Catatan Pengamat Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022
Di perjalanan menuju Candi Gunung Kawi, suara Made Susanta Dwitanaya yang sedang memberi penjelasan pada seisi penumpang bus terdengar silih berganti dengan suara di kepala saya sendiri yang tengah membaca tulisan tentang Gunung Kawi yang juga ditulis olehnya. Mata saya fokus pada teks di tangan, namun isi kepala saya mengembara, bertanya-tanya. Saya yang awam dengan seni pertunjukan, terlebih seni tari, mencoba menebak-nebak ke arah mana laboratorium ini akan berjalan hingga di hari terakhir. Apa relasi terdekat antara kunjungan ke cagar budaya dengan para peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur yang seluruhnya adalah koreografer dan penari? Apa yang bisa mereka bawa pulang dengan kunjungan-kunjungan arkeologis ini? Meskipun Ibed S. Yuga–rekan pengamat di program ini–menanggapi dengan intonasi bercanda “Sekarang apa saja bisa dihubung-hubungkan”, namun saya menaruh kepercayaan bahwa laboratorium seni tari yang diinisiasi oleh Melati Suryodarmo ini tidak akan memperlakukan kunjungan ke cagar budaya sebatas aktivitas turistik dengan kacamata orientalis. Terlebih 18 peserta[1] yang merupakan koreografer yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini merupakan koreografer sekaligus penari yang telah memiliki atau sedang membangun karakter artistiknya. Setelah 6 hari mengobservasi para peserta, akhirnya pertanyaan-pertanyaan saya pun tak hanya terjawab, namun berkembang melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru.
Peserta Indonesia Bertutur dalam Program Napak Tilas di Pura Gunung Kawi
Napak tilas ke cagar budaya adalah salah satu rangkaian program Temu Seni Tari Indonesia Bertutur. Kunjungan ke Candi Gunung Kawi dan Pura Samuan Tiga ini merupakan upaya dari program ini untuk mengajak peserta mengalami masa lalu dan merelasikannya dengan konteks hari ini melalui tubuh penari yang mereka miliki. Selain itu, bersama-sama program lainnya seperti kunjungan budaya ke sanggar Cak Rina, demonstrasi dan presentasi koreografi patus (memasak khas Bali): Be Cundang dan Tradisi Tajen di Bali, kunjungan ini juga nantinya diharapkan menjadi referensi artistik mereka untuk menciptakan karya.
Mengalami Kesejarahan Tubuh Satu Sama Lain
Sharing methods atau laboratorium berbagi metode gerak bagi saya adalah sesi paling intim sekaligus spiritual dalam program Temu Seni Tari Indonesia Bertutur. Di tiap sesi, beberapa peserta berbagi tentang praktik-praktik ketubuhan mereka, sekaligus latar belakang dan tujuan dari metode gerak tersebut, yang kemudian dipraktikan oleh peserta-peserta lainnya. Sesi ini tak hanya memperkaya kosa metode gerak mereka, namun juga memberikan peluang untuk membaca kesejarahan tubuh satu sama lain. Bagaimana tubuh Ela Mutiara, Ayu Permata, dan Ayu Anantha yang berangkat dari tari tradisi Indonesia terbentuk, tentu akan berbeda dengan tubuh Alisa yang berangkat dari balet. Dengan melihat metode yang dibagi oleh Gede Krisna dan Krisna Satya kita dapat membaca fragmen otobiografi tubuh mereka, tubuh tradisi yang dibentuk oleh referensi sosial dan budaya Bali. Sama halnya dengan Priscilia R.E Rumbiak atau Elis yang membagi metode tari tradisi Papua yang umumnya sulit dipisahkan dengan nyanyian atau suara sebagai ekspresi tubuh.
Sesi berbagi metode gerak tak berkutat pada eksplorasi sejarah tubuh tradisi atau modern. Beberapa metode praktik lain juga mengajak peserta untuk melihat ulang tubuh per se secara anatomis, dan mengaitkan relasi tubuh dengan emosi. Mekratingrum Hapsari atau akrab disapa Mike membawa rekan-rekannya untuk bermain dengan mata dan tatapan. Mata dapat mengekspresikan emosi yang lebih luas dari jangkauan geraknya yang dibatasi kelopak. Namun sekali waktu ia hanya cukup diterima sebagai organ tubuh berbentuk bulat hitam-putih, tanpa makna apa-apa. Metode yang dibagikan Mike mengajak peserta untuk melatih fleksibilitas dalam menempatkan dan merespon objek. Kapan kita dapat mendekatinya menggunakan relasi signifier (penanda) dan signified (petanda), dan kapan kita cukup melihatnya sebagai objek yang arbitraire.
Salah satu kata kunci utama yang saya temukan selama proses berlangsungnya Temu Seni Tari Indonesia bertutur yang menitikberatkan pada praktik seni tari kontemporer adalah kesadaran tubuh. Salah satunya dihadirkan Puri Senja saat membagikan metode praktik artistiknya. Puri menuntun kawan-kawannya untuk membayangkan bahwa tubuh adalah sekumpulan energi yang hadir di tiap sendi-sendi, di tiap aliran darah dan organ tubuh. Energi-energi itu tak terjebak dalam tubuh. Ia dapat berpindah dan dipindahkan porosnya, dan dialirkan pada apapun yang ada di sekitar kita. Kesadaran soal tubuh dan energi ini menempatkan bahwa tubuh hanya bagian kecil dari energi alam. Keberadaannya tak berbeda dengan pohon-pohon atau aliran air di sekitar mereka saat itu.
