KITA ADALAH PENDATANG ASING
Masih saja kita tergeriap waktu. Membaca tugas-tugas yang lewat. Menggelontorkan kesah pada sepatu usang. Sebentar lagi berangkat menuju jalan. Menuju mimpi yang belum tentu.
Di sini tubuh-tubuh telah koyak. Persetan pada aturan setajam sembilu. Namun tetap saja tak berkutik. Perut keroncongan menjadi cambuk menghantarkan langkah yang seok. Keadaan apakah akan berubah?
Waktu selalu berputar di dunia yang asing ini. Minggu pagi mengetuk pintu dan jendela rumah. Tamasya omong kosong, lewat begitu saja. Pikiran ini masih lelah. Hari Senin seolah sudah di depan mata. Mengajak sepasang sepatu meluncur di atas jalanan beraspal; kelu. Tak bisa mulut ini bicara. Atau hanya senyum tipis membingkai pagi yang buta.
Kaliwungu, 2022
DI KAMPUNG
Ada yang tumbuh lebat di halaman setiap rumah kita. Tidak hanya pohon mangga arum manis. Di kepala kita menjadi stasiun kereta, tempat lalu lalang keinginan. Membelukar seperti rerumputan yang sekonyong-konyong tumbuh di sela-sela ratapan.
Tak ada yang tahu jerit itu. Tak ada yang tahu, ada apa di balik pintu-pintu yang terkunci. Pintu di balik pohon mangga yang entah kapan berbuah saban hari. Hanya saja, desir menghantam setiap daun-daunnya hingga gugur berserakan. Belum sempat dibersihkan, halaman becek oleh hujan. Siapa yang mengirimnya. Mungkin tuhan yang baik di atas sana.
Tiba-tiba ada yang berbisik tentang harga-harga yang melambung tinggi. Menyentuh lantai-lantai kamar hingga berderit tak berkesudahan. Malam semakin sepi. Halaman semakin kotor dan becek oleh serpihan daun mangga dan air comberan bekas hujan.
Rumah ditinggal penghuninya. Entah sampai kapan pemiliknya akan kembali segera.
Kaliwungu, 2022
PIATU
Air suci dalam kuil ibu. Merituskan doa-doa. Mengangkasa menuju harap. Ketiadaan. Hujan yang berbalut musim. Seorang bayi menangis telanjang. Senyum ibu seperti surga yang asing. Dan bapak mondar-mandir entah sibuk berpikir apa.
Mulai berjalan. Mengerti artinya tertatih. Tangan-tangan menggapai sayang. Hilang perlahan, menghilang tiba-tiba. Siapa lagi di ujung sana. Dengan senyum dan genggaman tangan. Tak ada, tak kulihat jelma di bening mata.
Seperti kesiur angin. Menebas kehidupan hingga koyak di setiap penghujung mimpi; tiada. Tak ada yang dimengerti. Waktu bergulir. Tubuh-tubuh menguap seperti embun. Meninggalkan daun. Masih saja seperti itu. Berputar dan menuju titik nol tanpa ragu.
Kaliwungu, 2022
_____
Klik untuk baca puisi-puisi lain….