“Gugurkan saja!”
Suara berat Danu memecah keheningan kala senja itu. Langit belum sepenuhnya menghitam. Guratan-guratan cakrawala yang kemerahan masih menghias bilik peraduan surya yang hendak beranjak tidur.
Gadis di hadapan Danu membalas dengan tatapan nanar. Sebentar saja air mata itu akan terurai bagai hujan deras tak terbendung.
“Ini darah dagingmu. Leluhurmu yang kembali meminta segenggam nasi,” kata Gayatri, gadis itu.
“Leluhurku? Apa benar kamu hanya tidur denganku, bukan yang lain?”
Gayatri sekonyong-konyong kaget mendengar pertanyaan kekasihnya. “Aku berani bersumpah demi Sang Pencipta, hanya ada kamu seorang. Tiada yang lain, sungguh,” ucap Gayatri. Ia tak menyangka Danu serendah itu menilai dirinya.
“Aku belum siap menikah,” tandas Danu.
“Dasar laki-laki pecundang!” teriak Gayatri, suaranya semakin serak saja.
Namun Danu tak menggubris. Dia hanya berlalu pergi. Sosoknya secepat kilat menghilang dari tatapan Gayatri yang telah samar, tertimbun air mata.
Yah, Danu tahu. Tentu saja itu darah dagingnya sendiri, bukan yang lain. Hanya saja setidaknya biarkan kali ini dia mengelak barang sedetik, meski sia-sia belaka dia menyangkal. Perdebatan itu tetap tak berujung seperti minggu-minggu sebelumnya.
Danu selalu enggan membahas hal ini. Bukannya dia tidak mencintai Gayatri, bukan pula dia ingin meregang tanggung jawab. Dia tak punya pilihan apa pun. Menikahi Gayatri, berarti dia harus siap dengan mahar dua ekor sapi, sebagaimana tradisi turun-temurun di kampungnya.
Kampung itu kampung kecil yang tak jauh dari kaldera gunung. Gunung suci yang sudah turun temurun dianggap penduduknya sebagai surga para leluhur. Tradisi itu kuat dijaga dalam balutan aturan ketat yang tidak bisa dibantahkan.
Aturan tersebut begitu menyiksa bagi dirinya yang hanya seorang buruh tani. Bukan petani, tetapi buruh tani. Bagaimana bisa dia membayar mahar itu, alih-alih untuk makan pun dia harus mencukup-cukupkan upah.
Lagi pula setelah menikah nanti, apa dia akan bisa menghidupi kekasih dan anaknya itu dengan layak?
Berhutang? Apa yang bisa dia gadaikan? Ia hanya punya sepeda motor tua serta sepetak gubuk kecil yang bahkan tak layak sebagai jaminan hutang. Dia benar-benar pusing.
Malam sudah larut, namun pikiran Danu masih terjaga pada keadaan Gayatri. Apa susahnya menggugurkan? Gayatri anak orang berada, sementara dirinya hanya seorang pemuda yatim-piatu yang ditinggal entah ke mana oleh kedua orang tuanya.
Sejak kecil Danu diasuh oleh nenek. Namun empat bulan lalu, nenek yang sangat dia cintai dan satu-satunya yang ia punya telah berpulang. Bersamaan dengan kehadiran Gayatri yang datang secara diam-diam memperlihatkan hasil test-pack bergaris dua.
Gadis itu memberikan kabar kehamilannya tepat sesaat setelah pemakaman neneknya yang sangat sederhana baru saja usai dilakukan di gunung suci.
***
Sementara itu di kamar, Gayatri masih menangis. Mata gadis malang itu tampak sembab. Dia tidak berani bercerita kepada siapa pun mengenai kondisi kehamilannya. Dia takut akan murka kedua orang tuanya, terutama Bapak.
Bapak tak pernah menyetujui hubungan mereka, hanya karena Danu seorang pemuda miskin.
“Masih banyak pria lain di luar sana yang pantas untuk menyandingmu, yang bahkan sanggup membayar lebih dari sekedar mahar dua ekor sapi.”