Menolak tubuh sebagai poros energi yang lebih superior dari elemen lain di sekitarnya juga diekspresikan Kurniadi Ilham. Sharing methods yang sebelumnya bertempat di lapangan atau di balai terbuka, ia pindahkan ke kolam renang. Ilham meminta rekan-rekannya menelusuri sisi kolam, lalu turun ke kolam, dan naik lagi. Di putaran berikutnya ia meminta mereka berjalan mundur, berjalan jongkok, lalu setelahnya membekali mereka dengan kursi yang dijinjing, digendong, dan dipanggul. Tubuh para penari harus berdamai tak hanya dengan material kursi dan air, tapi juga juga mengamini ketidakberdayaan tubuh atas elemen-elemen lain di luar diri dan pengetahuan mereka.
Sesi Sharing Methode yang berlangsung di Wantilan Pura Gunung Kawi
Pebri Irawan, putra Riau yang saat ini sedang menempuh studi di ISI Yogyakarta mengundang 3 rekannya untuk berada di tengah-tengah. Peserta lain mengelilingi mereka dan memberi perintah untuk menggerakkan bagian-bagian tubuh tertentu dalam volume tinggi dan ketukan yang cepat. Tiga orang penari ini gelagapan mengikuti perintah yang begitu lekas berganti, dan memilah suara mana yang harus diikuti sebab semuanya memberi perintah secara acak. Ketika panitia, fasilitator dan pengamat yang berada di sisi lapangan sudah dibuat terengah-engah hanya dengan menonton mereka. Pebri mencoba menyampaikan bahwa suara menjadi elemen yang penting, tidak hanya dalam memberi perintah, tapi juga memberi tekanan pada tubuh dan pikiran. Menurutnya, gerakan cepat silih berganti yang melelahkan adalah soal biasa bagi penari. Kelelahan dan berkeringat sudah menjadi nama tengah mereka. Namun tekanan secara psikis adalah soal lain. Penari perlu memiliki kelenturan khusus dalam mengelola perintah gerak dan tekanan emosi yang datang secara bersamaan.
Dalam beberapa hari itu, yang nampak secara visual adalah sekumpulan penari yang saling belajar di tengah lapangan rumput. Namun sesungguhnya di saat bersamaan masing-masing dari mereka sedang melakukan perjalanan ke dalam tubuh satu sama lain, perjalanan kolektif sekaligus interpersonal, yang meski tak diniatkan namun pada akhirnya turut memberi penjelasan tentang asal muasal pilihan artistik mereka. Komang Adi, salah satu peserta asal Bali menyampaikan pada saya bagaimana sesi sharing methods ini turut mengobrak-abrik cara kerja dan cara berpikirnya sebagai seniman. Meski kelelahan (dalam konotasi baik) menyerap hal-hal baru secara bersamaan, program ini turut memperkaya perspektif alternatifnya dalam merencanakan proyek-proyek seni berikutnya. “Karena saya kini berada di lingkungan seni yang juga menjadikannya sebagai industri, saya sebelumnya terjebak pada objektif bahwa saat menciptakan karya harus ada unsur atraktif, glamour, dan menekankan pada apa yang akan dilihat penonton. Tapi setelah mengikuti Temu Seni Tari ini, sepertinya ke depannya saya perlu lebih banyak belajar soal menciptakan karya dengan proses yang matang, dan lebih banyak riset konsep”, ujar Komang Adi yang menyelesaikan studi di ISI Denpasar ini.
Proses menyerap dan meniru dalam sharing methods ini tak hanya berhenti sebagai pengetahuan baru. Setelah kembali ke wilayah kerja masing-masing, metode-metode ini nantinya akan mereka kelola dan uji kembali menggunakan tubuh mereka sendiri, yang sejak awal telah membawa karakter ketubuhan masing-masing. Hasil dari pengolahan metode-metode baru di dalam tubuh yang berbeda-beda ini nantinya akan menghasilkan racikan yang beragam dan memiliki kompleksitasnya masing-masing. Di sinilah kehadiran laboratorium semacam ini turut emberi pengaruh dan memperkaya kerja-kerja artistik seniman.
Menemukan Kata Kunci sebagai Pijakan Penciptaan Karya
Sebagai orang yang lebih banyak menonton film, kunjungan ke Gunung Kawi (meskipun saya akhirnya tak jadi ikut karena sedang haid) menunjukkan pada saya bahwa kesadaran atau bahkan hasrat manusia untuk mengabadikan dirinya sendiri telah ada sejak dahulu, paling tidak sejak abad 11 jika mengacu pada periode berdirinya Gunung Kawi. Kerja-kerja candi dan prasasti di zaman itu barangkali serupa dengan film hari ini, dibuat untuk mengabadikan peristiwa atau tokoh penting, sebagai representasi zaman, dan memberikan imajinasi pada orang-orang di masa depan tentang hari ini. Watak candi dan film selain sama-sama menunjukan pada kita bahwa meskipun usia manusia begitu pendek, namun obsesi mereka untuk menjadi abadi amatlah kekal, juga sama-sama merupakan medium penciptaan yang terpisah secara fisik dengan senimannya. Kita dapat melihat keduanya secara berjarak dari diri. Lalu bagaimana dengan para penari yang menggunakan tubuh mereka sendiri sebagai medium penciptaan melihat dan merefleksikan candi dengan bidang seni tari?
