Menonton pertunjukan Teater Mini Bali (dulu Teater Mini Badung) yang berjudul “Danau Kematian” membuat saya bertanya, Proses apa yang sesungguhnya telah dialami oleh para aktor?
Pertunjukan diawali dengan masuknya segerombolan anak muda. Mereka bermain bunyi layaknya Tarian Kecak, lalu bermain alat musik—sekilas tampak seperti sedang menggelar ritual Mecaru.
Lalu beberapa orang keluar, dan dalam konteks ini, saya yakin: aktor-aktor dalam pertunjukan ini dipilih berdasarkan postur. Paling tidak postur menjadi satu ukuran penting. Saya menebak, lima orang lelaki yang keluar adalah Panca Pandawa, dan betul. Postur mereka cukup representatif untuk menunjukan tokoh-tokoh Panca Pandawa.
Kisah berlanjut. Tarian yang cukup membuat saya yakin bahwa itu adalah para bidadari muncul di panggung, lalu mereka bergerak seolah sedang mandi, tapi gerakan itu masih tetap terkontrol. Koreografi yang cukup representatif. Dan, adegan yang kemudian saya ingat adalah beberapa mayat tergeletak di pinggir danau. Mayat-mayat itu adalah Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima.
Pertunjukan yang dibawakan oleh Teater Mini Badung ini mengisahkan tentang Panca Pandawa yang menjalani pengasingan di hutan. Dalam pertunjukan, digambarkan bahwa Pandawa berjalan di hutan, melewati semak-semak, pepohonan rindang, dan tiba-tiba mereka mendapat satu permintaan dari seorang Brahmana tua: “Tongkat saya dilarikan oleh seekor kijang,” kata Brahmana itu, dan Panca Pandawa berjanji untuk membantunya mengambil kembali tongkat itu.
Pertunjukan Teater Mini dalam kisah Danau Kematian di Festival Bali jani IV 2022
Saya meyakini bahwa generasi kini adalah generasi visual. Visual menjadi satu hal penting yang diperhatikan orang, termasuk saya. Maka dari itu, penampilan Panca Pandawa bagi saya adalah satu strategi yang menarik, tapi ada satu hal yang unik. Teater Mini Badung berusaha memanfaatkan proyektor dalam pertunjukan.
Di layar yang berada di tengah-tengah panggung ini gambar muncul bergantian, membawa penonton pada situasi tertentu. Untuk urusan ini, saya yakin, hal ini mesti diperbaiki lagi secara teknis. Tapi menariknya, saya yang menyadari kekurangan itu, justru masuk dalam situasi pertunjukan. Akan tetapi, gerak itu terasa keluar masuk: sesekali masuk ke dalam adegan, lalu menyadari teknis gambar, lalu masuk lagi, dan begitu seterusnya.
Dalam perjalanan mengambil kembali tongkat Brahmana itu dari Kijang, para Pandawa kehausan di tengah jalan. Sahadewa adalah orang pertama yang bertugas untuk mencari air. Tapi lama ia tak kembali, lalu disusul Nakula. Hal yang sama terjadi pada Nakula, setelah itu disusul Arjuna, lalu disusul Bima, kemudian Yudistira.
Bila kita perhatikan, pola yang sama ini merupakan pola kritis, ia rawan mengalami penotonan adegan yang mengakibatkan penonton meninggalkan pertunjukan. Tampaknya, Anom Ranuara sebagai sutradara menyadari hal itu. Maka, di sela-sela kemenotonan adegan itu, segerombolan pemain dengan tubuh-tubuhnya yang memukau keluar. Mereka adalah gerombolan makhluk yang mengakui dirinya sebagai makhluk kelas paling rendah.
Gerombolan makhluk ini melihat para Pandawa yang tergeletak karena sesungguhnya air di Danau itu tidak bisa langsung diminum. Setiap salah seorang Pandawa hendak mengambil air untuk minum, tiba-tiba muncul suara asing: “jangan minum air itu, kau hanya boleh minum setelah menjawab pertanyaanku,” kata suara yang dari entah itu. Tapi, Para Pandawa mengabaikan permintaan suara asing itu, karena sikap itulah mereka mengalami petaka.
Pertunjukan Teater Mini dalam kisah Danau Kematian di Festival Bali jani IV 2022
Dalam situasi genting itu, para pemeran gerombolan makhluk kelas bawah ini menunjukkan kelihaian bermain di atas panggung. Saya tiba-tiba teringat suatu ungkapan salah seorang teman. Seniman pertunjukan—kala itu ia menyebut pregina—semakin tua tubuhnya akan semakin matang. Sedikit saja bergerak, sudah menunjukan sesuatu. Tubuhnya sudah bicara.
Barangkali hal ini karena penguasaan teknik “Kenyang Lempung” yang sederhananya bisa disebut sebagai pengendalian tubuh lembut dan keras. Tentu ini hanya salah satu, dan barangkali ada banyak hal lain yang tak dapat saya identifikasi. Ketua gerombolan itu sungguh tak banyak bergerak, tangannya bahkan tak terangkat terlalu tinggi, tapi ia mampu membuat penonton terdiam, lalu tertawa pada dialog-dialog lucu yang dilontarkan.
Ada sekitar lima orang makhluk itu, dan mereka tidak memperkenalkan diri. Akan tetapi, dari gestur, cara bicara, dan mimiknya, kita akan dengan mudah mengenali karakter mereka: lugu, penurut, dan sebagainya, dan saya berkesimpulan, ada proses yang panjang di balik tubuh-tubuh mereka.
