Perubahan iklim sebagai sumber dari krisis iklim awalnya dilihat sebagai agenda dari luar yang dipaksakan masuk dalam kebijakan pemerintah Indonesia. Namun, melihat berbagai data dan fakta ilmiah tampaknya kondisi itu telah diterima sebagai kenyataan yang tak bisa dihindari.
Itu dikatakan Adhityani Dhitri Putri dari Yayasan Indonesia Cerah (YIC) pada acara “Rembug Iklim Anak Muda dan Jurnalis” di Warung Kubukopi Denpasar, Sabtu, 3 September 2022. Acara yang didukung YIC itu dihadiri oleh puluhan jurnalis di Bali serta perwakilan komunitas anak muda, mahasiswa dan pers lampus.
Menurut Adhityani Dhitri Putri, meski perubahan iklim itu telah diterima sebagai kenyataan yang susah dihindari, tapi pemerintah masih setengah hati untuk membuat kebijakan yang mengedepankan kepentingan lingkungan dengan melibatkan partisipasi publik.
“Seperti kebijakan saat ini untuk transisi energi terbarukan. Akses informasi masih sangat terbatas. Seolah-olah masyarakat hanya bisa menerima program ini begitu saja,” katanya.
Adhityani Dhitri Putri dengan tegas mengatakan bahwa kondisi yang tak baik itu harus diubah. Yang menjadi bagian utama untuk mengubahkan adalah kalangan anak muda. Tentu saja, karena anak muda adalah pewaris masa depan bumi.
“Kalangan ini juga mempunyai tempat yang strategis karena menjadi kelompok pemilih terbesar pada Pemilu 2024 nanti,” kata Adhityani Dhitri Putri.
Lalu apa tugas jurnalis? Adhityani Dhitri Putri mengatakan, jurnalis diharapkan bisa menjadi jembatan bagi suara-suara anak muda dan warga masyarakat lainnya agar pembicaraan tentang krisis iklim selalu melibatkan publik.
Sepakat
Acara “Rembug Iklim Anak Muda dan Jurnalis” di Warung Kubukopi Denpasar itu berlangsung hangat dengan alur diskusi yang mencerahkan anak-anak muda yang hadir saat itu. Dalam acara itu. kalangan anak muda Bali dari berbagai komunitas dan lembaga sepakat dengan para jurnalis khususnya yang tergabung dalam Society Indonesia on Enviromenment Journalis (SIEJ) untuk melakukan kolaborasi dan kerjasama dalam kerja-kerja serius menghadapi krisis iklim.
Seorang perwakialn anak muda Bali, Diah Pramesti , yang menjadi pembicara dalam acara itu menegaskan, krisis iklim harus disikapi dengan kritis khususnya dalam melihat peran perusahaan-perusahaan besar yang menyebabkan krisis iklim.
“Jangan sampai masalahnya dialihkan sebagai masalah individual kemudian tanggungjawabnya dialihkan sebagai masalah perorangan juga,” kata Diah Pramesti.
Diah Pramesti adalah aktivis dari Idep Foundation yang memang sangat gencar menyuarakan perbaikan-perbaikan lingkungan lewat berbagai aktivitas yang ia gerakkan.
Menurut Diah, kita harus melakukan perubahan perilaku dalam beradaptasi dan secara serius melakukan mitigasi krisis iklim. Selain itu, kita juga harus terus meningkatkan siakp kritis dan melakukan sorotan terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatur industri perusak lingkungan.
Sementara itu, Made Iwan Dewantama, seorang yang dikenal sebagai ktivis dari Yayasan Konservasi Indonesia mengatakan, dalam kondisi Bali saat ini, publik tidak boleh terlena dengan jargon-jargon tanpa tindakan yang kongkrit. Apalagi, selama ini Bali selalu menjadi tuan rumah untuk konferensi internasional terkait lingkungan. “Seperti KTT G20 yang saat ini tengah dipersiapkan,” katanya.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan, kata Iwan, pengembangan pariwisata massal dengan berbagai proyek infrastrukturnya. Proses pengembangan pariwisata massal itu justru mengancam kelestarian lingkungan. Antara lain, terjadinya alih fungsi lahan, penyedotan air tanah yang tak terkendali bahkan mengancam lahan mangrove.
Dalam acara rembug itu ada juga Irvan dari SIEJ Indonesia. Ia menyatakan, liputan media mengenai masalah lingkungan idealnya harus menjadi alarm sebelum bencana terjadi. Hal itu dilakukan agar warga bisa melakukan pencegahan atau setidaknya mengupayakan pengurangan resiko dari bencana yang mungkin terjadi.
Untuk itulah maka media bisa bekerjasama dengan masyarakat, khususnya anak muda, yang merasakan langsung proses kerusakan lingkungan dan mengangkatnya menjadi masalah bersama. Berbagai komunitas juga bisa menggaungkan masalah krisis iklim melalui jurnalisme warga dengan menggunakan media sosial atau media yang lain.
“Kami dari SIEJ bisa bekerjasama dalam memberikan pelatihan-pelatihan untuk memaksimalkan penggunaan media-media itu,” kata Irvan. [T][Ado/*]