Berbeda dengan amatan saya ini, dalam presentasi Focus Group Discussion (FGD) para koreografer memberikan refleksi mereka tentang kunjungan ke cagar budaya serta pengalaman beberapa hari terakhir di laboratorium Temu Seni Tari Indonesia Bertutur dengan corak yang cenderung personal. Sebab mau tak mau, variabel utama yang mereka gunakan sebagai instrumen refleksi adalah tubuh mereka sendiri. Sesi FGD dalam program Temu Seni Tari Indonesia Bertutur memberikan peluang pada peserta untuk menguji perspektif kritis mereka sebagai seniman setelah melakukan kunjungan ke cagar budaya sekaligus tempat tujuan wisata yang selama ini cenderung dibalut dengan kemasan yang eksotik dan romantis. Kata kunci-kata kunci yang mereka rumuskan secara berkelompok nantinya dapat mereka gunakan sebagai variabel awal saat menciptakan karya. Sebagian besar dari peserta membaca Gunung Kawi secara anatomik dan otobiografis, lalu menggunakan temuan itu untuk membaca ulang tubuh mereka. Sebagaimana tubuh candi Gunung Kawi, tubuh mereka–para koreografer yang lahir dan tumbuh dalam konteks geografis dan kultural yang berbeda–memiliki pengalaman tubuh dan memori tubuhnya sendiri.
Sesi Sharing Methode yang berlangsung di Halaman Hotel Amatara Agung Raka, Ubud
Puri Senja, Krisna Satya, Bathara dan Gede Krisna mempresentasikan 4 kata kunci dari hasil diskusi kelompok mereka: tubuh yang adaptif, ketahanan jangka panjang, memori dan kesadaran, serta keterhubungan. Tubuh yang adaptif adalah kata kunci pertama yang mereka sarikan dari bagaimana tubuh memiliki ingatan dan mengaktifkan ingatan tersebut secara otomatis sesuai konteks ruang. Salah satunya adalah reflek mencopot alas kaki ketika memasuki pura atau tempat suci. Reflek-reflek tersebut terbentuk dari konteks sosial dan budaya tertentu, tergantung pada pengalaman si pemilik tubuh. Produksi reflek ini adalah proses yang terus berlanjut. Semakin banyak pertemuan dan perjalanan yang ditempuh oleh tubuh, maka tubuh akan terus beradaptasi dan memperkaya memori serta pengalamannya, yang nantinya tubuh akan memberlakukan norma baru pada dirinya secara otomatis. Pada akhirnya tubuh bukan semata objek, ia memiliki dan memilih pengalaman serta memorinya sendiri.
Candi dan tubuh merupakan situs yang sama-sama memiliki ketahanan. Candi berhadapan dengan perubahan zaman dan pola hidup manusia. Sementara ketahanan penari diuji di atas dan di belakang panggung, termasuk ritual yang mereka terapkan untuk merawat tubuh mereka sendiri. Bentuk candi di Bali tak berbeda dengan di Jawa. Puri Senja dan Bhatara yang berasal dari Jawa serta Krisna Satya dan Gede Krisna yang berasal dari Bali memiliki memori sosial yang mirip. Hidup sehari-hari yang mereka hadapi tak jauh berbeda. Memori-memori itu tak hanya memori visual, tapi juga memori rasa yang didapat dari sentuhan. Dalam konteks perjalanan ke candi, para penari pun memiliki memori dan kesadaran tentang bagaimana mereka ditatap. Dalam hal inilah mereka menemukan adanya keterhubungan. Meskipun cara atau norma yang berlaku berbeda-beda di setiap konteks geografis, namun selalu ada variabel yang universal yang mengaitkan satu dengan yang lain.
Yezyuruni Forinti, Razan Wirjosandjojo, Ela Mutiara, Ayuni Praise dan Pebri Irawan juga memaparkan 5 kata kunci: Rahasia, tubuh arsitektur, kesadaran ruang, keterasingan terhadap pengetahuan sendiri, dan tatapan visioner dari gejala kehidupan. Candi dan tubuh sebagai situs sama-sama memiliki politik keruangan. Mereka tidak hanya menyimpan sejarah dan ingatan, tapi juga rahasia. Dalam beberapa kasus, rahasia itu membawa kita pada pengetahuan baru. Di kasus lainnya, atas pertimbangan-pertimbangan sosial dan kultural ia dibiarkan menjadi rahasia. Dalam sharing methods, Krisna Satya menyampaikan soal sikut, yaitu pengukuran luas bangunan dengan menggunakan ukuran tubuh manusia. Pada masa lampau, sistem ini umum dipakai di Bali. Praktik ini menunjukan bahwa ruang dan tubuh amat berkaitan. Pembangunan ruang selalu menyesuaikan dengan kebutuhan penghuninya, sebagaimana candi Gunung Kawi yang dulu merupakan pasraman atau tempat belajar dan berguru.
Kesadaran akan ruang memungkinkan kita melakukan pembacaan atas candi dan situs-situs di masa lalu, dan mengaitkannya dengan pola hidup masyarakat terdahulu. Akses pengetahuan untuk umum akan situs-situs masa lalu cukup terbatas. Di bangku sekolah, pengetahuan yang disediakan amatlah generik. Cara pandang dalam melihat sejarah pun kebanyakan menggunakan perspektif hari ini. Sehingga muncul pertanyaan, apa iya pengetahuan yang akan kita wariskan hanya sebatas yang tertulis di buku cetak saja. Kesadaran bahwa pengetahuan yang diwariskan pada kita amat terbatas memungkinkan kita untuk melakukan penelusuran sendiri dan melakukan pembacaan-pembacaan baru terhadapnya. Sehingga kita tidak akan terintimidasi oleh ketidaktahuan dan keabaian kita.
