TETANGGA sebelah rumahku gemar memelihara merpati. Ia pecinta merpati. Beberapa penyuka merpati berkunjung ke rumahnya. Ia memang mengembangkan merpati. Ia blasterkan beberapa jenis merpati. Merpati khas Bali dikawinkan dengan merpati Jawa. Hasilnya lumayan juga. Jual-beli merpati terjadi di rumahnya. Terkadang memanfaatkan teknologi, ia share di FB agar datang pembeli ke rumahnya.
Merpati-merpati miliknya memang dikenal karena gesit terbangnya. Terkadang sampai meninggi dipeluk awan. Mata tetangga sebelah rumahku itu menatap ke langit. Matanya dimanjakan oleh liukkan merpati, lebih-lebih saat merpatinya menyatu dengan merpati lain.
Ia suka berlama-lama menungu merpatinya terbang. Wajahnya sumringah saat merpati itu bisa terbang tinggi. Itu pertanda merpatinya berkualitas. Ada satu merpati yang tak pernah dilepas kepada siapapun.
Merpati merah. Merpati hasil kawin persilangan itu. Saat terbang, merpati merah itu menuntun merpati-merpati lainnya. Ia meliukkan tubuhnya, merpati lainnya akan meliukkan tubuh juga. Jadilah ia idola di kalangan merpati. Suaranya juga berbeda dengan merpati-merpati lainnya.
“Kwakkwak kruk! Kwakkwak kruuuuuuuuuuuuuuuk Kwak kruuuuuuuuuuuuuuuuuuuk!” Suaranya memanjang. Itu digemari oleh pencita merpati. Ekornya dikibas-kibaskannya.
Jika terbang sampai larut petang, dapat dipastikan akan ada merpati lain masuk dalam perangkapnya. Entah sudah beberapa merpati menjadi cundang. Rata-rata cundangnya berbulu hitam putih. Ekornya putih, kepalanya hitam atau sebaliknya. Senanglah pemilik merpati merah itu, ada dua kemungkinan cundangnya dijadikan lawar atau dijual kembali. Istrinya akan merasa suka jika dijual. Berbeda dengannya. Ia lebih suka kalau dijadikan lawar karena tuak asli sudah siap untuk menjadi temannya.
Dikisahkan kemudian ada seorang pecinta merpati lain. Pecinta merpati itu mengerahkan berbagai upaya agar bisa memilik merpati merah itu. Tak tanggung-tanggung jutaan uang berani dikeluarkan jika merpati merah itu dilepas. Tapi pemiliknya hanya menjawabnya dengan senyuman.
“Jika ini kulepas, sama artinya tak sempat membuat lawar merpati.” Ia tertawa saat menyampaikan hal itu.
Gronong merpati merah juga khusus dibuatkan. Ia pesan gronong yang terbuat dari kuningan dengan khiasan naga yang sedang mengeluarkan apinya. Naga api itu diyakini bisa membutakan hati merpati yang masuk perangkapnya.
“Sudahlah. Yang lain saja dibeli. Jangan merpati merah ini. Tak baik menjual yang sudah banyak berjasa pada perjalanan hidup.”
Pecinta merpati merah yang ngotot ingin membeli merpati itu pulang. Ia tak mau menyerah karena merpati peliharaannya tak ada yang memiliki kelebihan dari merpati merah itu. Padahal, sudah beberapa kali melakukan perkawinan silang juga tidak ada yang menetaskan merpati merah. Induknya sudah merah-merah, yang menetas kebanyakan hitam putih.
“Ada yang salah dengan perkawinannya. Perkawianan tidak ada yang salah. Yang salah memadukan perkawinan,” bisiknya. “Ah, tidak boleh menyerah sebelum berhasil.”
Ia kemudian mengintip cara pemilik merpati mengawinkan merpati merah agar unggul dalam merebut hati merpati lainnya.
Senja itu, ia pura-pura ke rumah si pemilik merpati untuk menikmati lawar merpati. Tuak satu jirigen berada di sampingnya. Aroma lawar menyengat hidung. Air liurnya dirasakannya mau keluar.
“Silakan dicoba. Sudah kusembahkan lawar ini. Tadi istriku sudah mebanten. Tak usah ragu. mari menikmati tuak dengan lawar merpati.”
