Pulasai, cekuh Lanang, timpal ipun.
(Rempah pulasari, kencur tunggal, itulah bahannya)
Film Petualangan Tara dan Pramana dimulai dengan secarik kalimat di atas yang dinyanyikan sangat khusuk oleh seorang pria dewasa layaknya orang yang sedang membawakan tembang mecapat dalam pertunjukan wayang dan pentas kerawitan, sambil iiringi suara seruling yang melantun tanpa putus. Kalimat tersebut boleh dikata sangat pendek dan sederhana, hanya terdiri dari 5 kata.
Namun, kehadirannya di awal film dapat melambungkan imajinasi, membuat penonton yang mendengarnya seketika membayangkan rempah-rempah yang dimaksud, atau mungkin juga rempah-rempah lainnya yang memiliki bentuk yang sama, warna yang serupa, atau rasa yang mirip. Setidaknya, itulah yang saya rasakan, atau barangkali, begitu pula adanya dengan 20 orang anak anak muda pada Jumat malam, 28 Oktober 2022, di Kedai Warang, Kediri, Tabanan. Karena sesuatu dan lain hal, saya sendiri baru bisa menuliskannya sekarang.
20 orang anak tersebut merupakan perwakilan dari Forum Generasi Berencana Tabanan, Forum Anak Daerah Tabanan, SMAN 1 Kediri, SMAN 1 Tabanan, dan SMKN 1 Tabanan. Malam itu, saya mengundang mereka untuk bersama-sama menonton salah satu serial dongeng rempah tersebut.
Sejujurnya, ada beberapa sekolah dan organisasi/komunitas lain yang mendapat undangan, namun mereka berhalangan untuk hadir. Kebetulan, hari itu adalah peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-94 dan mereka sudah memiliki agenda masing-masing di tempatnya masing-masing pula, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Sebagian dari pelajar Tabanan yang antusias datang untuk mengikuti pemutaran dan diskusi film Petualangan Tara dan Pramana. | Foto: Heris Adnya Wiguna.
Film Petualangan Tara dan Pramana mulai ditayangkan pada kanal indonesia.tv sejak 18 Desember 2021. Pemutaran untuk kru dan pemain dilakukan pada 19 Desember 2021 di Ruang Audio Visual (mini bioskop) Gedung Dharma Negara Alaya, Lumintang, dihadiri juga oleh Ibu Ketua Tim Penggerak PKK Kota Denpasar, Ibu Sagung Antari, Istri Walikota Denpasar.
Pada 17 September 2022, film dokumenter tersebut kembali diputar di tempat yang sama, namun kala itu disaksikan juga oleh Wakil Walikota Denpasar Kadek Agus Arya Wibawa beserta istri, pun sejumlah pimpinan OPD Pemkot Denpasar. Di Singaraja, film tersebut ditayangkan pada 30 September 2022 di Rumah Belajar Komunitas Mahima. Penayangannya saat itu diramaikan oleh kehadiran beberapa penggiat kreatif di kota pendidikan itu, seperti Kardian Narayana yang menjadi programmer Indonesia Raja yang diinisiasi Minikino, dan Dian Suryantini yang tahun lalu menjadi pemenang lomba penulisan Jalur Rempah kategori wartawan yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Nah, tak lengkap rasanya jika film Petualangan Tara dan Pramana tidak ikut ditayangkan di Tabanan.
Karena itulah, Ceritanya Creative Movement, sebuah komunitas kecil yang saya dirikan dari rasa iseng, mencoba menghadirkan film tersebut untuk anak-anak muda Tabanan. Saya langsung menghubungi Maria Ekaristi, produser pelaksana di balik film tersebut. Lewat pesan Whatsapp, saya meminta izin kepadanya untuk menayangkan film Petualangan Tara dan Pramana kepada teman-teman di Tabanan. Syukurlah, ia menyambut baik permintaan saya saat itu. Saya senang bukan main tentunya.
Maria Ekaristi berbagi kisah proses kreatif di balik produksi film Petualangan Tara dan Pramana. | Foto: Heris Adnya Wiguna.
Segera saya mengatur jadwal bertemu dengan Heris Adnya Wiguna, owner dari Kedai Warang, menawarkan kepadanya sebuah acara pemutaran film dan menanyakan apakah ia berkenan menjadi tuan rumah atau sebaliknya. Heris, begitu panggilan akrabnya, mengiyakan tawaran saya. Ia kemudian menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan, dari kursi tambahan, pengeras suara, sampai proyektor dan kaki tiganya. Wah, Mantap betul. Lagi-lagi saya bersyukur. Terlebih, Kedai Warang terletak jauh dari jalan raya dan keramaian atau hiruk pikuk, sehingga suasananya akan sangat mendukung untuk pemutaran dan diskusi film.