Priscilia R.E Rumbiak (Elis), Bagus Bang Sada, Ayu Permata, dan Mekratingrum Hapsari (Mike) memulai presentasi mereka dengan kata kunci keseimbangan. Ayu Permata yang beragama Islam dan terbiasa dengan pembagian komposisi beribadah yang secara dipisahkan menurut jenis kelamin, membagikan pengalaman barunya saat ikut sembahyang di Gunung Kawi. Melihat laki-laki dan perempuan duduk berbaur, bahkan perempuan dapat duduk di depan memperkaya pengetahuannya akan kategorisasi dan komposisi gender yang berlaku di masyarakat Candi Gunung Kawi yang dahulu difungsikan sebagai pusat penyebaran pengetahuan juga memiliki struktur dan komposisinya sendiri. Secara geografis ia diapit oleh dua aliran sungai. Sebagaimana air yang merupakan sumber kehidupan, candi Gunung Kawi berdiri di sana sebagai sumber ilmu pengetahuan yang mengalir.
Meski candi Gunung Kawi memiliki elemen yang mirip dengan candi-candi di Jawa, namun perbedaan yang menonjol darinya adalah candi-candi ini terukir 2 dimensi. Pembuatannya yang dilakukan di tebing membuat candi nampak seperti menempel pada dinding tebing. Apakah ia memiliki sisi lain di baliknya? Dimensi candi Gunung Kawi yang unik ini mengingatkan Bagus Bang Sada pada perspektif ruang pertunjukan tari. Sebagai penari ia menyadari bahwa ada bagian yang nampak oleh penonton, ada pula yang tak dapat dijangkau mata ketika mereka menonton dari salah satu sisi. Hal ini menciptakan adanya kesadaran ditatap. Dimensi dalam hal ini juga dapat diartikan sebagai transisi waktu, peralihan kondisi sosial masyarakat yang tumbuh dan berubah di sekitar candi. Sebagaimana tubuh yang selalu bernegosiasi terhadap konteks sosial dan kultural, pembacaan terhadap candi sebagai situs sejarah juga selalu berubah dan mengalami negosiasi dari waktu ke waktu.
Menyambung dari presentasi Bagus Bang tentang apa yang nampak dan tidak nampak dalam kaitannya dengan candi dan tubuh pertunjukan, kelompok Alisa Soelaeman, Kurniadi Ilham, Ayu Anantha, Eka Wahyuni dan Komang Adi juga menggarisbawahi kata kunci yang sama. Namun mereka menekankan pada aspek sosio-kultural dan ekologis yang berlangsung di sekitar candi. Ketika berkunjung ke candi Gunung Kawi, kita melihat sesuatu yang indah dan megah yang membuat kita kemudian bertanya-tanya apa yang dikorbankan dan dipertaruhkan untuk menciptakan dan mempertahankan imaji ini? Pertanyaan ini dicetuskan oleh Kurniadi Ilham berkaca dari situs Muaro Jambi yang dekat dengan tempat tinggalnya yang dikelilingi banyak permasalahan ekologis di sekitarnya. Di samping itu kelompok ini juga mempertanyakan kenapa lokasi tersebut dipilih untuk membangun candi Gunung Kawi pada masa itu? Apakah berkaitan dengan adanya dua aliran mata air, diapit hutan, dan nyaris tersembunyi dari hiruk pikuk aktivitas masyarakat? Kenapa lokasinya nyaris seperti tempat persembunyian? Pertanyaan-pertanyaan ini (yang sayangnya tidak berhasil dijawab BPCB), menyiratkan ada banyak keterputusan informasi dan diseminasi pengetahuan yang gagap.
Sebagai penutup sesi FGD para fasilitator menyimpulkan berdasarkan presentasi para peserta apa yang tengah mereka timbang dan pelajari dari perjalanan mereka ke Gunung Kawi berujung pada pemahaman soal pengalaman transendental ketika berkunjung ke situs-situs yang dibangun di zaman yang sama sekali berbeda dengan hari ini. Kesadaran ruang dan waktu ketika berkunjung ke situs tersebut dapat berubah seiring dengan pengetahuan kita tentangnya. Sehingga yang terproyeksikan dalam pikiran kita tidak hanya apa yang kita lihat di waktu nyata, tapi juga yang kita bayangkan tentang tempat-tempat ini berdasarkan pengetahuan yang kita miliki. Kunjungan ke situs cagar budaya juga melatih para peserta untuk lebih mudah menempatkan diri, kapan harus menjadi diri yang sekarang, kapan menjadi diri yang masa lalu.
Menguji Tatapan pada yang Liyan
Keluwesan dalam menempatkan diri kembali kembali dipantik dalam sesi sarasehan bersama Joned Suryatmoko dan Helly Minarti selaku fasilitator, di mana saya dan Ibed S. Yuga berlaku sebagai pemantik. Bagus Bang Sada, salah satu peserta dari Bali menyampaikan kegelisahannya terkait perspektifnya dalam sebagai orang Bali. Menempuh studi sarjana dan master di Yogyakarta selama 7 tahun, Bagus Bang yang berangkat dari tubuh tradisi pulang membawa pengalaman dan memori tubuh yang baru, serta cara pandang yang lebih kompleks dalam menatap Bali. Program Temu Seni Tari Indonesia Bertutur ini memberinya kesempatan untuk mengamati cara peserta lain yang lebih berjarak dalam melihat Bali. Sekali waktu Bagus Bang (dan barangkali juga peserta lain dari Bali) melihat Bali dengan begitu dekat, tanpa jarak. Di waktu yang lain ia meminjam tubuh peserta lain untuk memberi jarak, sebab tatapan yang begitu dekat ini begitu bias dan tak memberinya ruang baca yang lebih komprehensif. Pertanyaannya, sebagai orang Bali, sampai kapankah ia meminjam tubuh orang lain untuk menatap Bali dengan lebih objektif?
