Malam pertama, ketika Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 dibuka, saya begitu antusias untuk bertemu peserta yang ikut dalam acara ini. Salah satu orang yang saya tunggu-tunggu adalah Ayu Permatasari. Saya ingin bertemu dengannya secara langsung. Ah… rasanya seperti menunggu pacar. Ayu Permatasari adalah salah satu koreografer yang saya kagumi karya-karyanya. Ia ramah dan beberapa kali saya sempat bertanya tentang tari dengannya dan responnya sangat baik dan ia adalah orang yang terbuka dengan diskusi-diskusi.
Ayu Permatasari (baju merah) dalam sesi Sharing Method di Pura Gunung Kawi
Ayu Permatasari (baju merah) dalam sesi Sharing Method di Pura Gunung Kawi
Setelah acara pembukaan Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 yang diadakan Kemendikbud ini selesai, saya yang sedari awal hanya melirik-lirik Ayu, akhirnya memberanikan diri untuk menyapanya, membayangkan percakapan, dan akhirnya—setelah menarik napas panjang—saya ngobrol langsung dengan Ayu Permata dan ternyata begitu menyenangkan.
Selanjutnya, saat semua peserta istirahat malam hari, saya iseng untuk ngechat Ayu terkait ingin mewawancarainya. Meskipun saat itu hari sudah sangat malam dan kami baik dari peserta maupun panitia juga sudah sangat Lelah, tapi Ayu malah semangat menerima saya dan menyuruh saya dating ke kamarnya. Senangnya hati saya.
Sambil melipat mukena, ia membuka pembicaraan dengan kisah awal perjalanannya di dunia tari, yakni dengan menjadi penari tari Sigeh Penguten. Tari tersebut merupakan sebuah tari kreasi yang berasal dari Lampung, tanah kelahiran Ayu. Selama belajar tari itu, Ayu mengatakan jika ia sering sembunyi-sembunyi dari ayahnya untuk belajar tari.
Sesungguhnya, ayahnya tidak setuju jika Ayu belajar tari. Perlawan Ayu terhadap sikap ayahnya yang tidak mengijinkannya menari terjadi karena perasaan senangnya dengan tari itu sendiri, sehingga meskipun sudah dilarang, ia selalu menemukan jalan keluar untuk tetap berada pada jalur tari.
Gadis Lampung yang dulunya bercita-cita sebagai bidan ini pada akhirnya melabuhkan pilihan studinya ke Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dari sanalah Ayu Permata memulai pengalaman ketubuhannya. Ia mencoba semua hal yang ia inginkan. Ia tumbuh bersama karya-karya yang ia maupun orang lain ciptakan. Namun, di balik itu semua, saya tertarik dengan kehidupannya yang seorang seniman perempuan dan terikat adat yang kuat.
Alisa Soelaeman (kiri), I Komang Adi Pranata (tengah), dan Ayu Permatasari (merentangkan tangan) dalam sesi presentasi pada program Kunjungan Budaya di Teges Kanginan, Ubud
Ayu Permatasari (baju putih, tengah) dalam sesi Napak Tilas di Pura Samuan Tiga
Ayu Permatasari (kiri) dan Priccilia Elizabeth Monica Rumbiak dalam (kanan) dalam persiapan presentasi pertunjukan tari di Mandala Wisata, Bedulu.
Ayu Permatasari (baju ungu) sebagai partisipan dalam pertunjukan karya De Krisna
Ayu Permatasari (kiri) dan Priccilia Elizabeth Monica Rumbiakdalam (kanan) dalam sesi presentasi pertunjukan tari di Mandala Wisata, Bedulu.
Ayu mengatakan bahwa adat yang ia dan keluarganya jalani adalah adat Lampung Pepadun. Dimana ia merasa gelisah dengan pandangan terhadap gender yang ada di Adat Lampung Pepadun. Di Jogja ia adalah seorang Wanita yang penuh dengan kebebasan, baik dalam berkarya dan mengekspresikan dirinya. Nah, Ketika balik ke kampung halaman dan hidup dengan aturan adat, agama, dan lingkungan yang ketat, ia merasa susah untuk menyesuaikannya.
Ia merasa tertuntut dengan aturan adat yang menyatakan bahwa setelah menikah, perempuan Adat Lampung Pepadun tidak boleh menari. Itu dirasa sangat berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang penari. Dengan kondisi tersebut ia mempertanyakan ulang posisinya, serta mencari celah negosiasi yang memungkinkan dari kondisi itu.
Kondisi yang dialami oleh Ayu mengingatkan saya dengan percakapan saya dengan Febri Irawan mengenai “batas”. Maka dari itu, saya merasa setiap hal sebenarnya memiliki batas yang mesti dikenali, yang bisa kita gunakan untuk memahami diri dan situasi sosial. Pemahaman ini pula yang bisa digunakan sebagai cara usaha negosiasi dengan diri, serta cara untuk mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan.
Namun, bisa ditimbang pula bahwa batas-batas itu juga bisa jadi pembuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam menjalani kehidupan. [T]