Terinspirasi dari Lontar Taru Pramana
Film “Petualangan Tara & Pramana” ini secara garis besar mengambil riset dari Lontar Taru Pramana. Mengenai penggunaan keunggulan rempah-rempah dan tanaman obat asli Bali. Film ini merupakan perwakilan Kota Denpasar dalam 9 seri film dokumenter yang digagas Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Syuting film dilakukan di sejumlah tempat di Bali seperti di Tabanan dan Buleleng. Dalam proses pembuatan film itu ditemukan banyak fakta mengenai jalur perdagangan rempah di Bali yang telah eksis sejak ratusan tahun lalu.
Dikisahkan Tara dan Pramana sedang meneliti tanaman dan rempah-rempah di hutan, seperti cabai jamu, merica, atau lada. Mereka berjalan semakin masuk ke tengah hutan untuk melihat-lihat tanaman lainnya. Saat sedang mengambar tenaman yang mereka teliti, tiba-tiba cuaca menjadi buruk. Kabut tiba-tiba turun menutupi pandangan di sekitar. Keduanya pun memutuskan untuk pulang.
Salah satu peserta menyimak diskusi dengan penuh perhatian. | Foto: Heris Adnya Wiguna.
Di tengah jalan, mereka akhirnya tersesat. Pramana ingat-ingat lupa dengan jalan-jalan yang sudah dilalui tadi. Tara bingung harus mengambil jalan ke kiri atau jalan ke kanan. GPS (Global Positioning System) yang mereka gunakan pun tidak berfungsi karena kehabisan daya. Mereka terus mencari-cari jalan sampai terjadi sebuah insiden. Tara terpleset, tubuhnya meluncur dengan sangat kencang di lereng hutan kemudian menabrak Pramana. Keduanya jatuh, berguling-guling, sampai akhirnya Pramana pingsan karena kepalanya terbentur batang pohon.
Beberapa saat kemudian, Pramana siuman. Namun ia tiba-tiba bisa mendengar suara-suara dari pohon. Mereka terus berjalan sampai akhirnya sampai di sebuah sungai dan suara-suara tersebut semakin keras terdengar. Mereka pun bertemu dengan sebuah pohon yang sangat besar dan tinggi. Pohon besar itulah yang kemudian memberi petunjuk tentang daun-daun tanaman yang bisa dimakan untuk mengatasi rasa lapar mereka dan daun-daunan yang bisa digunakan untuk mengobati luka di kaki Tara. Pohon besar itu juga yang akhirnya memberi tahu jalan pulang.
Adegan tersebut terinspirasi dari lontar Taru Pramana, sebuah naskah Bali klasik yang ditulis di atas daun enau, menceritakan berbagai jenis tanaman obat herbal yang dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Dalam lontar tersebut, disebutkan 202 tumbuhan yang dapat menjadi obat mujarab dan dapat digunakan ketika wabah melanda.
Foto bersama | Foto: Heris Adnya Wiguna.
Lontar Taru Pramana disebut sebagai sebuah ajaran suci dari Ida Bhatari Ghori (Durga) yang diturunkan kepada Mpu Kuturan saat dunia sedang diterjang oleh gerubug atau keberebahan. Kala itu, wabah cakbyag (mati di tempat) sedang melanda dunia dan memakan banyak korban jiwa. Melihat kondisi yang menyedihkan tersebut, Mpu Kuturan pun tergerak hatinya. Ia kemudian melakukan tapa, memuja para dewata agar meanugerahkan dirinya sebuah kukuatan penyembuhan.
Ia pun diberikan kekuatan untuk bisa berbicara dengan semua tanaman, pun mendengar suara dari pohon-pohon. Tanaman dan pohon-pohon itulah yang kemudian menjelaskan diri, memberi tahu Mpu Kuturan bahwa akar, batang, daun, buah, dan bunga mereka dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit.
Anak Muda Mengenal Kemuliaan Rempah
Film yang disutradari oleh Agung Bawantara ini terasa begitu ringan. Alurnya bisa diikuti oleh siapapun yang menonton. Dengan kata lain, film ini sangat ramah bagi semua kalangan, dari yang muda sampai yang tua, dari yang anak sekolah sampai bapak ibu rumah tangga bisa menikmatinya. Meski dibungkus ringan, film ini justru berhasil mengkomunikasikan pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada penontonnya, terutama tentang rempah-rempah di Bali dan kegunaannya bagi kehidupan masyarakat. Secara tidak langsung, para penonton diajak untuk mengupas usada, salah satu kearifan lokal masyarakat Bali tentang ilmu pengobatan.