Helly Minarti menyampaikan bahwa konsep tentang liyan selalu dibicarakan dalam sejarah tari, baik dalam konteks tradisi maupun modern. Dalam sejarah tari, Bali selalu ditatap dan dianggap liyan, awalnya oleh orang asing di jaman kolonial hingga hari ini. Helly menekankan bahwa kita perlu menyadari tatapan itu dan tidak buru-buru menatap diri kita dengan meminjam tatapan itu. Dalam konteks pariwisata misalnya, seringkali Bali ditatap, tapi sadar atau tidak orang Bali sendiri meminjam tatapan itu untuk menatap dirinya. Dengan menyadari posisi sebagai yang dianggap liyan, sangat penting memiliki kesadaran bahwa kita sedang dilihat agar kita tidak kehilangan daya kritis dalam melihat kembali ke diri sendiri. Helly mengambil contoh perjalanan hidup Sardono Waluyo Kusumo, maestro tari Indonesia yang awalnya melakukan perjalanan ke New York. Itu kemudian menginspirasi dia untuk keliling Indonesia, ke Teges di Bali, ke Asmat, Kalimantan. Dari situlah dia menimbang kembali kejawaannya.
Eka Wahyuni (Baju Merah) dan Razan Wirjosandjojo (celana hitam) peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 dalam sesi Sharing Methode
Joned Suryatmoko menambahkan bahwa menjadi woles dan tidak terjebak pada kategorisasi amatlah penting bagi seniman. Meskipun kewolesan itu sebetulnya punya tegangan tinggi, karena mungkin muncul pada hal yang sifatnya kontradiktif di dalam diri kita. Namun itu pasti akan nampak dalam praktik artistik kita. Sebagai seniman itu adalah tugas kita untuk memunculkan kembali, mempertanyakan lagi apa yang oleh kesadaran lokal dianggap sudah selesai. Jika kita lincah bernavigasi, kapan keluar masuk, kapan menjadi siapa, maka ekosistem tari kita akan jauh lebih sehat dan progresif dalam hal kekaryaan, percakapan artistik, menyangkut isu-isu yang lebih luas di luar diri kita.
Dalam program Temu Seni Tari Indonesia Bertutur ini, yang tatapannya diuji sesungguhnya bukan hanya peserta dari Bali, namun juga peserta-peserta yang berasal dari luar Bali. Eksperimen untuk menguji tatapan ini turut hadir dalam pertunjukan Sabung, kolaborasi dari Razan Wirjosandjojo, Yezyuruni Forinti, Kurniadi Ilham dan Priscilia R.E Rumbiak. Dengan metode interaktif, keempat penari ini mengadopsi arena tajen, dengan mengajak penonton berjudi betulan. Kali ini petarungnya bukanlah ayam jago, melainkan dua manusia yang sedang adu ketahanan akal. Dengan refleksi kritis, Sabung tidak berhenti pada duplikasi tajen, tapi mengemasnya dalam pertunjukan yang mengajak penonton mempertanyakan relasi patron dan petarung.
Dalam sesi sarasehan, Razan Wirjosandjojo sempat mempertanyakan reaksinya dan teman-teman dari luar Bali, yang menurutnya amat berjarak dan perlu dikritisi. Menurut Helly Minarti, reaksi tersebut amatlah wajar. Sebagai seniman atau peneliti kita punya kesadaran untuk membaca bahwa hal-hal euforia ini adalah godaan indrawi. Respon seperti ini tidak perlu dibantah bahwa itu terjadi dalam diri kita. Cukup diterima, dibawa lalu diendap dahulu. Nanti ada saatnya kita akan melakukan pembacaan ulang, refleksi, proses mencari tahu lebih dalam atas tatapan kita ini. Mungkin tidak di Bali, mungkin nanti ketika kita pulang ke rumah asal masing-masing.
Yang Tak Tertangkap Mata Bisakah disebut Pertunjukan?
Pada hari keempat, para peserta Temu Seni Tari berkesempatan berkunjung ke sanggar Cak Rina untuk mempelajari tari Cak Teges. Kunjungan hari itu ditutup dengan penampilan tari kecak para peserta serta penampilan khusus dari beberapa peserta: Ayu Anantha (penampilan solo), kolaborasi Puri Senja dan Bhatara, kolaborasi Ela Mutiara dan Krisna Satya, kolaborasi Bagus Bang dan Razan Wirjosandjojo, serta kolaborasi Ayu Permata, Ayuni Praise dan Komang Adi. Satu hari sebelumnya, saya sempat menguping persiapan pertunjukkan Bagus Bang dan Razan Wirjosandjojo. Tak butuh waktu lama, saya dapat menyimpulkan bahwa dalam proses penciptaan karya, mereka adalah koreografer yang menghabiskan banyak energi di tahap perumusan konsep. Di malam berikutnya mereka naik panggung bertelanjang dada dan mengenakan celana hitam pendek ketat. Sebagai informasi, malam pertunjukan berlangsung di halaman pura. Bagus Bang dan Razan memegang kain hitam yang kira-kira berukuran 2×1 meter. Berbekal kain itu, mereka mengajak penonton menebak apa yang tersembunyi di balik kain hitam. Mereka berkreasi dengan jalinan dan jari-jari tangan mereka. Penonton berusaha menebak bagaimana tangan keduanya terangkai di balik kain hitam. Tak berselang lama, Razan duduk dan bersembunyi di balik kain hitam di antara kaki-kaki Gus Bang. Keduanya berolah gerak. Yang satu tampak oleh mata, yang satu bergerak di balik kain hitam.
Peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 dalam Workshop Kecak Bersama I Ketut Rina
Pertunjukan ini membawa penonton menebak-nebak gerak apa yang Razan lakukan di balik kain hitam. Tanpa melihatnya dengan jelas, penonton mengetahui bahwa ia melakukan komposisi gerak. Lantas mengapa Razan harus bekerja keras bergerak di balik kain hitam, ketika nyatanya penonton tak dapat melihatnya? Atau mungkinkah pertanyaan ini dapat kita ganti dengan, apakah yang dimaksud pertunjukan adalah semata-mata apa yang dapat dilihat oleh penonton? Persoalan apa yang diperlihatkan dan tidak diperlihatkan ini seketika mengingatkan saya pada film dan elemen frame. Dalam menonton film dokumenter misalnya, apa yang dihadirkan dalam layar yang sebelumnya melalui proses editing adalah keputusan-keputusan subjektif dan politis. Gambar serta suara yang dihadirkan dalam film tidak dapat berhenti sebagai sesuatu yang diterima begitu saja. Seringkali ia memunculkan pertanyaan lanjutan, mengapa bagian ini yang dihadirkan dalam film? Apa yang ada di luar frame yang tidak dipilih oleh pembuat film? Pada konteks ini setelah menonton pertunjukan kolaborasi Bagus Bang dan Razan, saya berkesimpulan bahwa dalam beberapa hal, hal-hal yang tidak dapat dilihat dalam sebuah pertunjukan, menjadi sama pentingnya dengan hal-hal yang diperlihatkan.
Memori Tubuh: Bagaimana Tubuh Memilih Ingatan
Bergabung di sanggar tari terdekat barangkali adalah pengalaman kolektif anak-anak di Bali pada era 90-an, termasuk saya. Dalam ingatan saya yang hanya belajar menari tak sampai 5 tahun, menari adalah praktik melihat, menghapal dan menirukan apa yang dicontohkan pengajar. Singkatnya, ia berpangkal pada memori visual dan sedikit memori dengan dari bantuan musik atau gamelan pengiring. Hingga pada suatu siang, Gede Krisna, salah satu peserta dari Bali menunjukkan pada saya sebuah video dari Gusti Biyang Sengong, seorang maestro tari dari Bali yang turut dalam perjalanan ke Paris Expo tahun 1931.
Gusti Biyang Sengong dalam video itu mengajar tari dengan menggerakan tubuh-tubuh penarinya dari belakang, bak dalang yang tengah mengatur wayang. Ia tak mencontohkan dari depan. Praktik ini kemudian diadaptasi oleh Gede Krisna dalam pertunjukannya yang berjudul Nasarin atau yang dalam bahasa Indonesia berarti memberi dasar, yang dipentaskan di panggung terbuka Pura Samuan Tiga pada hari terakhir Temu Seni Tari Indonesia Bertutur. Dengan menunjuk Ayu Anantha sebagai tim penari, pertunjukan ini memunculkan kembali praktik pedagogi tari yang mulai ditinggalkan, yakni mengajar melalui sentuhan. Mengandalkan memori tubuh, alih-alih mengulang memori visual, tubuh diajak mengingat melalui tekanan dan kendali yang diberikan atasnya.
Berbicara tentang kendali tubuh dan kesadaran atasnya, A Day to Remember yang dibawakan Mekratingrum Hapsari (Mike) dan Fase Tubuh oleh Puri Senja juga berkutat pada perbincangan ini. Mike membagikan amplop berisi pertanyaan pada penonton. Ia lalu merespon jawaban-jawaban penonton dengan gerak tubuh secara spontan. Puri Senja membuka pertunjukan dengan memperkenalkan diri dan sejarah tubuhnya “Hai nama saya Puri Senjani Apriliani, saya dari Surabaya, saya anak pertama dari 4 bersaudara. Ayah saya seorang tentara, ibu saya seorang instruktur aerobik, dan saya seorang penari”. Meski kedua pertunjukan ini sama-sama merefleksikan otobiografi tubuh penarinya masing-masing, namun pertunjukan Puri Senja menekankan bagaimana tubuhnya tercipta di luar kendalinya dan dalam beberapa hal tubuh tidaklah berdaya atas sekitarnya. Sementara Mike, meski sama-sama mengadopsi metode partisipatif, ia tetap pemegang kendali atas pertunjukan. Kuasanya sebagai pencerita lewat tubuh ditunjukan dengan menunjukkan bahwa ia punya keputusan untuk memilih amplop mana yang akan ia buka, yang mana ia tinggalkan tergeletak di meja.
Tak hanya Puri Senja dan Mike yang memberi penonton kesempatan untuk melacak otobiografi tubuh mereka. Dalam pertunjukan tunggalnya, Alisa Soelaeman menguasai panggung dengan bermain-main dengan konsep poros. Latar belakangnya sebagai penari balet membuatnya secara gesit berputar dari satu titik panggung ke titik lainnya. Terinspirasi dari relasi tarik menarik antara bulan dan bumi, work in progress ini menantangnya untuk bereksperimen dengan pakem balet yang umumnya bertumpu pada kaki.
Tubuh yang Merintih, Personifikasi atas Candi dan Masyarakat yang Sakit
Menjelang sore, area panggung terbuka di Pura Samuan Tiga dipasangi obor. Tak berapa lama, Razan yang berbalut kain oranye dan rambut dikepang dua datang membawa ayam ke tengah panggung. Ia memegang ayam jago itu dengan sangat hati-hati, seolah ia adalah barang pecah belah yang ringkih dan peka terhadap guncangan yang berlebihan. Razan bergerak membaringkan tubuhnya, memindahkan kakinya dengan pelan, memutar arah duduk. Pertunjukan terasa begitu sunyi dan khusyuk. Penonton kapan si ayam akan berkokok atau berusaha melarikan diri dari pegangan Razan. Nyatanya si ayam jago masih kalem dalam pegangan hingga pertunjukan berakhir. Berkebalikan dengan ayam yang anteng dan barangkali mulai merasa nyaman, tubuh Razan bercucuran keringat. Gerakan-gerakan yang ia lakukan amat berhati-hati dan beberapa menuntut konsentrasi dan keseimbangan. Meski dalam sebuah sesi tanya jawab seorang penonton menyampaikan bahwa pertunjukan Razan yang terinspirasi dari tradisi tajen (sabung ayam) ini kontradiktif dengan praktik tajen yang penuh kekerasan, namun bagi saya di atas panggung Razanlah yang secara sadar membiarkan tubuhnya kesakitan untuk menjaga kenyamanan si ayam.
