Geguritan Cetrung sangat familiar di telinga saya karena sewaktu saya SD saya sudah diajak menyanyikan lagu sederhana ini oleh almarhum Bapak Ngurah yang waktu itu menjadi wali kelas saya di kelas 5.
I Cetrung ini dinyanyikan dengan menggunakan pupuh Sinom. Dalam geguritan ada berbagai macam pupuh. Sinom hanya salah satunya saja. Biasanya setiap pupuh memiliki nada-nadanya sendiri, dimana nada pada setiap pupuh tersebut mewakili suasana hati atau penekanan rasa yang ingin disampaikan.
Misalnya saja, kalau ingin menyampaikan suasana hati sedih atau mendayu, cocoknya maskumambang misalnya. Sedang Sinom biasanya digunakan sebagai pembuka. Setiap geguritan, biasanya mengandung banyak pesan yang sarat akan makna kehidupan.
Begitulah cara leluhur di Nusantara dan Bali khususnya dalam menyampaikan tutur kehidupan kepada keturunannya dengan metode yang sederhana agar mudah untuk diingat.
Geguritan adalah salah satu jenis tembang atau nyanyian tradisional yang dinyanyikan dengan tehknik macepat atau membaca empat. Maksudnya adalah setiap empat suku kata, kita bisa mengatur nafas, sekaligus membuat variasi nada naik turun sesuai dengan keinginankan. Variasi nada ini biasanya disebut ngileg.
Namun tidak boleh sembarang ngileg, ilegan nada harus mengikuti reng dan purwakanti, sehingga awal dan akhir nada dapat sesuai dengan nada.
Kembali ke topik, saya tidak akan terlalu banyak membahas tentang tehknik maupun pupuh, karena saya sendiri baru belajar. Yang ingin saya bahas adalah isi dari geguritan I Cetrung ini. Begini kira-kira lirik atau sastranya:
Ring carike sane linggah,
Pantun nyane sampun kuning,
I Cetrung ngelah pianak,
Nanging kantun alit-alit,
Rauh sang mederbe carik,
Sane benjang jagi durus,
Kaanyi pantun punika,
I Cetrung sedih ngurimik
Ratu agung,
Kudiang jani baan medaya.
Terjemahannya:
Padi sudah kuning
I Cetrung (burung) punya anak
Namun masih kecil-kecil
Datang petani yang punya sawah
Besok akan jadi
Dipanen padi itu
I Cetrung sedih mengeluh
Ratu Agung
Bagaimana sekarang mengakali
Awalnya, saya mengira pesan yang ingin disampaikan biasa-biasa saja. Menceritakan kesedihan seekor burung Cetrung yang memiliki anak yang masih kecil-kecil dan menggantungkan dirinya mencari makan di sawah yang akan segera dipanen.
Namun setelah diulas lebih lanjut bersama beberapa saudara di banjar yang saat ini sedang belajar megeguritan, ternyata makna yang terkandung di dalamnya sangatlah dalam.
Tembang ini ingin mengingatkan kita bahwa kita semua saat ini hidup dalam dunia yang begitu luas (carik sane linggah). Namun kita sering lupa waktu terus berjalan dan membuat kita semakin beranjak tua (pantunnyane sampun kuning). Kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput.
Dalam pupuh ini diceritakan sang kala adalah petani pemilik sawah. Sebelum sang kala menjemput dan selagi anak-anak masih kecil, belajarlah kebaikan atau dharma Belajarlah mengenai kehidupan agar kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat bagi kehidupan.
Setidaknya bagi diri dan keluarga, sebelum akhirnya nanti menyesal seperti I Cetrung yang tidak lagi dapat berbuat apa-apa karena waktunya sudah habis dan panen segera dimulai. Sementara anak-anaknya masih kecil-kecil, dan sarangnya ada di batang padi.
Mudah-mudahan tembang ini dapat menjadikan pengingat bagi saya. [T]