Dalam film tersebut, pohon besar bercerita tentang daun pegagan yang bisa menyembuhkan kaki Tara yang terluka akibat insiden terjatuh dan terguling-guling di tengah hutan. Masyarakat Bali mengenal daun penyembuh luka tersebut dengan sebutan Don Piduh. Daun yang berbentuk seperti ginjal dengan pinggirannya yang berombak dan bergerigi tersebut ditumbuk-tumbuk sampai hancur, kemudian ditempelkan pada bagian tubuh yang terluka.
Tara dan Pramana sebelum masuk ke tengah hutan. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Pramana mencoba meneliti tanaman tertentu namun terhalang. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Monyet yang tak terduga hadir saat syuting film. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Saya ingat betul sewaktu saya kecil, saat saya masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar, beberapa kali saya pernah terjatuh dari sepada gayung saat pulang sekolah. Nah, daun pegagang itulah yang saya kunyah kemudian saya tempelkan di lutut yang lecet. Daun pegagan banyak saya temui di jalan-jalan. Ia tumbuh liar dan subur di antara semak dan belukar.
Daun pegagan juga bisa dimakan langsung. Atas arahan pohon besar, Tara dan Pramana pun menjadikan daun tersebut sebagai pengganjal rasa lapar saat tersesat di dalam hutan. Kata mereka, rasanya memang pahit, tidak enak, sepat, seperti rasa buah jambu biji yang masih mentah, Namun, sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh.
“Kata pohon besar, ini (daun pegagan) bagus untuk kecerdasan.” Begitulah kata Pramana kepada teman-temannya di rumah.
Di samping daun pegagan, dalam film tersebut juga disebutkan tentang boreh baas cekuh, sebuah ramuan beras kencur yang dihaluskan hingga menjadi seperti lulur. Boreh adalah salah satu pengobatan tradisional yang sangat berkhasiat bagi kesehatan. Manfaatnya pun beragam, mulai dari menghangatkan tubuh, memperlancar peredaran darah, mengurangi nyeri otot, mengeluarkan racun dalam tubuh, bahkan merawat kesehatan kulit.
Ibu Pramana membuat boreh tersebut untuk mengobati flu yang dialami Pramana akibat kembali ke hutan untuk memetik lebih banyak lagi daun pegagan. Ibu mengoleskan boreh tersebut di kaki Pramana. Kata Ibu, boreh tersebut dapat membuat tubuh menjadi hangat sehingga flu dapat terhindar dan terobati. Hasilnya akan lebih maksimal jika dibalurkan di seluruh tubuh sampai ke pelipis.
Adegan tersebut membawa ingatan saya saat ibu saya sendiri membalurkan boreh di punggung dan leher saya. Entah sakit apa saya waktu itu. Yang saya ingat betul, saya tidak enak badan. Ibu saya menyemburkan (nyimbuh) boreh tersebut lewat mulutnya. Rasanya sedikit geli ketika butiran-butiran beras yang sudah ditumbuk tersebut menusuk-nusuk kulit punggung saya.
Cerita soal rempah tidak berhenti sampai di sana. Saat menikmati jamuan makan siang pun, Pramana kembali bercerita soal base genep atau bumbu lengkap yang terdiri dari 29 macam bahan, termasuk belasan jenis rempah, seperti kencur, jahe, lengkuas, dan kunir. Base genep itulah yang menjadi bahan dasar dari semua bumbu masakan di Bali, terutama lawar dan masakan khas Bali lainnya.
Tara dan Pramana tersesat di hutan akibat cuaca buruk. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Tara dan Pramana sebelum terjatuh di lereng hutan. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Tara dan Pramana bertemu dengan pohon besar. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Bagi masyarakat Bali, base genep adalah sebuah warisan leluhur dan budaya kuliner yang kabarnya sudah ada sejak lama, sejak dua ribuan tahun lalu, sejak zaman Bali Kuno. Bahkan, yang pernah saya dengar, ada filosofi yang melekat dalam base genep. Kunyit berada di arah barat mewakili Dewa Mahadewa. Isen di arah selatan mewakili Dewa Brahma. Kemudian, Dewa Iswara diwakili oleh cekuh dan kencur yang berwarna putih, dan jahe menjadi simbol Dewa Wisnu di utara.
Uniknya lagi, tidak ada perhitungan atau timbangan yang pasti dalam pembuatan base genep. Masyarakat Bali hanya menggunakan jari mereka sebagai takaran, misalnya jari tengah untuk mengukur lengkuas, jari telunjuk untuk mengkur kunyit, jari manis untuk menakar jahe, dan jari kelinging untuk mengukur kencur.