Semangat pertunjukan Razan saya temukan berbanding lurus dengan Secret Coco, pertunjukan kolaborasi antara Pebri Irawan, Krisna Satya, Ela Mutiara, dan Bagus Bang. jika Razan menjaga ayam agar tetap tenang dan nyaman, maka Secret Coco menjaga sebuah kelapa di atas meja yang diusung oleh keempatnya. Atmosfer tegang terulang kembali. Penonton menebak-nebak kapan kelapa jatuh. Namun pertunjukan ini tidak menggunakan jatuhnya kelapa sebagai kurs. Satu demi satu penari keluar panggung ketika rokok yang mereka hisap habis. Tersisalah Ela Mutiara yang meyangga meja sendiri sambil memastikan kelapa yang telah jatuh masih baik-baik saja. Rasanya tidak berlebihan jika baik ayam maupun kelapa kita terjemahkan sebagai personifikasi atas hal yang rentan dan harus dirawat, yang dalam konteks laboratorium ini ia adalah cagar budaya. Ia rapuh dan bertaruh dengan waktu. Upaya merawat ini tentu juga memiliki kompleksitasnya sendiri dan tak jarang akan mengorbankan banyak faktor, tak terkecuali candi atau cagar budaya itu sendiri.
Kesadaran pada tubuh yang sakit juga nampak pada pertunjukan Saling Gema, kolaborasi Ayu Permata dan Priscilia R.E Rumbiak (Elis). Dalam sebuah wawancara Ayu Permata menyampaikan bahwa sebagai perempuan yang tumbuh di masyarakat Lampung, geraknya ditentukan oleh suara-suara di sekitarnya. Suara-suara yang menekannya secara sosial dan kultural ia tampilkan dalam panggung bersama Elis yang dalam sesi sharing methodnya juga berbagi soal pentingnya suara dan musik dalam tradisi tari di Papua. Pertunjukan menampilkan Ayu Permata dan Elis yang saling berhadapan melakukan hentakan stakato, seolah-olah tengah berkomunikasi dengan gema. Dalam gema itu ada napas yang terengah-engah dan tubuh yang kelelahan. Area pertunjukan di dalam gedung berdengung memantulkan gema mereka berdua, penonton hening.
Bunyi sebagai metafora tubuh yang sakit juga direpresentasikan oleh Sssst!, pertunjukan kolaborasi antara Kurniadi Ilham, Yezyuruni Forinti, dan Gede Krisna. Besi panjang berbentuk segitiga digesekan dengan suara kaleng untuk menciptakan suara pekik yang membikin ngilu. Setelahnya jalinan itu dijepit di gigi. Tubuh para penari ditantang ikut merasakan sakit bersamanya. Berangkat dari kegelisahan Ilham tentang industrialisasi di sekitar Candi Muaro Jambi, Sssst! dikemas dalam sebuah pertunjukan yang bising dan berisik, sebagaimana tubuh yang sedang merintih kesakitan, untuk mengusik kenyamanan penonton.
Bertemu Kembali Pasca Pandemi
Joned Suryatmoko mengungkapkan bahwa meskipun laboratorium atau lokakarya tari semacam ini bukan hal baru di Indonesia, namun pengalaman kali ini cukup partikular sebab selama hampir 3 tahun kegiatan bertemu dan berkumpul dianggap hal yang berisiko akibat pandemi COVID-19. Pertemuan kali ini menjadi momen untuk mencurahkan energi yang telah diendap beberapa tahun kemarin. Lebih dari itu, kesadaran kita terhadap tubuh dan ruang pasca pandemi pun turut menemukan definisinya yang baru.
Kurniadi Ilham (berbaju dan kain hitam), Gede Agus Krisna Dwipayana (berselendang oranye), dan Yezyuruni Forinti (berbaju hijau) dalam Gladi Pertunjukan
Dalam pertunjukan Temu Seni Tari Indonesia Bertutur, Komang Adi juga menghadirkan Lampah, karya solonya yang sudah sempat ia pentaskan sebelumnya. Lampah adalah karya reflektif yang ia ciptakan saat pandemi. Dengan mengenakan topeng dan kain hitam transparan, Komang Adi memasuki panggung terbuka. Penonton dibiarkan maju mendekatinya, mengambil foto, mengobjektifikasinya dengan tatapan awas. Topeng yang ia kenakan tak punya mulut. Topeng tanpa mulut itu bikinan ayahnya ia pilih sendiri. Selaras dengan kata kunci rahasia pada sesi FGD, topeng tanpa mulut ia simbolkan seperti sejarah yang tak lagi punya kesempatan untuk bersuara, yang membiarkan dirinya ditonton, dan ditafsir dengan jarak yang ditentukan sendiri oleh publik.
