Malam turun menggigil ketika Gancang menggamit lengan Sukantun ke luar gubuk, berdiri di tengah sawah yang baru sepekan ditanami padi. Mereka menginjak pematang yang becek limpahan air, berkilat oleh gemerlap bintang.
“Kau dengar kan, Tun?” tanya Gancang setelah mengatupkan mata.
Sukantun menggeleng. “Tak kudengar apa pun yang kamu perintahkan harus kudengar.”
“Pejamkan mata, kamu akan mendengarnya!”
“Sudah, tapi tak kunjung kudengar.”
“Bayangkan pucuk ilalang berayun-ayun perlahan, amati seksama goyangannya.”
“Sudah, sudah….. cuma kutangkap desis panjang berulang datang-hilang, seperti bunyi bongkahan es disiram air, berderak lembut. Suara itu yang kamu maksud, Gan?”
“Itu pertanda kamu hampir sampai. Pusatkan pikir dan rasa pada angin yang mengayun-ayun ilalang. Akan kau raih bunyi panjang melengking halus.”
Sukantun menajamkan perasaan, mengendus, meresapkan, dan mencecap liukan ilalang dengan batinnya. Ia mulai mendengar suara-suara lirih, tipis, lurus dan meruncing. “Aku mulai mendengarnya, samar, sayup-sayup. Iya, iya, sekarang bunyi itu menjadi suara tersedu-sedu.”
“Suara apa itu, Tun?”
“Tangis bayi. Suara yang mengharap-harap untuk diurus. Tangis memelas panjang sekali. Itukah suara yang kau maksud, Gan?”
“Iya, iya, pejamkan terus mata, pusatkan jiwa pada pucuk ilalang bergoyang-goyang, kamu akan terus mendengar tangis bayi.”
Kini di dusun itu Sukantun adalah orang ketiga pemilik ilmu Sarwa Pireng, untuk menangkap suara dalam gulita, agar bisa mendengar suara yang bersumber dari benda-benda diam yang nyata maupun maya. Jika dikuasai dengan sempurna, penekun Sarwa Pireng selangkah lagi menggenggam ilmu Sarwa Pineh, aji untuk membaca pikiran dan kehendak orang.
Lebih setahun Sukantun tepekur belajar Sarwa Pireng pada Gancang, hampir saban malam di gubuk petani itu, sebuah tempat yang tak jauh dari sumber tangis. Gancang sendiri belajar dari Ni Rentit, orang pertama yang paling jelas bisa mendengar tangis-tangis itu. Mungkin karena Ni Rentit seorang perempuan yang mengurus orok-orok pelantun tangis yang dicampakkan itu.
Ketika pertama kali orok ditemukan dibungkus plastik menghambat saluran air ke sawah, Banjar[i] Penasar geger. Polisi gagal menemukan si pembuang jabang tak bernyawa itu. Tiga bulan kemudian orok ditemukan di bawah pohon sukun dekat penjual bubur. Dusun tidak cuma gaduh, tapi sepakat melangsungkan upacara bendu guru piduka[ii]. Mereka menganggap diri bersalah dan terkutuk, sampai ada orang berani membuang bayi di desa mereka.
Tapi, berselang sepuluh bulan mayat bayi ditemukan lagi dekat pasar. Upacara kembali digelar, kali ini lebih megah, disertai sesaji mohon ampun dengan kepala kerbau. Tentu banyak biaya dihabiskan. Setelah lelah melaksanakan upacara, krama[iii] Banjar Penasar tetap berdebar-debar, jangan-jangan akan ada lagi bayi dibuang di dusun mereka. Benar juga, berselang empat bulan, seorang petani sedang mencari kayu bakar menemukan orok di tegalan kelapa. Apa boleh buat, upacara digelar lagi, kini lebih kecil, karena sedikit yang menyumbang untuk biaya sesaji.
“Kita harus berdoa dengan ikhlas, bersih, tenang, sujud, dan jangan sekali-sekali mencaci si pembuang orok,” ujar kepala dusun. “Dengki dan dendam tak pernah menyudahi masalah. Sepenuh ikhlas kita mohon agar kampung ini damai, terhindar dari bencana, dan tidak menjadi dusun tempat buang orok.”