Di samping kemuliaan rempah-rempah tadi, juga diceritakan tentang khasiat tanamam yang dikelompokan menjadi tiga, yaitu tis atau sejuk/dingin, dumalada atau sedang, dan anget atau hangat. Pohon besar juga menceritakan sejarah perdagangan rempah di Bali secara ringkas dan jelas. Pada zaman dulu, pulau Bali dipenuhi oleh pohon-pohon besar dan hutan lebat ada di mana-mana. Saat itu, raja-raja di Bali memerintahkan rakyatnya untuk membuat sawah dan ladang, menanam pohon-pohon untuk bahan makanan dan obat-obatan. Yang ditanam antara lain cabai, bawang, lengkuas, kencur, ketumbar, kapulaga, jeruk, dan kelapa.
“Nah, sekitar 11.000 tahun lalu, setelah pulau ini mengenal perdagangan antarpulau bahkan antarbenua, mulailah masuk tanaman rempah-rempah, seperti pala, lada, merica, dan cengkeh. Bibit dan hasil tanaman pohon tersebut dibawa dan diperjualbelikan oleh pedagang dari Ternate, Tidore, Banda, dan lain-lain, juga dari Tiongkok, India, dan Arab. Tempat jual belinya di pelabuhan-pelabuhan tua Bali utara, yakni Julah, Sembiran, dan Pacung” tutur si Pohon Besar.
Riset dan Proses Kreatif Petualangan Tara dan Pramana
Ide, gagasan, dan skenario dilakukan oleh sang sutradara, Agung Bawantara. Kemudian direview, didiskusikan, pun dimatangkan lagi bersama Oka Sudarsana dan Agus Wiranata.
Selain terinspirasi dari lontar Taru Pramana, cerita ini juga terinspirasi dari tugas-tugas yang didapat oleh para pelajar Kota Denpasar saat masa libur sekolah. Mereka ditugaskan untuk meneliti hal-hal tertentu. Mereka bebas menentukan apa saja yang ingin mereka teliti. Yang suka layang-layang bisa membuat laporan tentang layang-layang. Jadi layangan tersebut harus diriset. Begitu masuk sekolah harus sudah jadi laporannya. Ada juga siswa yang ikut kelompok ilmiah, mereka penelitiannya ke hutan atau menyelam. Nah, dari sanalah muncul ide menceritakan Tara dan Pramana masuk ke dalam hutan untuk meneliti rempah-rempah.
Mengapa diceritakan tersesat hingga sore hari? Karena jika cerita tersesat hingga malam, maka pada cerita akan bertambah dan akan melibatkan makin banyak pihak Terkait dengan meneliti rempah-rempah tadi, bagi say aitu adalah hal yang sangat menarik. Saya saat SMP tidak pernah mendapat tugas untuk meneliti langsung ke lapangan. Paling-paling hanya meneliti pertumbuhan jagung dan kecambah, mengganti variable-variabel tertentu, seperti media tanam, insitas cahaya, volume air, dan lain-lain.
Pramana bercerita kepada teman-temannya tentang khasiat daun pegagan. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Ibu Pramana membuat boreh baas cekuh untuk mengobati Pramana yang sedang flu. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Ceraken yang ditampilkan dalam film Petualangan Tara dan Pramana. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Awalnya, dialog-dialog dalam film tersebut rencananya dibuat dalam bahasa Bali, tapi karena kita memikirkan bahwa film ini akan ditonton oleh penonton indonesiana.tv dari seluruh Indonesia, maka dipakailah dialog-dialog berbahasa Indonesia, tapi dengan logat dan dialek Bali.
“Kami sengaja tidak menggunakan bahasa Bali, tetapi menggunakan dialek bali. Terasa tidak dialeknya Bali banget? Jadi itu yang ingin kami kabarkan bahwa tidak harus dengan bahasa Bali. Tapi dengan bahasa Indonesia yang berdialek Bali. Itu akan mudah diterima. “
“Kenapa lokasi filmnya itu ada di Tabanan dan di Buleleng? Kenapa? Kalian pernah riset tentang rempah di Bali? Kalian tahu tidak di Tabanan itu ada perkebunan pala?” Tanya kak Maria melanjutkan sesi diskusi.
Kak Maria bercerita, sebelum film Petualangan Tara dan Pramana mulai digarap, ia bersama timnya melakukan riset selama kurang lebih 3 bulan. Selama 1 bulan pertama ia riset cerita terlebih dahulu, barulah kemudian riset tentang lokasi syuting. Saat riset itulah, diketahui bahwa kabupaten Tabanan memiliki sebuah perkebunan Pala. Letaknya ada di Penebel. Adegan pertama dalam film Petualangan Tara dan Pramana diambil di perkebunan pala tersebut.
