SEKITAR ENAM BULAN belakangan fenomena ‘kebatinan’ kembali ramai diperbincangkan di Bali. Itu bermula dari lagu musisi Ary Kencana berjudul ‘Hobby Kerawuhan’. Lagu yang dibawakan bersama Marco tersebut menjadi viral dan banyak didengar setelah kasus pemuda yang terindikasi mengalami gangguan jiwa mengamuk di Kuta Utara, Badung. Videonya menjadi konsumsi publik, diteruskan dan disebarkan berulang kali melalui grup-grup WhatsApp maupun media sosial dan akun-akun pemberitaan yang mungkin kurang paham kode etik jurnalistik.
Latar belakang musik dalam video memakai lagu ‘Hobby Kerawuhan’. Alhasil, opini publik yang dimunculkan adalah pemuda itu mengalami gangguan jiwa karena ‘belajar kebatinan’. Itu diperkuat saat mengamuk di jalan ia memakai pakaian adat. Premis yang ada; pemuda itu belajar kebatinan, makanya menjadi stress dan buduh-buduhan, istilah dalam bahasa Bali untuk menyebut sakit jiwa atau (maaf), “gila”.
Ini tentu hanya asumsi publik yang perlu ditelaah lebih lanjut oleh psikolog maupun psikiater, berdasarkan pemeriksaan medis. Hanya saja kemudian, lagu tersebut menjadi bahan untuk mengolok-olok kerabat maupun sahabat sesama orang Bali yang menekuni ilmu kebatinan dan menjalankan laku-spiritual. Hal tersebut diakui sendiri oleh Ary Kencana.
Dalam sebuah video TikTok ia mengatakan, mungkin sudah banyak orang tahu bagaimana situasi kerohanian di Bali, hanya saja tidak ada yang berani mengungkapkan secara individu.
“Tyang (saya) angkat menjadi sebuah lagu, akhirnya itu dipakai banyol-banyolan (lucu-lucuan), (untuk) ngewalek (mengolok-olok) teman yang kedewan-dewan (meminati spiritualitas) diputarkan lagu (karya saya) keras-keras,” ujarnya.
Kerauhan atau kerawuhan, menurutnya sebenarnya bukan sebuah hobi. Itu adalah tradisi, tetapi bisa juga merupakan sugesti bahkan gangguan depresi yang menjadi penyebab seseorang mengalami kerauhan.
“Lagu itu akhirnya menjadi kontroversi. Tyang sering berdebat di Facebook, dengan beberapa orang yang tidak setuju dengan kata-kata dalam lagu ‘Hobby Kerawuhan’. Tapi saya punya counter attack atau serangan balik,” cetusnya.
Yang jelas, kata Ary Kencana, dirinya tidak ada menyebutkan individu atau melecehkan simbol suci. “Saya bahkan akan dilaporkan ke Majelis Desa Adat (MDA) dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Silakan. Saya berani berbuat, menciptakan lagu tersebut, [tentu saya juga] harus berani bertanggung jawab,” katanya.
Otokritik
Penulis melihat, lagu tersebut sejatinya sebuah otokritik terhadap fenomena di Bali, yakni meningkatnya minat terhadap spiritualitas yang ditandai banyaknya orang Bali yang kedewan-dewan, suka sembahyang ke banyak pura, memakai atribut keagamaaan misalnya pakaian serba putih atau hitam, bergaul sesama peminat spiritual dan membentuk semacam paguyuban atau komunitas.
Pada 2017 penulis menulis perihal ‘ngiring’, artinya dari tahun tersebut apa yang ramai dibicarakan saat ini beberapa tahun lalu sudah ada, hanya saja kini makin mengemuka ditandai ‘kerauhan’ yang banyak terjadi saat upacara di Pura yang juga menjadi fokus bahasan lagu Ary Kencana. Mari kita simak penggalan lirik lagu yang viral tersebut:
Satwane pragat kerohanian
Pergaulane ane kedewan-dewan
Dedarane umbi teken don-donan
Ane paling keren hobine kerauhan
Bahan perbincangannya hanya soal kerohanian
Pergaulannya sesama peminat spiritual
Makanannya umbi-umbian dan sayuran
Yang paling keren, hobinya kerauhan
Ulian ben nguping nanging ortane lebihan
Enteg sebeng care be taen ke swargan
Koleksi foto betara lan rerajahan
Modal pongah pang maan pengakuan
Hanya dari menguping, obrolannya berlebihan
Penampilan seperti sudah pernah ke surga saja
Koleksi fotonya adalah foto Bhatara dan aksara suci
Modalnya percaya diri, agar mendapat pengakuan
Melajah kebatinan pelih agulikan/Yen sing stress pasti buduh-buduhan// menjadi inti pesan lagu ‘Hobby Kerawuhan’. Maknanya: Belajar ilmu kebatinan, jika salah sedikit saja, mengakibatkan (jika) tidak (mengalami) stres, pasti sakit jiwa.