Ilustrasi: Lina PW
Doa-doa ikhlas itu agaknya tidak mempan, karena tiga bulan kemudian ditemukan lagi orok dibuang, kali ini sangat mencolok, digeletakkan di bawah pohon manggis di halaman balai banjar. Warga membungkus orok itu, lalu ramai-ramai mendatangi kantor polisi, menuntut penegak hukum segera menangkap para pembuang orok. Mereka kemudian pergi begitu saja setelah menggeletakkan orok masih dililit tali pusar itu di meja penjaga.
Itu adalah bayi terakhir yang dipedulikan krama. Setelah itu ada tujuh orok lagi dibuang di dusun itu. Tubuh-tubuh mungil pucat itu tak lagi diacuhkan warga. Jika seseorang menemukan mayat bayi, tak ada yang peduli. Mereka jadi terbiasa, ogah melapor ke polisi, karena yakin si pembuang orok tak bakalan tertangkap, kendati mereka juga tahu polisi sudah berusaha keras untuk itu. Krama kini sibuk bertanya-tanya, apa kesalahan dan kelebihan kampung mereka sampai dijadikan tempat buang bayi?
Sejak krama tak lagi peduli pada jabang dibuang itulah Ni Rentit, janda tanpa anak, turun tangan. Mayat-mayat itu ia bawa ke sebuah bukit yang puncaknya kurang lebih seluas dua kali lapangan voli, dirimbuni ilalang. Beberapa pohon gamal dan jambu mete tumbuh di tepi sekeliling. Banyak yang keberatan menyebut tanah itu bukit. “Itu cuma gundukan tanah tinggi luar biasa,” ujar orang-orang. Tapi, jauh lebih banyak yang menyebut sebagai bukit. Ilalang rimbun dari utara ke selatan di puncaknya mengingatkan pada potongan rambut gaya punk suku Indian Mohawk, tampil dengan jambul memanjang di bagian tengah kepala, rambut dipangkas pendek kiri-kanan. Orang-orang pun kemudian menyebut tempat itu Bukit Jambul.
Ni Rentit membersihkan mahluk-mahluk mungil malang itu, dan menguburnya di Bukit Jambul, dekat sebuah batu tegak bulat memanjang menyerupai sosis setinggi pinggang. Ia mengingat sudah sebelas jabang dibuang di Banjar Penasar, tujuh ia kubur di Bukit Jambul. Selalu Sukantun membantu menggali kubur, dan Ni Rentit membalasnya dengan menurunkan Sarwa Pireng kepada petani pemilik sawah tak jauh dari batu penemuan itu.
Ni Rentit menemukan batu menyerupai palus[iv], seperti penis ereksi,di tengah puncak bukit. Ia potong rendah ilalang yang mengitari palus, sehingga batu itu kelihatan semakin gagah, kian kukuh menantang tegak. Jika purnama, ujung separo bundar batu yang sangat mirip kepala penis ereksi tertarik kulupnya itu, berkilat seksi.
Entah siapa memulai menyebarkan berita di Bukit Jambul ada lingga[v]. Banyak orang datang memastikan keberadaan batu simbol kejantanan itu. Mereka yakin Bukit Jambul dan lingga adalah tempat keramat yang akan bermurah hati memberi rahmat. Setiap pendatang selalu ingin bertemu Ni Rentit yang diyakini sebagai penjaga palus, dan paling tahu tentang lingga.
Banyak pasangan yang bertahun-tahun tidak dikaruniai anak melakukan tapa-yoga-samadi di Bukit Jambul. Mereka memohon agar diberi momongan, karena tak punya cukup uang untuk menjalani operasi bayi tabung. Sudah sebelas pasangan datang berkabar riang kepada Ni Rentit, memeluk haru janda tua itu menyampaikan syukur dan terima kasih karena si perempuan hamil. Ni Rentit lalu dikenal sebagai perempuan penjaga bukit tempat orang-orang memohon jiwa.