“Di Penebel ada beberapa lokasi, tidak cuma satu. Titik sungai tadi itu ada di Banjar Dukuh sebelah utara. Yang pohon besar itu di Yeh Empas. Jadi saya syuting di sana karena saya tertarik. Tempat itu saya incar dari lama. Untuk film apa ya? Untuk scene apa gitu yang bisa kita pakai? Ternyata ketemu. Jadi ada beberapa lokasi pohon besar yang kita cari termasuk di Kebun Raya. Tidak dapat yang segitu ukurannya. Yang sebesar dan serimbun melengkung begitu.” Ujar Kak Maria.
Riset serupa juga dilakukan saat mencari titik-titik pelabuhan tua di Bali utara. Mencarinya bukanlah perkara mudah. Waktu sudah berlalu 11.000 tahun dan sudah pasti lokasinya sangat berubah. Sampai akhirnya Kak Maria menemukan titik-titik pelabuhan tua tersebut di Desa Julah, Sembiran, dan Tejakula ke arah timur.
“Pelabuhannya sudah tidak seperti dulu lagi. Tidak seperti yang digambarkan dalam ilustrasi tadi. Kenyataannya malah seperti di ending film tadi itu. Itu pelabuhan Julah. Ending film tadi itu adalah pelabuhan Julah saat ini. Jadi diambil pakai drone, dari atas, jadi itulah pelabuhan Julah saat ini. Dulu kan berbeda penampakannya.”
Menurut riset pustaka yang ia lakukan, perdagangan rempah dimulai di Pelabuhan Julah. Rempah-rempah itu datang dari luar bali, seperti Banda Neira, Ternate, dan Pulau Rote, berlabuh di Julah, kemudian turun ke Gitgit lewat Buleleng, turun lagi ke Baturiti kemudian belok kanan ke Penebel. Itulah sebabnya di Penebel ada perkebunan pala dan di Gitgit ada perkebunan cengkeh.
“Tadinya saya tidak percaya. Saya harus meyakinkan diri pada saat riset pustaka itu dengan lokasi. Jadi saya selama 2 minggu mencari lokasi yang tepat untuk film ini. Sebelum sutradara dan camera person ikut turun untuk cek lokasi dengan alat dan sudut-sudut pengambilannya. Kemudian dari sana saya menemukan memang di Penebel itu ada beberapa lokasi yang ada perkebunan pala.
Lokasi yang pertama kali muncul, yang Pramana duduk, itu syutingnya di Penebel dan pas di bawah pohon pala. Dan itulah adalah tempat yang paling bisa untuk kita ambil gambar. Karena di tempat lain tidak bisa. Ada pala yang terlalu pendek, ada yang tinggi, dan terlalu banyak semak-semak di sampingnya. Jadi agak susah kita ambil gambar.”
Produksi film Petualangan Tara dan Pramana dilakukan selama 7 hari. Saya kaget, penonton juga tidak menyangka film tersebut diproduksi dalam waktu sesingkat itu. Salah seorang dari mereka awalnya mengira film tersebut pastilah dikerjakan kurang lebih selama 2 bulan.
Dalam 7 hari proses produksinya, Kak Maria dan timnya menjaga kontinuitas dengan baik. Karena syuting mereka sebagian besar ada di tengah hutan, kondisi pakaian para pemain harus dijaga dengan sangat hati-hati. Kotornya hari ini harus sama dengan kotornya kemarin. Jadi selama 7 hari itu, jika ingin mencuci baju ataupun celana, tim produksi harus mengecek terlebih dahulu lewat gambar terakhir yang diambil. Tak hanya menjaga kekotoran baju dan celana, tapi juga menjaga kekotoran sepatu.
“Itu kan take di hutan, Kak. Pernah ada pengalaman mistis tidak?” tanya Adi Ardana Yasa, salah seorang anggota Forum Anak Daerah Kabupaten Tabanan. Saya juga penasaran dengan hal ini. Setahu saya, hutan memang tempat yang agak mistis. Tenget kalau kata orang Bali. Itulah mengapa kita harus menjaga sikap jika masuk ke tengah hutan, seperti jangan menyabut tanaman sembarangan, dan sebagainya.
Saat menonton adegan Tara dan Pramana tersesat di hutan, seketika saya langsung teringat tutur engkong saya dulu. Di tengah hutan-hutan di Bali, ada tanaman gaib yang disebut sebagai Bun Mingmang, sebuah akar dari pohon berbentuk melingkar-lingkar dan bertemu (pertemuan akar). Akar itulah yang dipercaya memiliki kekuatan magis. Siapapun yang lewat di bawahnya akan kebingungan, linglung, berjalan berputar-putar tanpa tahu arah. Bahkan, menurut kabar, akar ini digunakan oleh siluman ular di tengah hutan untuk mencari mangsa, entah manusia, entah hewan besar lainnya.