Terkadang, gerak dalam tari-tari Bali muncul dalam pertunjukan teater. Bentuk-bentuk itu hadir tak terkendali. Hal seperti itu akan memunculkan anggapan bahwa satu pertunjukan itu kotor. Tetapi tidak dengan tubuh-tubuh pemain ini. Mereka tampak khatam, dan secara terang mengeksplorasi beberapa bentuk, semisal cara berdiri, berjalan, posisi kaki dalam agem, tangan, tolehan mata, dan sebagainya. Mereka bermain dengan modal itu. Gerombolan makhluk kelas bawah itu kemudian bersembunyi—mereka keluar panggung.
Dalam lakon itu, dikisahkan bahwa Arjuna dan Bima sempat murka setelah melihat adik-adiknya tergeletak, tapi hal yang sama menimpa mereka setelah dengan arogan hendak melanggar kata-kata yang muncul entah dari mana itu. Mereka meninggal. Tak seperti empat Pandawa yang sudah meminum air, lalu mati itu, Yudistira justru dengan cemerlang mengikuti peraturan itu. Tapi, satu hal yang mengejutkan adalah jawaban dari Yudistira.
“Saya ke sini tidak untuk minum air, hanya kebetulan lewat, jadi saya minta kalau berhasil menjawab pertanyaan itu, beri saya tongkat Brahmana yang dilarikan kijang itu,” katanya.
Yudistira tidak meminta adik-adiknya untuk hidup kembali atau meminta agar bisa minum air, tapi tongkat, sebagaimana tujuan awalnya. Bagi Yudistira, kematian adalah keniscayaan, tapi jika ia tak bisa mengembalikan tongkat Brahmana itu, Yudistira melanggar janjinya. Suara itu sepakat.
Yudistira diberikan pertanyaan-pertanyaan rumit, yang menuntun jawaban pada pemuliaan air. Yudistira berhasil menjawab, tapi setelah semua terjawab suara itu berkata lain: “Aku tak bisa memenuhi keinginanmu.”
Yudistira menjadi murka, dusta adalah kejahatan baginya. Lalu, Yudistira yang bijaksana ini memperlihatkan gelagat marah: “Aku adalah bumi, tak banyak bicara, tapi sekali bicara bisa menenggelamkan gunung sekalipun!” Dalam layar di panggung, muncul gambar gunung, petir, awan hitam; terdengar suara gemuruh, suara asing itu yang pada gilirannya meminta Yudistira untuk berhenti, dan cahaya turun.
Suara itu adalah suara dari seorang Dewa, yaitu Dewa Dharma, yang hampir dilawan Yudistira; Dewa yang sesungguhnya adalah ayah Yudistira sendiri.
Sekali lagi, Dewa Dharma berkata bahwa tongkat itu tak bisa dikembalikan karena Brahmana itu adalah jelmaan dirinya, dan cerita tentang tongkat hanyalah rekaan. Semua itu disusun hanya karena Kerinduan Dewa Dharma kepada Yudistira, anaknya. Lalu, setelah percakapan yang panjang,
Pandawa yang telah meninggal dibangkitkan lagi, dan Dewa Dharma memberi pentujuk pada Pandawa untuk menyelesaikan pengasingan itu, dan mereka diizinkan untuk minum air. Pemeran Dewa Dharma yang tampak tenang itu berdiri di dekat layar, para bidadari keluar untuk menari. Pertunjukan selesai.
Pertunjukan Teater Mini dalam kisah Danau Kematian di Festival Bali jani IV 2022
Teks pertunjukan yang berjudul “Danau Kematian” ini ditulis oleh Anom Ranuara, dimainkan oleh Teater Mini dalam rangka Festival Seni Bali Jani IV di Ksirarnawa Art Center pada Selasa, 18 Oktober 2022, dan saya pikir, pertunjukan ini digelar dalam waktu yang tepat.
Beberapa hari yang lalu, banjir terjadi di beberapa tempat di Bali, merobohkan jembatan, menghanyutkan rumah warga, bahkan merobohkan bangunan Pura. Belakangan ini, air seolah hadir sebagai tokoh antagonis dalam realitas. Meskipun tak ada satu kehidupan pun yang tampaknya bisa hadir tanpa air. Tapi air dalah dualitas itu sendiri, pengurip (yang memberi hidup) sekaligus pelebur.
Dalam pertunjukan, penonton tahu bahwa air pula yang mampu membunuh lima kesatria tangguh dalam waktu yang singkat—meskipun ada campur tangan Dewa. Meskipun begitu, air tetap mesti dihormati, sebagaimana menghormati ibu, sebagaimana yang disebutkan oleh Yudistira dalam pertunjukan.
Tentu tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan pertunjukan ini. Selain aktor-aktor yang memukau, pertunjukan ini mesti menimbang ulang penyampaian pesan. Pesan-pesan penting dalam pertunjukan ini, dalam beberapa hal disampaikan secara harfiah. Padahal, dialog-dialog itu cukup berjarak dengan bahasa lisan, dan pesan, kadang tak mampu menancap dalam benak penonton, tapi cerita selalu melekat. Karena itu pula, hal inilah yang sesungguhnya mesti ditimbang lagi, atau mungkin mesti digali.
Pertunjukan “Danau Kematian” meskipun melakukan perpindahan yang tidak banyak, kadang tempo terasa lambat, tetapi ada sesuatu yang membuat penonton tetap bertahan, dan pada titik tertentu, mereka tertawa-tawa. Menjaga perhatian penonton adalah satu keberhasilan dari Teater Mini. [T]