Mereka adalah pasangan yang datang ketika purnama, langit bersih, ujung batu palus berkilat oleh sapuan cahaya bulan, sangat menggairahkan ketika mereka tatap dalam samadi, sebelum mereka bercinta dengan gairah berkobar-kobar setiba di rumah. Mereka tak peduli ketika Ni Rentit menjelaskan, bisa jadi bayi yang dikandung adalah arwah salah satu jabang yang dibuang.
“Tapi mereka akan hidup penuh kemuliaan, karena sudah melunasi derita,” hibur Ni Rentit.
Bukit Jambul semakin ramai oleh pemohon bayi. Beberapa warga mendirikan tenda menjual makanan dan minuman. Ada pasangan yang membangun kemah, tinggal berhari-hari di kaki bukit. Sepanjang malam mereka bersamadi mohon bayi. Beberapa pasangan itu baru sadar, kalau mereka tidak lagi pernah bertemu Ni Rentit. Gancang juga tak tahu ke mana janda tua itu pergi.
“Sudah tiga kali kami ke sini tak berjumpa beliau,” ujar pasangan yang sudah tujuh tahun menikah belum punya momongan, kepada Gancang. Si lelaki kurus, kalau lagi bicara serius kelopak matanya berkedip cepat. Pasangannya gembrot dengan timbunan lemak di perut.
Seisi dusun berusaha menemukan Ni Rentit. Mereka juga minta bantuan SAR dan relawan pecinta alam. Lembah, lereng dan puncak ditelusuri. Sungai, semak, ceruk, diselidik, tak juga Ni Rentit ditemukan. Janda itu menghilang, gaib. Di mana ia bersembunyi?
Sukantun mendatangi Gancang, bertanya apa gerangan sesungguhnya terjadi.
“Kamu ingat pertama kali berhasil mencoba Sarwa Pireng, dan mendengar tangis bayi, Tun?”
Sukantun mengangguk, memicingkan mata. “Apa hubungannya dengan Ni Rentit lenyap?”
“Itu tangis bayi kesebelas yang dibuang di dusun kita, orok terakhir yang dicampakkan, dan dikubur di Bukit Jambul. Ni Rentit bilang ia harus pergi, tapi tak tahu ke mana. Ia juga bilang tak usah dicari. Jika saatnya kembali, ia datang sendiri.”
“Kapan kira-kira ia akan datang, Gan?”
“Dia muncul kalau ada jabang bayi dibuang. Di Bukit Jambul tak ada lagi arwah bayi harus dirawat, semua sudah punya rumah baru. Sekarang Bukit Jambul tempat yang hampa, palus atau lingga tak lagi bertuah sampai ada lagi orok dikubur di sana. Semua pasangan pemohon bayi itu akan pulang sia-sia. Begitu Ni Rentit bicara padaku sebelum dia pergi.”
Sukantun terpana. Pantas dia tak mendengar tangis bayi ketika tadi malam mencoba aji Sarwa Pireng di kaki Bukit Jambul. Cuma omongan pohon-pohon dan semak yang ia tangkap. Kepada Gancang, Sukantun lalu menyampaikan hasrat yang diam-diam ia pendam: mengubur di Bukit Jambul orok-orok yang dibuang, atau janin aborsi dari manapun. Kemudian silakan pasangan-pasangan tanpa anak datang memohon, agar diberi keturunan yang mulia. Siapa tahu kelak ada yang jadi menteri atau presiden berwibawa, bersih, jujur, dan tidak korupsi.
“Bukankah orok Ken Arok dibuang ibunya sebelum dipungut Lembong, dirawat Bango Samparan dan diasuh Lohgawe? Ia pendiri Singasari dan menurunkan raja-raja Majapahit,” bisik Sukantun.
Giliran Gancang kini terpana. [T]
[i] banjar : dusun
[ii] bendu guru piduka : upacara adat mohon maaf.
[iii] krama : warga
[iv] palus: berasal dari phallus, penis ketika ereksi.
[v] lingga : tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, lambang kesuburan.
_____