“Tidak ada. Sebelum benar-benar masuk ke tengah hutan dan memulai proses produksi kami sudah minta izin terlebih dahulu. Tapi kalau ketemu hewan-hewan yang tak terduga, itu memang ada. Seperti monyet yang ada di adegan tadi” Jawab Kak Maria.
Karena suara-suara monyet di atas pohon saat itu terdengar dalam rekaman syuting, maka monyet-monyet itu juga harus diambil gambarnya. Hal ini dimaksudkan agar ada alasan yang kuat mengapa ada suara monyet di dalam filmnya. Kehadiran monyet ini tentu tidak direncanakan dalam scenario. Mereka spontan hadir dalam lokasi syuting. Apa yang dilakukan tim produksi saat itu adalah bagian dari merespon apa-apa saja yang terjadi di lapangan.
“Yang itu karena by coincidence ya, tidak sengaja kejadian itu, tapi harus diambil. Kalau tidak, film akan jadi jomplang.”
Kak Maria juga bercerita tentang hal tidak terduga lainnya saat proses syuting di rumah Pramana. Adegan saat itu sebenarnya hanya perlu diambil kurang lebih selama 2 jam saja. Namun, di sekitaran rumah tersebut ternyata ada acara pengajian. Proses syuting pun harus ditunda saat sesi pengajian sedang berlangsung, dan dilanjutkan lagi saat sesi jeda.
“Karena saya orang muslim, saya tahu saat pengajian setelah ayat-ayat tertentu aka nada jeda selama beberapa menit. Nah saat itulah kami melanjutkan sesi syuting. Akhirnya syuting hari itu bisa selesai dilakukan sampai jam 10 malam,” kata Kak Maria.
Di samping itu, saat adegan mebat di Penebel, tim produksi lupa mencantumkan breakdown shoot. Sehingga, di hari terakhir syuting, mereka kembali ke Penebel untuk mengambil adegan yang kurang.
“Jadi hari Senin, Selasa, Rabu, kami syuting di Penebel dan sekitarnya. Rabu malam kami turun ke Denpasar untuk syuting kesokan harinya. Kamis malam kami balik ke Penebel untuk kemudian nginepnya di Bedugul sebagai basecamp. Karena kami akan ke Buleleng. Nah hari Jumat kami ke Buleleng, turun ke Bedugul lagi, hari Sabtu kami ambil lagi di sekitar Bedugul untuk view, untuk footage, untuk gambar-gambar kebun dan sebagainya. Sabtu malam, Agung (sutradara) bilang dia perlu semua pemain termasuk si Ibu untuk ikut di adegan mebat karena kalau tidak, akan jomplang adegannya. Astaga, langsung saya telepon si anak dua itu (pemeran Tara dan Pramana) dan ibunya itu kebetulan ibunya yang jadi Pramana, jadi satu keluarga kan. Saya bilang, besok pagi saya jemput jam 5 pagi bisa tidak? Kita mau syuting di Penebel. Syukurnya bisa. Jadi nggak ada masalah. Jam 4 saya berangkat dari rumah. Jam 5 udah jemput mereka. Berangkat, kemudian sampai di Penebel jam setengah 7. Jam 7 take,” sambungnya.
Tertundanya jadwal dari Jakarta menjadi kendala yang harus dihadapi oleh tim produksi. Selama 2 bulan, Kak Maria bersama teman-temannya pun akhirnya memohon-mohon kepada pemilik jineng di Penebel untuk tidak dirobohkan dulu. Pemiliknya saat itu berencana untuk melakukan renovasi karena kayu-kayunya sudah kropos.
“Jineng itu lokasi syuting untuk adegang mebat, sudah ada dari tahun 1930 dan mau direnovasi. Kami menahan dulu untuk tidak dirobohkan dan direnovasi. Jadi jika dibangun ulang keliatannya tidak bagus begitu. Etniknya kurang. Itu kendala-kendala di lapangan. Jadi itu hal-hal tidak terduga yang terjadi dan bagaimana kita mengantisipasi. Jangan panik, semua ada jalan keluarnya. Pasti. Bagaimana kita menenangkan diri saja dan tetap berada di alurnya.”
“Saya sendiri sudah mendapat pesan yang ingin disampaikan dari film tadi. Mungkin bisa dikatakan sekali lagi pesan apa yang Kak Maria ingin sampaikan ke kita?” tanya Gusti Ngurah Guntur Satia Ningrat, ketua ekstra cinematography SMA Negeri 1 Tabanan.
