Guru Drona mengajarkan pengetahuan yang sama kepada murid-muridnya putra-putra Astinapura. Tetapi kemampuan dan karakter personalitas yang berbeda-beda. Pandawa dikendalikan oleh dharma dan Korawa dikendalikan oleh Sangkhuni dengan mesin kekuasaan Duryodana.
Dua hal yang dapat disimak yaitu pengetahuan yang memperkuat kecerdasan spiritual mencapai kemuliaan dan pengetahuan yang memperbesar ego dan napsu indriya-indriya, sehingga mudah dikendalikan oleh sifat buruk haus kekuasaan Sangkhuni.
Di balik semua itu Yudistira kukuh memegang dan mengabdi dharma, dibawah tuntunan langsung kepribadian Tuhan dalam wujud Sri Krishna. Mereka berteman, menjadi saudara ipar, Arjuna mengawini Dewi Subadra. Artinya dekat secara emosional jasmani dan dekat secara spiritual.
Wujud kasih inilah mengalir kepada orang baik sebagai bhakta abdi dharma. Oleh karena itu mereka menang melawan kekuatan 100 Korawa. Demikian pula para Guru: Drona, Kripacarya, Bisma gugur akibat memihak dan merasa bertanggung jawab pada Astinapura yang telah dikotori kekuasaan Raja Drestarata. Bukan mohon perlindungan dan swadharma yang berlindung pada Yang Maha Kuasa.
Memaknai persoalan inilah sebagai bhakta yang cerdas spiritual, mesti mampu melihat apa yang menjadi kehendak dharma yang diberi kuasa oleh kepribadian Tuhan (Sri Krishna) yang turun ke Bumi menegakkan dharma. Ada yang milih hutang budi di bumi seperti Karna. Walaupun hutang budi tetapi keselamatan jiwa dan raga, tetap ada pada Yang Maha Kuasa.
Dalam kondisi dua ranah inilah manusia menentukan pilihan yaitu: ketenaran duniawi atau kedamaian menuju kebebasan abadi, yang menentukan kualitas kecerdasan spiritual seseorang.
Berkenaan dengan reaksi dualitas yang bergerak amat dinamis dalam kehidupan sehari-hari, disitulah kecerdasan melihat, merasakan, memaknai lalu mengekspresikan menjadi tindakan cerdas berbudi luhur, adalah wujud “kemenangan”, atau jaya dalam swadharma kehidupan.
Melihat gelora reslitas yang amat dinamis, bahkan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang super canggih menjadikan kecerdasan dan kecekatan skill berkompetisi amat cepat. Banyak yang maju dan banyak pula yang tumbang. Terlambat sedikit mengantisipasi masalah pasti tertinggal lalu hanya bisa melongo menyaksikan keberhasilan orang lain, akhirnya terdiam dalam stress.
Dampak dari semua ini menimbulkan pathology (kepincangan) sosial yang amat tinggi akhir masuk ke ranah-ranah lain mencari perlindungan, lalu banyak yang “memasuki masalah dan beban baru”, dalam ruang klenik dan dogma-dogma.
Oleh karena itu betapa pentingnya “belajar” pengetahuan material duniawi dan prilaku spiritual yang berpengetahuan suci, hingga mewah material atau sebaliknya derita material terkendali menuju arah penyempurnaan tujuan hidup sejati.
Walaupun masih banyak yang ambisi hingar bingar kedudukan politik, hingga mengorbankan sawah, ladang dan kekayaan lain. Walaupun demikian seringkali kandas dan akhirnya usap-usap tangan rapuh dalam kebingungan.
Memaknai dinamika realitas itu, betapa pentingnya selalu mawas diri dan terkendali oleh kesadaran diri yang disebut kecerdasan spiritual, bagaikan tokoh Yudistira yang amat kuat mengkondisikan saudara-saudaranya menghadapi tantangan yang datang dari luar diri dan juga yang sulit yaitu dalam diri.
Semoga menjadi renungan dan refleksi [T]