DI BAWAH POHON HUJAN
pada merah kursi besi
kau kenang wajah silam
setelah meneguk kopi hitam
“di sini rumah puisi,”
katamu
kau tiup panas uap
selembut angin
jatuhkan helai daun pohon hujan
yang tumbuh menyela awan
lalu dalam hanyut itu,
kau selalu akan mengangguk
“inilah orkestra bisu, mengalun hingga hulu nadiku!”
betapa kau tenggelam di bawah tudung itu
yang semilirkan riak tawa dan kata
yang senantiasa kau eja sebagai rumah
bagi resah kepala
yang terjejal ingin tumpah
lalu racauan mulutmu, pelan-pelan menjala telinga
yang turut menarik kursi dan mengacung-acung jari
“tempat macam apa ini?”
tanyaku
lalu kau sinis lagi
katamu, ini lebih sekadar rumah
bagi resah kepala
yang terjejal ingin tumpah
di bawah pohon ranting urat itu
huruf-huruf mengerat dalam bahasa
yang belum lagi kau catat, ampas di gelas
makin pekat mengikat tiap hembus napasmu
menghayat peristiwa dan debat
kini, tak henti-henti kau cari
sisa serbuk kopi yang barangkali jatuh
dari seribu sembilan ratus sembilan puluh tujuh
yang merenggut hidupmu penuh
jadi tak lagi utuh
“ke mana aku pulang?”
igaumu tiap petang
LOLA
seorang tua,
menjemput perempuan belia
berkendara satu janji
ia ingin memberi buah tangan
yang tak bisa dibeli
dan segala susah segala risau
akan diganti jadi tawa sejahtera
dibungkusnya perempuan itu,
jadi bingkisan bagi putri kecil tanpa ibu
lalu tangan kaki jadi ranting puting
tempat semua keturunan menyusu
namun yang ia teguk tiap hari
hanya darah dan air mata sendiri
perempuan belia itu,
memberi hidup tanpa terkecuali
mengabdi diri tanpa upah
dan tak boleh jenguk rumah
perempuan itu,
yang pernah merasakan getar asing di hati
saat panen padi bersama seorang pria
ketika muda, harus menghapus ingatan
harus menabur bunga pada hasrat sendiri
karena tak bisa ia lihat
jasad ayah dan ibunya
untuk terakhir kali
Lola namanya,
perempuan yang dulu belia itu
terkurung hingga enam puluh delapan tahun
dalam belukar serat-serat sunyi
yang melilit hati sendiri
Lola panggilannya,
seorang perempuan
dari dataran tengah Tarlac
berkisah hidup jadi budak
yang resah dan rindu selebar dua benua
seperti jarak yang memisah tanah lahir
dan nasib akhir
Lola namanya,
perempuan yang memberi seluruh hidupnya
akhirnya pulang, menginjak tanah kampung halaman
dengan tubuh abu
SEBUAH JALAN TANPA HEMBUSAN
seseorang menyapu debu di sepanjang trotoar
pelipis dan leher yang kuyup
dicekik panasnya terik
pelan-pelan ia pindahkan kaki
berkelit dari ragam pecah belah
semen, yang runcing berhamburan
sementara pada semrawut jalan
banyak mata kini tak lagi salah duga
soal di mana dan yang mana alamat tujunya
karena toko-toko dan bangunan
bisa mudah dijumpa
tanpa sibuk menerka-nerka
karena celah gayut daun-daun
sering menutup huruf
hanya bocah perempuan
dengan timangan tas merah
masih setia berkelana
menyusur jalan-jalan panjang
mencari jendela yang sedia
memberi seteguk air
biar lepas segala dahaga
hanya bocah perempuan
dengan timangan tas merah
mampu lelap dalam ketiba-tibaan cuaca
karena bising gerinda,
deru tangan raksasa,
adalah suara-suara haus
yang menenggak habis
teduh jalanan
kini bocah perempuan
dengan timangan tas merah itu
hanya rindu pada siul teman kecil berbulu
yang dulu, menemani tidurnya
saat tak sengaja berbaring
di bawah teduh rimbun ranting
barangkali,
mereka tak akan punya tempat abadi
karena tepi demi tepi akan hilang
jadi sebenarnya sepi
[][][]
BACA puisi-puisi lain dari penyair Indonesia