30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Palus Bukit Jambul | Cerpen Gde Aryantha Soethama

Gde Aryantha SoethamabyGde Aryantha Soethama
September 3, 2022
inCerpen
Palus Bukit Jambul | Cerpen Gde Aryantha Soethama

Ilustrasi (crop) Lina PW

Malam turun menggigil ketika Gancang menggamit lengan Sukantun ke luar gubuk, berdiri di tengah sawah yang baru sepekan ditanami padi. Mereka menginjak pematang yang becek limpahan air, berkilat oleh gemerlap bintang.

“Kau dengar kan, Tun?” tanya Gancang setelah mengatupkan mata.

Sukantun menggeleng. “Tak kudengar apa pun yang kamu perintahkan harus kudengar.”

“Pejamkan mata, kamu akan mendengarnya!”

“Sudah, tapi tak kunjung kudengar.”

“Bayangkan pucuk ilalang berayun-ayun perlahan, amati seksama goyangannya.”

“Sudah, sudah….. cuma kutangkap desis panjang berulang datang-hilang, seperti bunyi bongkahan es disiram air, berderak lembut. Suara itu yang kamu maksud, Gan?”

“Itu pertanda kamu hampir sampai. Pusatkan pikir dan rasa pada angin yang mengayun-ayun ilalang. Akan kau raih bunyi panjang melengking halus.”

Sukantun menajamkan perasaan, mengendus, meresapkan, dan mencecap liukan ilalang dengan batinnya. Ia mulai mendengar suara-suara lirih, tipis, lurus dan meruncing. “Aku mulai mendengarnya, samar, sayup-sayup. Iya, iya, sekarang bunyi itu menjadi suara tersedu-sedu.”

“Suara apa itu, Tun?”

“Tangis bayi. Suara yang mengharap-harap untuk diurus. Tangis memelas panjang sekali. Itukah suara yang  kau maksud, Gan?”

“Iya, iya, pejamkan terus mata, pusatkan jiwa pada pucuk ilalang bergoyang-goyang, kamu akan terus mendengar tangis bayi.”

Kini di dusun itu Sukantun adalah orang ketiga pemilik ilmu Sarwa Pireng, untuk menangkap suara dalam gulita, agar bisa mendengar suara yang bersumber dari benda-benda diam yang nyata maupun maya. Jika dikuasai dengan sempurna, penekun Sarwa Pireng selangkah lagi menggenggam ilmu Sarwa Pineh, aji untuk membaca pikiran dan kehendak orang.

Lebih setahun Sukantun tepekur belajar Sarwa Pireng pada Gancang, hampir saban malam di gubuk petani itu, sebuah tempat yang tak jauh dari sumber tangis. Gancang sendiri belajar dari Ni Rentit, orang pertama yang paling jelas bisa mendengar tangis-tangis itu. Mungkin karena Ni Rentit seorang perempuan yang mengurus orok-orok pelantun tangis yang dicampakkan itu.

Ketika pertama kali orok ditemukan dibungkus plastik menghambat saluran air ke sawah, Banjar[i] Penasar geger. Polisi gagal menemukan si pembuang jabang tak bernyawa itu. Tiga bulan kemudian orok ditemukan di bawah pohon sukun dekat penjual bubur. Dusun tidak cuma gaduh, tapi sepakat melangsungkan upacara bendu guru piduka[ii]. Mereka menganggap diri bersalah dan terkutuk, sampai ada orang berani membuang bayi di desa mereka.

Tapi, berselang sepuluh bulan mayat bayi ditemukan lagi dekat pasar. Upacara kembali digelar, kali ini lebih megah, disertai sesaji mohon ampun dengan kepala kerbau. Tentu banyak biaya dihabiskan. Setelah lelah melaksanakan upacara, krama[iii] Banjar Penasar tetap berdebar-debar, jangan-jangan akan ada lagi bayi dibuang di dusun mereka. Benar juga, berselang empat bulan, seorang petani sedang mencari kayu bakar menemukan orok di tegalan kelapa.  Apa boleh buat, upacara digelar lagi, kini lebih kecil, karena sedikit yang menyumbang untuk biaya sesaji.

“Kita harus berdoa dengan ikhlas, bersih, tenang, sujud, dan jangan sekali-sekali mencaci si pembuang orok,” ujar kepala dusun. “Dengki dan dendam tak pernah menyudahi masalah. Sepenuh ikhlas kita mohon agar kampung ini damai, terhindar dari bencana, dan tidak menjadi dusun tempat buang orok.”