Tetapi tentu saja, cinta telah membutakan Gayatri. Dia tetap diam-diam menemui Danu. Memeluk dan bercumbu mesra dengan pemuda itu di gubuk kecil yang sepi, di balik pematang sawah dengan belukar. Bernaung dalam rimbunan pohon mahoni.
Hasrat kedua muda-mudi itu tak tertahankan. Hanya langit yang menjadi saksi saat Danu mulai menanam benih di dalam rahim Gayatri. Awan berarak menutupi cahaya matahari. Seolah tak membiarkan sang raja siang itu bercelah untuk mengintip, meski malu-malu.
Gayatri sangat menyesal. Pun kata maaf tak akan mengubah segalanya. Haruskah dia gugurkan? Tetapi tiba-tiba perutnya seolah berdenyut. Hingga lelap malam ia bermimpi menggendong seorang putri kecil yang sangat manis. Dalam jaganya niat itu pun urung. Sungguh dia tak sanggup membunuh buah hati itu.
Namun bagaimana bisa Danu, yang telah membuatnya jatuh cinta, yang telah menumbuhkan benih itu, dengan gampangnya berkata demikian? Kemana selama ini Danu yang ia kenal? Danu yang selalu membelainya lembut. Danu yang tak pernah memberinya air mata. Kini telah menjadi Danu yang lain.
Pagi itu, Danu naik angkot menuju pusat kota yang jauh dari kampungnya. Dengan mengenakan celana jeans rombeng, kaos berjaket yang warnanya telah pudar, dia berjalan menyusuri area pasar yang tampak sangat ramai.
Hatinya mantap untuk berusaha mendapatkan uang agar bisa membayar mahar menikahi Gayatri. Niat meminta Gayatri menggugurkan janin mereka, kini dia buang jauh.
Semalam dia bermimpi, neneknya datang meminta sepiring nasi kepadanya.
“Nak, di gunung ini nenek lapar. Bolehkah nenek pulang dan meminta makanan padamu? Walau hanya sepiring nasi pun tak mengapa.” Kata neneknya dalam mimpi itu.
Mimpi itu membuatnya tersentak kaget. Jam menunjuk pukul 2 dini hari. Bulu kuduknya merinding.
Dia menjadi yakin bahwa janin yang dikandung Gayatri, tak lain adalah mendiang neneknya yang ingin terlahir kembali, dengan pertanda mimpi itu. Setidaknya begitulah kata tetua-tetua di kampung.
Dilihatnya beberapa orang yang sedang menurunkan beras dari mobil pick-up ke dalam sebuah toserba. Danu menghampiri menawarkan jasa. Namun dia menerima penolakan.
Danu tidak menyerah, dia mencoba mencari hal yang sekiranya bisa dia kerjakan. Tapi meski siang telah menjelang, tak satu pun pekerjaan didapat.
“Ternyata sulit sekali mencari pekerjaan di kota,” Begitupikirnya. Kota tidak segemerlap yang dia bayangkan.
Pemuda gunung itu kemudian duduk menyandarkan tubuh dengan putus asa di bawah sebatang pohon palem tepi jalan. Keringat menetes di kening, dan perutnya lapar sekali. “Aku harus secepatnya mengumpulkan uang untuk membeli mahar agar bisa menikahi Gayatri,” gumamnya.
Sekejap saja niat tersebut menjadi niatan buruk yang membakar habis pikiran pemuda berusia 24 tahun itu. Membuat dirinya tak ada waktu untuk memilah lagi. Maka ia pun berlari cepat sembari menyambar tas seorang ibu yang berjalan tepat di depannya. “Copeeettt…!!!”
Orang-orang spontan heboh mengejar. Dia kini bagaikan seekor rusa dalam buronan para singa yang mengamuk. Tubuh kurus itu melaju cepat. Tak tentu arah, tak tau tujuan.
“Cepat tangkap copet itu!”
Seru-seruan orang-orang terdengar semakin riuh.
Danu memacu, kemanapun kaki mengajak berlari, yang penting tidak tertangkap. Sebentar lagi dia akan sampai di ujung jalan sana. Orang-orang masih terus mengejar. Berusaha mengungguli kecepatan lari pemuda itu.