Lelaki pencinta merpati merah terdiam. Ia berpikir, “Apa bedanya dengan memakan merpatiku?”
Ia tak mau menggerakkan tangannya untuk mencicipi lawar merpati. Ia merasakan cintanya telah dicabik-cabik dengan ratusan kali suara kapak. Dengan puluhan kali tangan meremukkan cintanya pada merpati. Burung simbol perdamaian itu dirasakannya tak mampu bersuara lagi. Ia tinggalkan tempat pemilik merpati merah. Hatinya hanya satu bisa memiliki merpati merah.
“Maaf, untuk yang satu ini. Tiang tak mau. Mungkin lain kali bisa bersama menikmati lawar. Permisi, tiang pamit pulang.”
Bau tuak dan lawar merpati menguntit perjalanan pencinta merpati itu. Ia seperti dikejar- kejar dengan beragam warna merpati. Ia seakan merasakan agar merpati-merpati itu dibebaskan dari kurungan.
“Ah, kenapa aku ini terbius dengan merpati merah saja. Apa karena setiap ia terbang selalu medapatkan cundang atau ada hal lain?”
Senja itu, pecinta merpati merah itu berupaya menenangkan hatinya. Ia lepaskan sekian keinginan tentang merpati merah. Setiap ada merpati yang melintas di atas rumahnya ia pura-pura tak mendengarnya. Istrinya mendekatinya, “Tumben tak tergoda sama merpati?”
Ia tersenyum tipis. “Tak selamanya terikat pada sebuah keinginan. Keinginan selalu mengikat pikiran. Senja ini, Beli mau melepaskan segala keinginan tentang merpati. Beli ingin menyendiri. “
“Menyendiri Beli? Aku ini istrimu. Memangnya Beli tak menganggap penting seorang istri? Kalau tiang tahu seperti ini, pasti tiang menolak cinta Beli. Untuk apa? Sekarang sudah memudar? Itu cintamu sudah diterbangkan merpati begitu khan? Dasar lelaki ingin menang sendiri. Baiklah kalau begitu, tiang pamit saja dari sini!”
“Waduh, bukan ketenangan yang Beli dapatkan justru sebaliknya. Bukan itu maksudnya? Beli ingin melihat diri Beli sendiri. Kenapa keinginan Beli pada merpati merah tak bisa diputuskan?”
“Ah, itu hanya alasan saja. Sudah, tiang mau kembali ke rumah asal.”
“Tidak bisa.” Laki-laki pecinta merpati itu cepat-cepat memeluknya. Ia tak mau kehilangan istrinya. Belahan hatinya tak boleh sakit. Istri yang telah menjaganya selama ini tak boleh tersakiti karena sebuah keinginan pada merpati merah. Ketenangan istrinya kembali pulih. Laki-laki pecinta merpati merah melupakan keinginannya pada merpati merah.
Malam memanggil. Keduanya menikmati malam. Lak-laki pecinta merpati merah itu terbawa ke dunia merpati merah. Ia lihat merpati merah menari-mari di pelupuk matanya, bulunya merah menyala. Matanya menjadi silau. Kamarnya dipenuhi dengan warna merah. Paruh merpati terbuka. Tubuhnya tertelan. “Di mana aku ini?” bisiknya.
“Di dunia merpati. Keinginanmu telah kutelan. Lihatlah di sana!” Ia baca di jantung merpati tertulis namanya beserta keinginannya. ”Jika keinginanmu memenuhi jantungmu? Apa yang terjadi?”
“Mati,” jawabnya singkat.
“Kalau sudah tahu seperti itu, kenapa tidak kau urungkan keinginanmu pada merpati merah?”
“Aku ingin mendapatkan cundang.”
“Berarti?”
“Tidak bisa.”
“Kalau begitu, mana yang kau pilih. Jantung apa keinginan?”
Laki-laki pencinta merpati itu meraba istrinya. “Bangun Bu, Bangun Bu!”
“Ah, Beli sudah tua masih saja berkeinginan.”
“Ini jantungku Bu.”
Istri terperanjat. Ia tahu suaminya pernah terganggu pada jantungnya. [T]
Catatan:
Beli: kakak
Tiang: saya
Mebanten: menghaturkan sajen
[][][]