Ilustrasi: Lina PW

Doa-doa ikhlas itu agaknya tidak mempan, karena tiga bulan kemudian ditemukan lagi orok dibuang, kali ini sangat mencolok, digeletakkan di bawah pohon manggis di halaman balai banjar. Warga membungkus orok itu, lalu ramai-ramai mendatangi kantor polisi, menuntut penegak hukum segera menangkap para pembuang orok. Mereka kemudian pergi begitu saja setelah menggeletakkan orok masih dililit tali pusar itu di meja penjaga.

Itu adalah bayi terakhir yang dipedulikan krama. Setelah itu ada tujuh orok lagi dibuang di dusun itu. Tubuh-tubuh mungil pucat itu tak lagi diacuhkan warga. Jika seseorang menemukan mayat bayi, tak ada yang peduli. Mereka jadi terbiasa, ogah melapor ke polisi, karena yakin si pembuang orok tak bakalan tertangkap, kendati mereka juga tahu polisi sudah berusaha keras untuk itu.  Krama kini sibuk bertanya-tanya, apa kesalahan dan kelebihan kampung mereka sampai dijadikan tempat buang bayi?

Sejak krama tak lagi peduli pada jabang dibuang itulah Ni Rentit, janda tanpa anak, turun tangan. Mayat-mayat itu ia bawa ke sebuah bukit yang puncaknya kurang lebih seluas dua kali lapangan voli, dirimbuni ilalang. Beberapa pohon gamal dan jambu mete tumbuh di tepi sekeliling. Banyak yang keberatan menyebut tanah itu bukit. “Itu cuma gundukan tanah tinggi luar biasa,” ujar orang-orang. Tapi, jauh lebih banyak yang menyebut sebagai bukit. Ilalang rimbun dari utara ke selatan di puncaknya mengingatkan pada potongan rambut gaya punk suku Indian Mohawk, tampil dengan jambul memanjang di bagian tengah kepala, rambut dipangkas pendek kiri-kanan. Orang-orang pun kemudian menyebut tempat itu Bukit Jambul.

Ni Rentit membersihkan mahluk-mahluk mungil malang itu, dan menguburnya di Bukit Jambul, dekat sebuah batu tegak bulat memanjang menyerupai sosis setinggi pinggang. Ia mengingat sudah sebelas jabang dibuang di Banjar Penasar, tujuh ia kubur di Bukit Jambul.  Selalu Sukantun membantu menggali kubur, dan Ni Rentit membalasnya dengan menurunkan Sarwa Pireng kepada petani pemilik sawah tak jauh dari batu penemuan itu.

Ni Rentit menemukan batu menyerupai palus[iv], seperti penis ereksi,di tengah puncak bukit. Ia potong rendah ilalang yang mengitari palus, sehingga batu itu kelihatan semakin gagah, kian kukuh menantang tegak. Jika purnama, ujung separo bundar batu yang sangat mirip kepala penis ereksi tertarik kulupnya itu, berkilat seksi.

Entah siapa memulai menyebarkan berita di Bukit Jambul ada lingga[v]. Banyak orang datang memastikan keberadaan batu simbol kejantanan itu. Mereka yakin Bukit Jambul dan lingga adalah tempat keramat yang akan bermurah hati memberi rahmat. Setiap pendatang selalu ingin bertemu Ni Rentit yang diyakini sebagai penjaga palus, dan paling tahu tentang lingga.

Banyak pasangan yang bertahun-tahun tidak dikaruniai anak melakukan tapa-yoga-samadi di Bukit Jambul. Mereka memohon agar diberi momongan, karena tak punya cukup uang untuk menjalani operasi bayi tabung. Sudah sebelas pasangan datang berkabar riang kepada Ni Rentit, memeluk haru janda tua itu menyampaikan syukur dan terima kasih karena si perempuan hamil. Ni Rentit lalu dikenal sebagai perempuan penjaga bukit tempat orang-orang memohon jiwa.

Mereka adalah pasangan yang datang ketika purnama, langit bersih, ujung batu palus berkilat oleh sapuan cahaya bulan, sangat menggairahkan ketika mereka tatap dalam samadi, sebelum mereka bercinta dengan gairah berkobar-kobar setiba di rumah. Mereka tak peduli ketika Ni Rentit menjelaskan, bisa jadi bayi yang dikandung adalah arwah salah satu jabang yang dibuang.