Tepat di ujung jalan, Danu menoleh sekilas. Dirinya sudah terkepung, dari arah belakang, kanan, dan kiri. Satu-satunya cara meloloskan diri hanyalah berlari maju menyeberangi jalan raya kota yang padat di hadapannya. Tertangkap atau mati?
Jika tertangkap dia akan dipenjara, sama saja dia tidak akan dapat menikahi Gayatri dengan kandungan yang akan semakin membesar. Lagi pula uang untuk mahar belum juga terkumpul.
Sementara jika dirinya memilih maju ke jalanan padat di depannya, ada kemungkinan dia mati tertabrak. Tetapi tentu, dia akan mati dengan cara yang lebih terhormat di mata Gayatri.
“Gayatri, jika benar nilai manusia jauh melebihi harga dua ekor sapi, maka jadikanlah nyawaku ini sebagai maharmu yang paling mahal.”
Danu masih memandang kepungan orang-orang.
“Untuk anak kita. Mungkin aku takkan sempat memberi sebuah nama, atau mencium keningnya. Mungkin juga bukan aku nanti yang mendendangkan dia dengan bait-bait kidung sebagaimana tradisi di desa kita. Namun setidaknya dengan begini, aku bisa lebih baik di mata kalian.”
Pemuda itu kini menatap tas dalam genggaman.
“Ceritakanlah pada anak kita nanti, bahwa aku pun mencintainya. Aku bukan lagi Danu, seorang pecundang…”
Danu menarik nafas. Memberi kepasrahan pada langit untuk memutar kembali alur takdir.
Danu menggenggam erat tas kulit di tangan. Dalam pikirannya hanya uang mahar untuk Gayatri. Hal itu mendorongnya sangat kuat untuk berani bertaruh nyawa dengan menerobos maju. Sosok itu tanpa ragu berlari, melibas jalan raya yang padat di hadapannya.
Sebuah bus pariwisata melaju kencang ke arah Danu yang tengah berlari. Hal itu terjadi sangat cepat. Sopir bus yang kaget tidak sempat mengerem. Pengendara lain membunyikan klakson bersahut-sahutan dengan nyaring.
Tabrakan tak ayal terjadi. Orang-orang yang mengejarnya tentu tak kalah kaget. Mereka tidak mengira pencopet itu akan bertindak sangat nekat, hingga jazad itu hancur meregang nyawa dan berdarah-darah.
Tak lama kemudian, raungan sirine mobil polisi bersahut-sahutan bersama dengan bising suara ambulance. Jalanan menjadi semakin macet. Polisi membentangkan garis kuning, dan rute jalan pun dialihkan. Sebentar saja media sudah heboh memberitakan kejadian itu.
***
Gayatri masih termenung di dalam kamar. Sejam yang lalu, tanpa sengaja dia memecahkan gelas. Puing-puing gelas berserakan. Merobek sedikit ujung kaki. Membuatnya spontan meringis tanpa suara.
Seharian itu entah mengapa ada rasa gundah yang tak biasa, mengalir dalam nadi gadis itu. Bahkan perutnya berkali-kali berdenyut hingga Gayatri merasa nyeri. Seolah ada hal yang janin itu hendak sampaikan. Gadis itu bersandar di dinding tembok ruang tamu, mematung sembari mengelus-elus perutnya yang masih belum tenang.
Tiba-tiba sirine ambulace membuyarkan lamunan. Disingkapnya gorden. Dari sana Gayatri melihat orang-orang tengah ramai di jalanan. Hati gadis itu bergetar. Kekhawatiran menjalar kembali, kali ini terasa lebih jelas. Dia bergegas keluar, mengikuti orang-orang menuju sebuah rumah, dengan tidak bertanya sepatah kata pun.
Tanpa sebab yang dirinya pun tak tau mengapa, pikirannya seolah sudah menerka skenario terburuk yang telah terjadi. Tiba-tiba air mata Gayatri jatuh dengan deras. Air mata itu menetes-netes sesaat setelah dirinya melihat seonggok jenazah yang berbalut kain kafan putih.
Ada bercak darah yang meluber keluar, mengeluarkan aroma segar. Jenazah itu diturunkan oleh para petugas tepat di depan pintu rumah seseorang yang sangat dia kenal. “Danu!” [T]
Bali, 10 Juli 2022
_____