Kata-kata itu yang bisa jadi membuat “gerah” banyak kalangan di Bali, terutama mereka yang benar-benar tulus menjalankan kehidupan spiritual. Tidak hanya kalangan itu, reaksi juga datang dari sesama seniman musik, seperti Yudi Kresna dan Ocha Prastya yang seakan menjawab lagu ‘Hobby Kerawuhan’ yang dipopulerkan Ary Kencana. Tidak berselang lama, lagu “Bisa Kelawan Dadi” dilihat banyak pemirsa melalui kanal YouTube, sama halnya dengan lagu “Hobby Kerawuhan’ yang hingga saat ini ditayangkan sebanyak 8.7 juta kali.
Lagu ‘Bisa Kelawan Dadi’ menyebut bahwa tidak semua peristiwa ‘kerauhan’ adalah hobi seperti disampaikan dalam lagu Ary Kencana. Ada yang sengaja mencari sensasi, ada pula memang sebuah proses niskala mereka yang ‘ngiring pikayun widhi’, menjalani dan mengabdi pada petunjuk, kekuatan dan berbagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa—Tuhan dalam sebutan umat Hindu di Bali.
Lagu itu juga memberi petunjuk dan saran agar para penekun spiritual, bagi yang ‘kerauhan’ hanya untuk mencari sensasi agar segera sadar diri, sehingga tidak membuat orang lain salah paham. Sane ngalih sensasi gelisang je sadar diri. Sehingga, tidak malah menganggap remeh bahkan “melecehkan” anugerah Hyang Widhi. Ulian ngalih sensasi pang sing kanti nyampahang paswecan widi
Bagi mereka yang ‘ngiring’, diberi pesan agar selalu memohon keselamatan bersama, Sane ngiring pikayunan widi ngiring ngerastiti rahayu sreng sami Untuk mereka yang kedewan-dewan, tetap ingat pada sasuhunan, agar tidak salah jalan dan apa yang dipelajari tidak menjadi beban bagi diri sendiri. Sane kedewan dewan eling raga lan sesuwunan/Pang sing kanti iraga salah janan pengeng ulian peplajahan//.
Pada bagian lain, lagu “Bisa Kelawan Dadi” menegaskan bahwa dualitas—di Bali disebut Rwa Bhineda—akan selalu ada dan tidak dapat dipisahkan. Ada kekuatan Bhatara, ada juga kekuatan Bhuta Kala. Ini dikaitkan dengan ‘kerahuan” yang memang kekuatan yang hadir misalnya saat upacara berlangsung, bisa dibedakan mana kekuatan Bhatara dan mana kekuatan Bhuta Kala yang ‘merasuki” seseorang saat mengalami kerauhan.
Sejatinya, tidak semua orang bisa dan mudah untuk bisa ‘kerauhan’. Hal itu dikatakan Luh Ketut Suryani, psikiater kondang dan penekun meditasi di Bali dalam sebuah artikel dalam buku Atasi Masalah dengan Kemampuan Spiritual Anda (2004) bahwa masyarakat Bali yang beragama Hindu percaya ada hubungan antara niskala dan sekala (dunia tidak nyata dan nyata)..
Kesurupan, kelinggihan, ketakson dan istilah-istilah lainnya merupakan tingkat kesadaran manusia untuk memahami dunia niskala. Kesurupan merupakan media untuk memahami apa yang dimaksud dunia niskala kepada umatNya.
Maka, seperti dalam lirik lagu ‘Bisa Kelawan Dadi’ disebutkan pentingnya upacara mediksa maupun medwijati khususnya dalam proses menjadi sulinggih atau pendeta Hindu yang sebelumnya (biasanya) adalah penekun spiritual. Agar tidak karena salah sedikit, nanti bisa jadi tertawaan (masyarakat). Pang sing pelih agulikan bisa dadi kekedekan. Kata pelih agulikan ini menjadi kata kunci yang sebelumnya juga ada dalam lagu Ary Kencana.