Selain penampilan solo, Komang Adi juga berkolaborasi dengan Ayuni Praise, Eka Wahyuni, Yezyuruni Forinti dalam pertunjukan bertajuk Rooted. Di dalam ruang pertunjukan, tubuh mereka yang disorot lampu menciptakan bayangan yang jatuh di kain hitam. Bayang-bayang itu lebih besar dan mencuri fokus pertunjukan. Penonton barangkali bingung mana yang lebih menyihir mereka, para penari yang sedang menguji keseimbangan dengan satu kaki dan kemiringan tubuh, atau bayang-bayang ilusif di belakang mereka. Pertunjukan ini berangkat dari kata kunci-kata kunci yang mereka sepakati dalam proses penciptaan karya, mulai dari kaki yang bersetia pada satu pijakan, serta bayang-bayang sebagai proyeksi masa lampau.
Hampir separuh dari pertunjukan yang ditampilkan di hari terakhir Temu Seni Tari Indonesia Bertutur bereksperimen dengan metode partisipatif. Mulai dari merobohkan sekat antara panggung dan kursi penonton, hingga melibatkan penonton sebagai bagian dari pertunjukan. Pesona, sebuah karya dari Eka Wahyuni yang mengajak serta Bagus Bang sebagai penari tidak hanya menggunakan metode partisipatori sebagai pilihan artistik namun juga lintas media. Emapt sukarelawan dari penonton diajak untuk memotret Bagus Bang, si penari Bali sedekat mungkin. Mulai dari mata, dagu, paha, mata kaki, dan lainnya. Penonton yang memotret Bagus Bang dipotret oleh penonton lainnya. Penonton lainya yang memotret penonton yang memotret Bagus Bang juga dipotret oleh penonton lainnya lagi. Begitu seterusnya. (Dapatkah kita sebut ini sebagai metaperformance?). Pertunjukan tidak selesai di atas panggung. Sebab Eka Wahyuni, sang koreografer akan mengunggah hasil foto sukarelawan di akun instagramnya. Lalu, jika penonton hingga hari ini belum juga melihat hasil foto yang diunggah, dapatkah kita katakan bahwa pertunjukannya masih berlangsung?
Perjumpaan, Pertukaran, dan Kemungkinan Setelahnya
Selama 6 hari mengikuti ke-18 koreografer saling bertukar metode gerak, silih berganti mengadopsi kerja dan pikiran satu sama lain di Temu Seni Tari Indonesia Bertutur, pertanyaan berikutnya adalah apa kemungkinan-kemungkinan yang akan ditawarkan atau terbuka untuk mereka setelah ini? Apakah akan seperti lokakarya-lokakarya pada umumnya? Yang menyala dan membara hanya selama peristiwa berlangsung dan meredup setelahnya? Dalam sebuah percakapan di telepon, 1 minggu setelah acara ini berakhir, saya menghubungi Komang Adi. Ia berbagi tentang rencana untuk meneruskan proyek Rooted bersama 3 koreografer lainnya. Proses kolaborasi dan penciptaan Rooted yang awalnya berangkat dari kegelisahan personal masing-masing, membuat Komang Adi, Ayuni Praise, Eka Wahyuni, dan Yezyuruni Forinti ingin membawanya lebih jauh dan mendiskusikannya ke panggung-panggung yang lain. Sebagaimana yang Joned Suryatmoko sampaikan di hari pembukaan, Temu Seni Tari Indonesia Bertutur adalah soal perjumpaan, pertukaran dan jaringan. ketiga hal tersebut adalah nyawa dari laboratorium seni ini yang mengajak peserta untuk menguji ulang sebuah gagasan, sebagai katalis untuk kekaryaan mereka di masa depan.
Dalam sebuah obrolan dengan Pebri Irawan, ia menyampaikan pada saya bahwa ia terkesan dengan pilihan nama Indonesia Bertutur, yang menurutnya begitu personal untuk orang-orang Indonesia. Tutur, tuturan, tradisi lisan adalah metode yang familiar bagi orang Indonesia dalam hal mewariskan dan mewarisi kebudayaan. Menjaga tradisi tutur juga adalah sebuah pernyataan bahwa merawat tradisi dengan cara lisan, tidak lebih inferior dari tradisi tulis. Ia tak berambisi pada authorship atau kepengarangan. Ia membiarkan dirinya menjadi milik kolektif. Temu Seni Tari Indonesia Bertutur yang bagi saya terlalu singkat sebagai sebuah laboratorium eksperimen seni, setidaknya mengajak peserta untuk tidak hanya menerima cagar budaya sebagai warisan terberi. Sebagai seniman, pasa peserta diajak untuk merefleksikannya dengan konteks hari ini tanpa menafikan fungsinya di masa lalu. Merawat sebuah peninggalan bersejarah, tak bisa berhenti hanya dengan menjaga keberadaannya secara fisik. Dalam konteks seni, pembacaan dan refleksi ulang atasnya secara artistik, salah satunya melalui tubuh dan gerak, juga termasuk upaya untuk merawat dan memperpanjang usia cagar budaya itu sendiri. [T]
[1] Ke-18 peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 adalah Alisa Soelaeman (Jakarta), Ayu Anantha (Bali), Ayu Permata Sari (Lampung), Ayuni Praise (Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur), Bagus Bang Sada (Bali), Bathara S. Dewandoro (Jakarta), Eka Wahyuni (Yogyakarta), Ela Mutiara (Yogyakarta), Gede Krisna (Bali), I Komang Adi Pranata (Bali), Krisna Satya (Bali), Kurniadi Ilham (Jambi), Mekratingrum Hapsari (Surakarta), Pebri Irawan (Yogyakarta-Riau), Priscilia R.E Rumbiak (Jayapura), Puri Senja (Surabaya), Razan Wirjosandjojo (Surakarta), Yezyuruni Forinti (Jailolo, Maluku Utara)