Sangar dan tegas. Itulah kesan pertama saat saya pertama kali melihat sosok Pebri Irawan. Perawakannya yang kekar membuat saya sedikit segan untuk berkenalan dengannya. Namun, semua itu lebur ketika malam kedua Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 berlangsung—kegiatan yang diadakan oleh Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Setelah memberi tahu lewat pesan singkat bahwa dirinya akan saya wawancarai, saya memberanikan diri untuk sekedar menyapa terlebih dahulu. Dan, coba tebak apa yang terjadi! Semua ekspektasi saya tentang kesangarannya hilang entah kemana. Saya tertawa malu dalam hati. Ternyata Pebri adalah orang yang jauh dari kata sangar, penuh semangat, dan selalu mempunyai cara untuk mencairkan obrolan. Prasangka yang awalnya aku lemparkan ke Pebri membuatku tertawa sendiri. Sebegitu sangarnya ia dimataku.
Pada malam yang lumayan dingin, kami memulai percakapan di sudut restoran.
Krisna Satya, Ela Mutiara, dan Pebri Irawan (dari kanan ke kiri)dalam sesi Sharing Method di Amatara Agung Raka, Ubud
Koreografer kelahiran Riau ini mengawali perkenalannya dengan dunia seni pada saat duduk di bangku SMA. Menurutnya, sebelum berkenalan dengan dunia seni, Pebri sangat dekat dengan olahraga. Seperti sepak bola, voly, dan climbing. Justru, perkenalan dengan seni, ia awali dengan bermain musik di sanggar sekolahnya SMA. Berbagai bidang ia pelajari, mulai dari musik, tari, bahkan teater.
Semua itu ia jalani hingga tamat SMA. Setelah tamat, pikiran untuk dapat menekuni kesenian membuatnya berusaha mencari informasi terkait kampus yang akan ia jadikan pijakan selanjutnya. Mungkin memang sudah jodohnya dengan seni, setelah melakukan berbagai pertimbangan serta perkelahian dengan ego, ia akhirnya memilih Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dari sanalah awal karirnya di dunia tari berkembang.
Pebri yang selalu tertarik dengan ilmu sosiologi, sejarah, dan hukum ini menamatkan studi S1 di ISI Yogyakarta tahun 2019, kemudian ia melanjutkan pendidikan S2 di kampus yang sama. Ilmu serta pengetahuan yang ia dapatkan di bangku kuliah ia jadikan bekal dalam berkarya. Sama-samar terdengar suara peserta Temu Seni Tari yang juga sedang bercakap-cakap dengan kawan lainnya. Pebri menarik napas panjang seolah menarik ingatan tentang proses yang pernah ia alami. Pebri melanjutkan obrolan.
Pebri Irawan (menggunakan kacamata hitam) bersama peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur dalam sesi Napak Tilas di Pura Samuan Tiga
Pebri Irawan (menggunakan baju hijau bercorak) dalam geladi presentasi karya tari
Dari obrolan itu, saya pahami ada empat inti yang Pebri lakukan saat menggali sebuah ide dalam berkarya, yakni pengaturan kerangka berpikir—terkait tema, tujuan, dan lain-lain—menemukan kata kunci, membaca ulang peristiwa atau isu yang sedang dibahas, baru kemudian merumuskan penulisan konsep. Keempat strategi itu menurutnya membuat karya akan lebih terstruktur dan terhindar dari keambiguan. Selain itu, dalam berproses perlu memperhatikan aspek penonton. Pertimbangan itu hadir agar kita dapat membedakan konteks yang dijalani dan lebih peka terhadap lingkungan penonton.
Dengan agak ragu memotong percakapan, saya sesungguhnya ingin tahu karya-karya yang ia gemari. Kini, giliran saya menarik napas panjang, lalu pertanyaan itu telah ia terima. Rupanya, dengan semangat ia bercerita tentang tari “Pakarena” yang berasal dari Sulawesi Selatan.
“Ketika saya melihat tari itu, wah… ini kontemporer!” katanya dengan senyum yang lebar.
“Coba ya, tari yang begitu pelan, musiknya malah cepat,” celetuknya lagi.
Rupanya, Pebri tertarik dengan kekontrasan yang dihadirkan dalam tari itu, di mana tari yang pelan akan menghadirkan detail gerak yang jelas, dan musik yang cepat akan menjadi tantangan penari yang bergerak pelan.
Pebri Irawan (baju merah muda) dalam pertunjukan berjudul “Secret Coco”
Pebri Irawan (baju merah muda) dalam diskusi karya di Mandala Wisata, Desa Bedulu
Malam semakin larut, Pebri mulai menceritakan tentang salah satu tarinya yang berjudul “Membatas”. Pebri bercerita bahwa tari tersebut berangkat dari karya sastra yang menceritakan kisah ikan Terubuk dan ikan Puyu-puyu. Ikan tersebut berasal tempat yang berbeda—ikan Terubuk dari laut dan ikan Puyu-puyu dari sungai—dan jatuh cinta. Ikan Terubuk yang mengejar cintanya berusaha menerobos air tawar, dan sialnya, ikan Terubuk pun mati.
Sementara itu, ikan Puyu-puyu yang sedih kemudian naik ke pohon pulai dan moksa. Dari cerita itu, Pebri berkata bahwa ia mendapatkan banyak pelajaran dari sastra itu. Salah satunya adalah memahami batasan-batasan yang sudah ada di sekitar kita. Dengan pemahaman itu lahirlah karya “Membatas” sebagai hasil dari pembacaannya terhadap kisah itu.
Penari yang sekarang memiliki kesibukan membuat karya dalam pembukaan Indonesian Dance Festival Layar Berkembang selalu memperhatikan karya yang dibuatnya. Perhatian itu ia curahkan dengan selalu melakukan evaluasi karya sebagai bagian dari kematangan karya itu juga. Evaluasi yang ia lakukan biasanya dengan mementaskan karya tersebut tidak hanya pada satu tempat. Setelah itu, ia akan membuka diskusi dengan teman-teman dari disiplin lain untuk mendapatkan tawaran perspektif.
Perbincangan seru di atas meja persegi itu menyisakan banyak pelajaran bagi saya sebagai orang tari. Bagaimana trik kita membongkar sebuah isu sebelum melahirkan sebuah karya, memahami konteks karya yang akan dibuat, evaluasi karya sebagai jalan untuk mematangkan karya kita. Semua itu adalah bekal yang pada akhirnya akan mematangkan seorang koreografer. [T]