PADA MALAM PENUTUPAN acara festival Ubud Campuhan Budaya di Museum Puri Lukisan, Minggu, 27 November 2022, dipentaskan satu buah karya seni musik baru berjudul “Banyumili”. Pertunjukan ini dibawakan oleh Sekaa Teruna Udyana Taman Kelod di bawah asuhan komposer sekaligus editor buku macandetan, I Wayan Diana Putra.
Seperti apa pertunjukan seni musik Banyumili itu?
I Wayan Diana Putra memberi penjelasan, Gamelan Selonding merupakan salah barungan gamelan Bali yang berlaras tujuh nada. Secara organologi berbentuk bilah tanpa pencon berbahan besi. Teknik permainannya menggunakan dua tangan. Adapun susunan tungguhan dalam barungan gamelan Selonding terdiri dari tungguhan petuduh, peenem, nyong-nyong alit, nyong-nyong ageng, gong dan kempur.
Tungguhan petuduh dan peenem dalam sistem kerja musikalnya bertugas memainkan bantang gending (melodi) serta mempimpin arah progresi melodi dan struktur gending. Tungguhan nyong-nyong alit dan nyong-nyong ageng memainkan pepayasan (ornamentasi) progresi melodi dengan teknik ubitan yang disebut dengan “ngucek”.
“Ngucek adalah sebuah teknik memberikan pepayasan atas progresi melodi dengan mengisi sub divisi dari jarak antara nada satu dengan nada lainnya dalam alur melodi. Cara kerjanya adalah membagi melodi gending menjadi dua pola yang kemudian menjadi satu kaitan jalinan yang dapat memperkaya isian progresi melodi,” kata Diana.
Latihan pertunjukan seni musik Banyumili
Kemudian tungguhan gong dan kempur yang tidak berpencon namun berbilah serta bernada dalam barungan Gamelan Selonding bertugas ganda yaitu sebagai penanda frasa melodi dan berperan sebagai kolotomik struktur gending. Gamelan Selonding awalnya dikenal tumbuh dan berkembang di Kabupaten Karangasem seperti di Desa Tenganan, Bebandem, Bongaya dan juga terdapat di pura-pura besar di Bali seperti Pura Penataran Agung Besakih dan Pura Ulun Danu Batur.
Gamelan Selonding secara konvensional difungsikan sebagai ‘pengramen’ dari jalannya upacara yadnya khususnya Upacara Dewa Yadnya, bahkan beberapa daerah seperti di Desa Tenganan Pegringsingan barungan gamelan Selonding diposisikan sebagai benda sakral. Menurut laporan skripsi Komang Ayu Paramita di Desa Tenganan Pegringsingan gamelan Selonding diposisikan sebagai pretima.
“Semakin berkembangnya pemikiran yang berbasis teknologi dan kreativitas, gamelan Selonding mulai dilirik untuk dikaji lebih dalam lagi dari segi teori estetika, nilai penyajian bahkan formulasi komposisi gending-gending dari gamelan Selonding,” kata Diana Putra.
Lalu apa hubungannya dengan pertunjukan Banyumili?
I Wayan Diana Putra mengatakan, Banyumili adalah salah satu bentuk karya atas intepretasi terhadap nilai musikal dari gamelan Selonding. Berpijak pada prinsik neo-klasik seperti yang diungkapkan oleh I Wayan Sudirana yaitu adalah sebuah bentuk karya baru yang dilandasi dari suatu yang sudah mapan (pakem) supaya memiliki nilai dan mutu yang bisa disepakati.
Beranjak dari pemikiran Sudirana tersebut karya Banyumili ini sangat jelas berpijak pada cara kerja penyajian gending-gending gamelan Selonding secara tradisi seperti menyajikan satu siklus bantang geding kemudian diberikan pepayasan dengan teknik ngucek adeng dan becat. Diawali oleh frasa melodi yang menuju akhir dan juga diakhir pada frasa melodi yang sama.
Prinsip itulah, kata Diana Putra, yang diambil sebagai pijakan karya Banyumili. Beranjak dari sebuah bantang gending yang diolah dengan cara memenggal frasa dari setiap perjalanan siklusnya, kemudian diberikan pepayasan ngucek sesuai dengan frasa-frasa genap dari bantang gending.
“Kemudian nama Banyumili itu sendiri dalam konteks karya neo-klasik gamelan Selonding ini sebagai sebuah arah dalam membuat melodi yang sifanta pendek dan kemudian dimainkan secara berulang-ulang,” kata Diana Putra.