Bebedag Poleng
Dua lagu di atas sama-sama memiliki ‘pendukung’, tergantung dari cara pandang dan keyakinan masing-masing. Terbaru, musisi senior Bali, Widi Widiana, juga membuat lagu dengan tema besar yang sama. Judulnya, “Bebedag Poleng’. Kata ini bermakna “tidak mengerti akan sesuatu”. Ia mengkritisi lagu sebelumnya, perihal fenomena ‘kebatinan’ di Bali termasuk juga ‘kerauhan’. Agar tidak ada yang menangis karena ‘sakit telinga’, maksudnya, tersinggung lalu sakit hati oleh sebab lagu-lagu yang ada. Pang sing ade ne ngeling/Ulian nyakitang kuping//
Ade anak kedewan-dewan
Ulian, ulian pepelajahan
Ade ane, ngiring kerauhan
Sing je hobi ulian ngiring sesuhunan
Pang sing aduk sere aji keteng
Pelih abesik, mekejang maan cap mereng
Ade ne tegteg ade ne sedeng
Rwa Bhineda ento mula poleng
Ade selem ade putih
Sing ade ne lupu beneh pelih
Ne ngaku paling aeng sujatine
Sing nawang bebedag poleng
Intinya, di Bali memang ada orang yang menyukai spiritualitas, kedewan-dewan, karena belajar. Termasuk juga, mereka yang ditunjuk kekuatan supranatural untuk menjadi abdi, berjalan pada jalan kesucian atau disebut juga dengan istilah ngiring. Menjadi hal yang lumrah jika mereka yang ‘ngiring’ mengalamai peristiwa ‘kerauhan’. Hal itu bukanlah sebuah hobi, melainkan karena sebuah proses yang mesti dijalani dan wajar adanya, dari zaman dahulu sudah ada.
Agar tidak seperti pepatah Bali, ngaduk sera aji keteng yang bermakna satu orang membuat sesuatu yang tidak baik, semua orang jadi kena getahnya. Karena satu orang yang “salah”, semua penekun spiritual dianggap “sakit” mental/”mereng”. Memang, dalam dunia kebatinan dan spiritual ada juga mereka yang karena sakit fisik maupun mental mendekatkan diri pada Tuhan untuk mencari kesembuhan. Jadi sebelum menekuni spiritualitas memang mengalami gangguan psikologis. Bukan spiritualnya yang salah melainkan karena individu tersebut. Namun, ada juga yang sehat secara fisik maupun rohani dan memilih serta menjalani spiritualitas dengan sadar.
Dikatakan pula, konsep Rwa Bhineda di Bali disimbolkan dengan warna poleng (hitam-putih) yang banyak dijumpai sehari-sehari dalam bentuk kain. Dipasang misalnya pada pohon-pohon besar, juga pada palinggih dan pratima yang ada di pura-pura. Dalam warna poleng, di dalam bagian putih ada warna hitam. Sebaliknya, dalam bagian warna putih ada warna hitam. Maknanya, pandangan hitam maupun putih terhadap segala sesuatu tidak bersifat mutlak, sesuai dengan konsep Rwa Bhineda. Jadi tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah secara mutlak, seperti kata dalam lagu ‘Bebedag Poleng’
Bahkan, mereka yang mengaku paling hebat sebenarnya tidak mengerti sesuatu seperti yang ia katakan atau perbuat. Sebuah kritik pedas dari Widi Widiana yang disampaikan lewat lagu tersebut.
Dinamika Bali
Apa yang bisa kita petik dari ‘polemik’ yang disampaikan dalam lagu-lagu tersebut? Penulis mendapatkan pandangan menyoal cara orang Bali menyampaikan sebuah kritik. Dari dulu hingga sekarang, dari pengamatan sehari-hari dan beberapa buku tentang manusia dan kebudayaan Bali, dianggap kurang pantas jika orang Bali menyampaikan apa yang ada di pikiran maupun perasaan secara terbuka, kecuali dalam keadaan benar-benar dikuasai amarah. Dapat kita lihat, perbedaan pandangan soal kebatinan dan kerauhan disampaikan melalui lagu yang merupakan wujud budaya Bali—dalam hal ini seni. Meskipun kini orang Bali suka berdiskusi bahkan berdebat tentang sesuatu hal, itu dilakukan lebih banyak di media sosial, pada grup-grup maupun komunitas yang ada dan diikuti karena adanya kesamaan minat dan juga kegemaran.
Penulis juga melihat apa yang ramai diperbincangkan berbulan-bulan lamanya sebuah dinamika, bagaimana orang Bali melihat perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Pro-kontra menjadi sebuah kewajaran yang tidak kemudian dilanjutkan menjadi konflik terbuka. Di situ penulis lihat keunikan dari nilai-nilai luhur Bali sebagai satu-satunya pewaris budaya Nusantara yang masih ada dan lestari hingga saat ini di Indonesia. Isu dan topik yang hangat dan ‘viral’ boleh jadi bisa berubah dari hari ke hari. Semua menjadi perayaan akan perbedaan. Bali tetap damai-sentosa. [T]
CATATAN: Terjemahan lagu ke dalam bahasa Indonesia dan tafsiran penulis atas lirik tiga lagu di atas bisa jadi tidak sempurna. Untuk itu sudi kiranya diberi masukan utamanya oleh penekun bahasa dan sastra Bali selain juga penyuka filsafat dan spiritualitas di Bali. Matur Suksma. Rahayu.