Kuliner khas Bali yang dibuat menggunakan base genep atau bumbu lengkap. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Menurut Kak Maria, film Petualangan Tara dan Pramana bukan murni dibuat langsung oleh ia dan timnya. Idenya memang sudah ada sejak lama. Namun baru bisa direalisasikan dalam program Jalur Rempah yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia sedang berusaha membuat jalur rempah tersebut menjadi sebuah heritage yang terdaftar di Unesco.
“Sebenarnya film ini ada harusnya ada 13 seri, dari Aceh sampai Banda Neira, dan Bali adalah salah satunya. Ternyata yang produksi hanya 9 daerah. Nah dari 9 ini, ide dan eksekusi kamilah yang dianggap paling baik oleh kementrian, karena ada edukasi untuk anak-anak, kemudian membanggakan rempah kita, dan utuk menghidupkan kembali rempah-rempah kita.”
“Lalu, setelah berhasil memproduksi film ini, apakah ada yang kurang, Kak?” tanya Pande Dwitya Sutha, pelajar SMA yang juga terdaftar sebagai Forum Anak Daerah Kabupaten Tabanan.
“Pasti ada yang kurang. Satu kurang dananya,” jawab Kak Maria yang langsung disambut gelak tawa oleh para penonton dan peserta diskusi.
“Kami sendiri membuat sampai 6 seri sebenarnya, sampai Pramana menjadi dosen. Itu kelanjutan ceritanya itu sudah ada. Tinggal duitnya saja. Kalau ada langsung diproduksi untuk seri kedua, ketiga, sampai seri keenam. Jadi nunggu duitnya saja, karena tidak sedikit kami butuh dana untuk itu terutama untuk peralatan. Yang banyak habis itu sebenarnya konsumsi dan transportasi. Tidak sanggup kita bayar supir, karena kita syuting 24 jam dan exstra hours-nya kan gede tuh. Tidak kuat kita.”
Orang Bali Menikmati Jamu Lewat Rempah
Kak Maria bercerita, basa genep atau bumbu lengkap adalah cara orang Bali menikmati jamu. Jika orang Jawa menikmati jamu dengan minum rempah. Orang Bali menikmati jamu dengan memakannya. Jamu tersebut ada dalam kuliner khas bali, seperti lawar, babi guling, ayam betutu, dan lain-lain. Dalam edukasi bebasan atau perbumbuan di Bali, yang utama adalah isen, kemudian jahe, kemudian kunyit, kencur, bawang merah, putih, tabia atau cabai. Cabai yang digunakan adalah Tabia bun, cabai berwarna hijau yang pohonnya merambat. Kemudian dilanjutkan dengan ketumbar, merica, cengkeh. Tapi kuncinya adalah sereh. Kalau tidak ada sereh tidak ada basa genep.
“Yang kalian tidak menyangka bahwa di dalam basa wayah ada rempah yang susah dicari, apa itu? Ada yang kenal jangu tidak? Jangu itu obat untuk ginjal. Karena kalau porsinya benar, itu menjadi obat bagi kitamemang. Jangu untuk ginjal. Pala untuk paru-paru sebenarnya. Jadi ada bagian-bagiannya.”
“Apa nama wadah kotak-kotak tempat bumbu itu? Neneknya masih ada punya nggak? Apa itu namanya?” tanya Kak Maria kepada para penonton. Mereka semua seketika langsung mengingat-ngingat kotak yang dimaksud, yang ada dalam film yang baru saja mereka tonton. Tempat bumbu itu berbentuk persegi panjang dengan 9 bujur sangkar di dalamnya, berisikan rempah-rempah seperti lada, cengkih, pala, dan sejenisnya. Itulah yang dikenal sebagai ceraken oleh masyarakat Bali.
Pelabuhan Julah saat ini. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
“Ada yang bisa menyebutkan rempah-rempah yang ada dalam ceraken tadi?” Kak Maria kembali bertanya. Para peserta diskusi kembali mengingat-ingat apa yang mereka lihat dalam film atau di dapur masing-masing. Sebagian menjawab dengan menebak-nebak, ada yang menjawab benar namun kurang lengkap. Namun, salah seorang dari mereka berhasil memberikan jawaban yang diinginkan.
“Kencur, ketumbar, lada, cengkeh, bawang merah, bawang putih, isen, kunyit, dan jahe.” Jawab Trina Reswara Maharini, seorang pelajar dari SMA Negeri 1 Kediri. Peserta lainnya langsung bertepuk tangan. Saya pun tercengang. Hebat. Ia tahu rempah-rempah yang menjadi bumbu dapur. Pastilah Tri ini sering memasak di rumahnya.