Bentuk penyajian melodi berulang-ulang seperti itu dalam gamelan Bali disebut dengan ngubeng. Lebih lanjut korelasi antara Banyumili dengan cara bentuk melodi ngubeng adalah mengisi sesuatu ruang yang bersifat mengalir berputar dengan mengisinya dengan pola-pola pengramen yang dalam hal ini merujuk pada pepayasan.
Pemilihan judul Banyumili didasari atas pemikiran Ida Bagus Oka Manobhawa yang menyebutkan berintikan sebuah kebudayaan yang seperti halnya air yang mengalir kemudian mengalir ceruk-ceruk, pori-pori dan celah-celah terkecil kemudian memberikan stimulant untuk memunculnya benih-benih ciptaan.
Berdasakan atas pemikiran Oka Manobhawa tesebut karya neo-klasik gamelan Selonding ini mencoba untuk membuka ceruk-ceruk aliran kekayaan formulasi gending tradisi gamelan Selonding, dianalisis untuk dikembangkan serta diwujudkan dalam bentuk karya baru.
“Karya Banyumili ini terinspirasi dari filosofi telaga yaitu sebuah tempat genangan air yang dalam bentuknya didasari oleh lumpur sebagai penyangga ekosistem segala makhluk hidup yang berhabitat pada ruang tersebut,” ujar Diana Putra.
Latihan pertunjukan seni musik Banyumili
Dari pondasi lumpur sebagai penyangga kejernihan air pada permukaan merupakan sebuah konsepsi keseimbangan serta pertemuan untuk melahirkan benih-benih ‘reka’ atau penciptaan. Kemudian nilai filosofi telaga sebagai benih penciptaan ditarik menjadi arah penciptaan gending neo-klasik untuk gamelan Selonding berjudul Banyumili dengan menyajikan struktur komposisi yang berkembang dari frasa yang pendek-pendek.
Melodi didesain dengan konsep melodi ngubeng (progresi pendek yang berputar), pepayasan ngucek dengan cara kerja mejalan dan diberikan pepayasan berupa tembang palawakya dan chorus cecantungan barong landung dengan teks yang bersumber pada penggalan Kekawin Ramayana tentang keutamaan telaga.
Teks penggalan kekawin Ramayana ditembangkan dengan bentuk palawakya oleh Ida Ayu Komang Diana Pani. Selain itu dalam konteks nakeh nabuh (sikap memainkan gamelan) diinjeksi oleh Ida Ayu Wayan Arya Satyani dan Ida Ayu Prihandari.
“Karya Banyumili ini merupakan salah satu pergerakan untuk memunculkan tunas-tunas karya baru dalam konteks penciptaan gending gamelan,” kata Diana Putra.
Media Penyemai
Ketua Panitia Ubud Campuhan Budaya, Cokorda Gde Bayu Putra alias Cok Bayu, mengatakan, melalui karya Banyumili yang diprakarsai oleh Yayasan Janahita Mandala Ubud sebagai media penyemaian benih-benih potensi gamelan Selonding untuk dikaji dan digarap kembali dalam bentuk baru berpijak pada akar gamelan Selonding yang telah tertancap dengan mapan.
Hal menarik lainnya menurut Cok Bayu, penabuh yang memainkan karya Banyumili adalah sekee Selonding Prami Prani dari Sekee Teruna Udyana Banjar Taman Kelod, Ubud. Antara konsep musikal dan penyaji musikal memiliki nilai benang merah yang menarik, gending Banyumili dengan spirit pergerakan yang mengaliri disajikan oleh tunas-tunas generasi pelanjut (Udyana) sehingga menemukan jalinan dalam bentuk karya neo-klasik gamelan Selonding.
Latihan pertunjukan seni musik Banyumili
Lebih lanjut Ketua Yayasan Janahita Mandala Ubud, Cokorda Agung Ichiro Sukawati menambahkan bahwa karya Banyumili ini merupakan sebuah penyeimbang dalam pergerakan kebudayaan gamelan mengingat sudah terpublikasi jalinan pemikiran dalam bentuk eksplanasi pengetahuan gamelan.
Cokorda Agung Ichiro Sukawati juga lebih lanjut mengatakan bahwa penciptaan karya untuk gamelan Selonding untuk mengaktualisasikan konsep Manacika, Wacika dan Kayika.
“Manacika berorientasi pada pengembangan kebudayaan gamelan, Wacika memberikan ruang persemaian gagasan dan terkahir harus berdasarkan laku kayika yaitu berbuat dengan aktualisasi penciptaan karya Banyumili,” kata Cok Ichiro. [T][ole]