya di saku
kita semua sedang bergegas, melampaui rasa di atas kaldu
Tiga pangsit di atas mie
doa-doa liar dari mulutku
apakah aku bisa berkunjung ke lantai tiga?
seorang riang menghampiri kita
menunggulah sesaat, kalian pula akan jadi lalu.
Juni 2022
SETELAH MEMBELI TELUR
Baju piyama pink, sepatu boat hijau
klatak-klotok-klatak-klotok
kita beli telur ayam 20 ribu
yupi donat-2 bungkus
setoples matahari di atas lollipop.
Lika, lihat ada yang dapat ikan
2 ikan sekaligus, masuk ke ember bekas cat
pemancing tersenyum melihatmu
hari ini air sungai deras, hujan di hutan
ikan-ikan mengajak anak mereka pindah rumah
apakah di kamarmu ada Kasur kosong?
atau mereka bisa tidur di sofa mungkin?
Telur ayam segera di masak
Ibu tidak sabaran-anak-anak menetas dari cangkang
mencari makan di bawah pohon jambu.
Di tangan Lika, ada 1 permen tiup warna biru
bukanlah lebih baik di tiup?
kita perlu kejutan untuk ulang tahunmu.
Tidak perlu, kita perlu pulang dulu.
Perjalanan pulang, klatak klotok klatak klotok-tak mau jalan
minta digendong di pundak, akan tidur
Lika menghitung kerikil dengan kaki
siapa tahu ada kelereng atau bola-bola.
Di depan rumah tetangga, ada yang bermain bulu tangkis
bola nyangkut di rambutmu, tidak mau lepas
segera ambil sepeda, panjatlah tubuhmu sendiri
tapi sepeda hanya roda dua, dulu empat roda
di kira rusak, takut jatuh karena kayuhan belum seimbang.
Lika menangis enggan menyentuh sepeda
“Kami berdua sering jatuh, karena itu kami hidup,”ucap ayahmu
Juni 2022
LUKISAN-LUKISAN DI DINDING
Ada Om Jong jadi garis merah
wajahnya bulat tak beraturan
tangannya kecil, suka menari di atas rumput
Bunga daun satu, tumbuh di belakang televisi
nanti dipetik, saat rumahmu usai bising dari kita
Rumah atap hijau, ulat memanjat atap
Lika dan ibu bergandeng, menyemai kegembiraan
luka-luka perlu di tanam
suka-suka di pupuk di jendela
pagi menyisir dinding,
gambar crayon hilang kenanga
di kertas putih, Lika memudar hijau
di tumpuk merah, dan putih
katamu : itu bunga yang tumbuh di atas kasurmu setiap malam
saat mimpi-mimpi sembunyi di bawah bantal.
Cap jemari kecil mungil milikmu
Ibu dan ayah seperti bilik labirin
siapa yang hendak lepas
harus kemudian menjawab,
apakah semua hidup berawal dari kematian
atau jangan-jangan hidup dan mati tak memiliki pendahuluan.
Lukisan selanjutnya adalah di tubuh ayahmu
membuat garis senyum berulang kali
sampai bosan, garis tidak menyerupai bentuk
tapi seperti batasan usia yang tak pernah paham
kita yang ingin berhenti di sini
Di kertas, Dinosaurus menyemburkan lidahnya
bukan api, tapi apa dan bagaimana?
Lika, menyuruhnya berhenti menakuti orang
jadilah penyayang seperti kasih langit pada daun
Sementara aku, ayahmu sedang asik
menawar bunyi, menakar kata, mencabik ingatan
keji di teras rumah, sungkur tidur
Lika, gambarmu hari ini adalah bunga-bunga layu
di vas bunga Ibu kan?
Juni 2022
Catatan :
Puisi-puisi ini dibuat, saat saya sering mengajak Lika bermain. Saban waktu ke rumahnya – mencari ibu atau ayahnya, kadang juga bekerja semalam suntuk di sana. Bahkan sebelum keluarga ini bangun, saya sudah nangkring di meja tamu, tenggelam di layar laptop. Beberapa kali saya senang mengajak Lika bermain, ke taman bermain, ke rumah, ke pantai, atau mengajak ia turut mengambil peran dalam pementasan.
Selalu menebar senyum ya, Ika, agar kami yang tua-tua ini tidak lupa senyum.
[][][]