“Adegan mana yang paling menarik untuk kalian?” Pertanyaan yang diajukan Kak Maria ini sekaligus menjadi pertanyaan penutup hari itu. Pande Dwitya Sutha mengangkat tangan dengan cepat.
Yang paling menarik menurutnya adalah adegan di mana Pramana bertemu dan mendapat kekuatan untuk berbicara dengan pohon besar. Jaman dulu orang bertapa beratus-ratus tahun baru bisa ngomong dengan pohon, tapi kini orang terbentur pohon dulu, barulah bisa ngomong sama pohon. Karena itulah, teman-teman Pramana akhirnya menjulukinya sebagai Mpu Kuturan gaul, Mpu Kuturan yang hadir di era milenial.
Pesan dan Kesan dari Peserta
Sebenarnya kehadiran para peserta hari itu sudah cukup berkesan bagi saya selaku penyelenggara acara Pemutaran dan Diskusi Film Petualangan Tara dan Pramana di Tabanan. Namun, saya menanyakan beberapa dari mereka tentang apa yang mereka rasakan setelah menonton film tersebut.
“Kalau dari saya pribadi, Kak. Saya sebenarnya bukan expert film, tapi saya suka nonton film. Dari tadi saya lihat filmnya keren banget, dan seru banget. Menarik. Saya pribadi tertarik untuk rewatch. Unsur kebudayaannya kental banget, unik, dan tidak monoton. Karena yang dibahas adalah rempah-rempah. Biasanya film edukasi kebanyakan membahas budaya yang umum seperti tarian daerah dan sebagainya. Tapi ini rempah-rempah dan menurut saya langka dan unik. Dan generasi muda juga harus tahu bahwa rempah-rempah bukan hanya harta karun di masa lalu tapi juga masih menjadi harta karun hingga saat ini.” – Adi Ardana Yasa, Forum Anak Daerah Kabupaten Tabanan.
“Sebelumnya terima kasih atas undangannya, saya dari perwakilan OSIS SMA Negeri 1 Kediri merasa sangat senang karena bisa menghadiri acara ini. Film yang ditampilkan kali ini sangat edukatif, dan film kali ini adalah film yang luar biasa karena mengenalkan kita seluk beluk tentang rempah-rempah yang ada di Indonesia khususnya di Bali. Kami tunggu film inspiratif dan kreatif selanjutnya. Terima kasih.” – Abhi Ardika Purwa, SMA Negeri 1 Kediri.
“Acaranya seru karena didukung sama tempatnya yang buat nyaman, dan kakak managernya (Kak Maria) juga ramah banget jdi rasa canggungnya hilang. Menurut saya tadi filmnya keren banget dan unsur budayanya juga dapat banget. Jujur menurut saya ini film pertama yang saya tonton dan kesannya Bali banget, seperti waktu adegan meboreh sama ngerajang rempah-rempahnya.” – Komang Tri Laura, SMK Negeri 1 Tabanan.
“Pesan dari saya sendiri mungkin untuk screening film seperti tadi itu diadakan secara luas, maksudnya biar banyak orang yang tahu juga Kak. Untuk kesannya juga banyak hal yang saya dapat dalam kegiatan tadi seperti proses dalam pembuatan film, hal-hal yang diperlukan di film, dan masih banyak lagi pokoknya seru deh, Kak.” – Pande Dwitya Sutha, Forum Anak Daerah Kabupaten Tabanan.
Mebat di bawah lumbung. | Foto: Potongan adegan film Petualangan Tara dan Pramana.
Tidak terasa, 2 jam sudah berlalu. Jam dinding sudah menunjuk pukul 21.00 WITA. Sudah saatnya menutup acara agar para penonton tidak terlalu malam pulang ke rumah masing-masing. Namun sebelum itu, waktunya berfoto bersama. Di akhir acara, saat para penonton bersalam-salaman, mengucapkan pamit kepada saya dan kepada Kak Maria, tiba-tiba saya terbayang kata-kata Pramana di akhir film tadi.
“Rempah itu adalah emas hijau. Bagaimana kita membesarkan potensi rempah di negeri kita dan mengangkat kembali kehebatan jalur rempah di negeri kita”
Boreh awak boreh batis ulig
Di crakene wenten
Ditu jemak ya padun atebih
Jebugarum, sintok, lan mesuwi
Jelawe pulasai
Cekuh lanang timpal ipun
Param untuk badan dan kaki dihaluskan
Bahannya tersedia di kotaknya
Ambil masing-masing secukupnya
Pala, sintok, dan mesunyi (ragam rempah)
Jelawe dan kulit pulasari
Kencur tunggal, itulah bahannya.