“Tapi mereka akan hidup penuh kemuliaan, karena sudah melunasi derita,” hibur Ni Rentit.

Bukit Jambul semakin ramai oleh pemohon bayi. Beberapa warga mendirikan tenda menjual makanan dan minuman. Ada pasangan yang membangun kemah, tinggal berhari-hari di kaki bukit. Sepanjang malam mereka bersamadi mohon bayi. Beberapa pasangan itu baru sadar, kalau mereka tidak lagi pernah bertemu Ni Rentit. Gancang juga tak tahu ke mana janda tua itu pergi.

“Sudah tiga kali kami ke sini tak berjumpa beliau,” ujar pasangan yang sudah tujuh tahun menikah belum punya momongan, kepada Gancang. Si lelaki kurus, kalau lagi bicara serius kelopak matanya berkedip cepat. Pasangannya gembrot dengan timbunan lemak di perut.

Seisi dusun berusaha menemukan Ni Rentit. Mereka juga minta bantuan SAR dan relawan pecinta alam. Lembah, lereng dan puncak ditelusuri. Sungai, semak, ceruk, diselidik, tak juga Ni Rentit ditemukan. Janda itu menghilang, gaib. Di mana ia bersembunyi?

Sukantun mendatangi Gancang, bertanya apa gerangan sesungguhnya terjadi.

“Kamu ingat pertama kali berhasil mencoba Sarwa Pireng, dan mendengar tangis bayi, Tun?”

Sukantun mengangguk, memicingkan mata. “Apa hubungannya dengan Ni Rentit lenyap?”

“Itu tangis bayi kesebelas yang dibuang di dusun kita, orok terakhir yang dicampakkan, dan dikubur di Bukit Jambul. Ni Rentit bilang ia harus pergi, tapi tak tahu ke mana. Ia juga bilang tak usah dicari. Jika saatnya kembali, ia datang sendiri.”

“Kapan kira-kira ia akan datang, Gan?”

“Dia muncul kalau ada jabang bayi dibuang. Di Bukit Jambul tak ada lagi arwah bayi harus dirawat, semua sudah punya rumah baru. Sekarang Bukit Jambul tempat yang hampa, palus atau lingga tak lagi bertuah sampai ada lagi orok dikubur di sana. Semua pasangan pemohon bayi itu akan pulang sia-sia. Begitu Ni Rentit bicara padaku sebelum dia pergi.”

Sukantun terpana. Pantas dia tak mendengar tangis bayi ketika tadi malam mencoba aji Sarwa Pireng di kaki Bukit Jambul. Cuma omongan pohon-pohon dan semak yang ia tangkap. Kepada Gancang, Sukantun lalu menyampaikan hasrat yang diam-diam ia pendam: mengubur di Bukit Jambul orok-orok yang dibuang, atau janin aborsi dari manapun. Kemudian silakan pasangan-pasangan tanpa anak datang memohon, agar diberi keturunan yang mulia.  Siapa tahu kelak ada yang jadi menteri atau presiden berwibawa, bersih, jujur, dan tidak korupsi.

“Bukankah orok Ken Arok dibuang ibunya sebelum dipungut Lembong, dirawat Bango Samparan dan diasuh Lohgawe? Ia pendiri Singasari dan menurunkan raja-raja Majapahit,” bisik Sukantun.

Giliran Gancang kini terpana. [T]


[i] banjar : dusun

[ii] bendu guru piduka : upacara adat mohon maaf.

[iii] krama : warga

[iv] palus: berasal dari phallus, penis ketika ereksi.

[v] lingga : tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, lambang kesuburan.

_____

Baca cerpen lain…

Keris | Cerpen Mas Ruscitadewi
Tags: Cerpen
Previous Post

Mengenal Batas : Percakapan dengan Pebri Irawan

Next Post

Puisi-puisi Wayan Esa Bhaskara | Nyanyian Sepasang Mata

Gde Aryantha Soethama

Gde Aryantha Soethama

Dikenal sebagai wartawan kawakan, penulis esai dan cerpen. Bukunya Bolak Balik Bali ditetapkan sebagai buku nonfiksi terbaik oleh Pusat Bahasa (2006). Kumpulan cerpennya Mandi Api meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (2006). Tahun 2016 diberi penghargaan Kesetiaan Berkarya oleh Kompas.

Next Post
Puisi-puisi Wayan Esa Bhaskara | Nyanyian Sepasang Mata

Puisi-puisi Wayan Esa Bhaskara | Nyanyian Sepasang Mata

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co