Program terakhir Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur pada Rabu, 20 Juli 2022, ialah Performance dan Makan Malam : Koreografi Patus (Memasak Khas Bali) “Be Cundang dan Tradisi Tajen di Bali.
Program ini dipandu oleh I Putu Suiraoka yang merupakan seorang ahli gizi, patus, dan akademisi serta ditemani oleh Carma Citrawati seorang sastrawan.
Pukul 18.30 Wita kawan-kawan peserta Temu Seni Tari sudah berkumpul di restoran Amatara Agung Raka. Mereka duduk di kursi, yang komposisi keseluruhannya berbentuk U.
Tampak ada yang berpangku tangan, matanya kosong memandang entah, ada juga duduk tegak, ada yang duduk santai sambil bersandar pada kursi. Mereka mungkin lelah, saya katakan mungkin ya, sebab dari pagi hingga sore, kawan-kawan berbagi metode latihan, sembari mempraktekkan bersama-sama. Kendati tawa dalam latihan tetap hadir, namun mungkin saja energi tubuh sudah terserap utuh.
Tapi tenang saja, tubuh kawan-kawan peserta akan diberikan asupan gizi oleh I Putu Suiraoka, dengan masakan be cundang-nya. Sementara kawan-kawan duduk, lampu restoran mati.
Mulailah performance dengan cuplikan video di layar, dua orang sedang memasang taji di kaki ayam petarung. Satu sedang mengikat tali, satu lainnya merangkul ayam agar tubuhnya tidak banyak bergerak. Gambar melompat ke arena tarung tajen, atau biasa disebut Kalangan Tajen. Ada puluhan orang sedang menonton, dan mencari lawan untuk bertaruh, samar terdengar “gasal,gasal,gasal, cok, cok, cok, cok” pada video.
Foto: Carma Citrawati (tengah), I Putu Suriaoka (kanan), Bli Ceking asisten Pak Putu (kiri)
Kemudian, lampu menyala. Putu Suiraoka, Carma Citrawati, dan satu orang asisten Pak Putu sudah duduk lesehan, di bawah meja. Mereka mulai berbincang soal Be Cundang.
“Bli Putu, lagi ngapaen ini?” kata Carma.
“Sedang mempersiapkan bumbu untuk Be Cundang,” kata Putu sambil memotong lengkuas
Terdengar bunyi dari blakas yang mengenai tubuh talenan, temponya konsisten, tidak berjeda, kecuali ia hendak mengambil bahan untuk dirajang. Pak Putu sesekali juga turut membantu merajang, tangannya bergerak seperti sudah hapal jarak jari, terhadap mata blakas, serta ukuran tipis potongan lengkuas.
Matanya sesekali menoleh ke penonton, atau ke Carma yang sedang menjelaskan Be Cundang kepada peserta.
Carma menjelaskan ada sejumlah konsep adu ayam di Bali, seperti tabuh rah dan tajen. Biasanya tabuh rah diadakan dalam rangka piodalan atau upacara di pura, sementara tajen adalah petarungan ayam yang masih dilakukan namun sembunyi-sembunyi. Karena sifatnya taruhan, dan sudah diilegalkan oleh pemerintah.
Foto: Proses ngerajang
Carma mengakui untuk menemani Pak Putu dalam acara memasak ini, ia sempat datang ke arena tajen, serta menanyakan berbagai hal terkait jalannya pertarungan, terutama soal taruhan.
“Ada berbagai taruhan yang saya jumpai, ada 80:20 ada 60:40 ada 50:50 dan lain sebagainya, pokoknya banyak jenis perbandingannya,” jelas Carma kepada peserta
Sementara Pak Putu Suiraoka menjelaskan bahwasannya masyarakat Bali mengenal ayam petarung dan adapula ayam pedaging. Ayam pedaging yang biasanya dijumpai di pasar, usianya sekitar 5-6 bulan sudah dijual atau di masak untuk olahan makanan. Sementara ayam petarung biasanya usianya 2 tahunan, serta perlakuan pemeliharaannya pun berbeda, sehingga dagingnya terasa alot karena komponen ototnya lebih banyak daripada lemak.
Foto: Peserta melihat demo memasak
Foto: Pak Putu Suiroka menjelaskan apa itu be cundang
Pada petarungan tajen, ayam yang kalah aduan dapat diolah, menjadi masakan be cundang, atau gerang asem kuah, atau nyatnyat (kering-tanpa kuah ). Be artinya daging. Cundang kurang lebih memiliki arti yang sama dengan “Pecundang” – pihak yang kalah. Menurutnya tajen saat ini adalah hal yang ilegal, karena termasuk kriteria perjudian, tapi makan be cundang (ayam yang kalah aduan) itu sampai saat ini masih legal.
Carma kemudian bertanya :
“Apa beda ayam petarung dengan ayam pedaging, mana yang lebih enak?” tanya Carma
“Tunggu sebentar, tolong dihidupkan kompornya ya, sambil kita ngobrol, biar semua jalan,” ujar Pak Putu kepada salah satu asistennya.
Di belakang Carma dan Pak Putu, ada meja panjang, di atasnya terdapat berbagai bahan untuk memasak, lengkap dengan kompor, talenan, mangkok keramik berbagai ukuran, mangkok plastik tempat bumbu, panci serta penggorengan.
Kemudian Pak Putu melanjutkan, ada beberapa hal yang menyebabkan ayam cundang memiliki rasa lebih enak dibanding ayam pedaging.
Pertama, ayam aduan memiliki komposisi tubuh yang spesial, karena makanannya spesial, memiliki lebih banyak otot akibat latihan dan sering di-gecel (pijat). Kandungan proteinnya lebih tinggi dan lemaknya lebih rendah yaitu 37,9 gram dengan 9 gram lemak.
Kedua, proses kematian ayam aduan, biasanya dengan proses mendadak dalam keadaan sedang bertarung, sehingga menyemburkan darah dengan cepat, hal ini akan mengurangi rasa amis dari daging.
Ketiga, karena matinya mendadak, tubuh ayam akan kaku, dan dalam pengolahannya akan membutuhkan waktu memasak lebih panjang. Dengan proses memasak lebih lama ini, menyebabkan protein daging akan terpecah pada komponen yang lebih kecil yaitu asam amino. Asam amino inilah yang memberikan rasa yang khas dan enak pada daging, terutama asam amino glutamat.
Foto: Puri Senja – Surabaya turut membantu memasak
Sejurus kemudian, peserta dipersilakan untuk mendekati meja panjang, untuk mendengarkan cerita, serta sesekali membantu Pak Putu untuk memasak ayam nyat-nyat. Acara masak-masak ini menghadirkan 4 menu utama, Kuah, Nyatnyat, Tum, dan Ayam suir dengan bumbu serundeng.
“Kenapa ayam yang kalah harus dimakan?” tanya Razan Wirjosandjojo peserta dari Surakarta
Pak Putu menjawab dengan lugas, bahwa dalam terma tajen, ayam kalah tidak mesti dimakan, karena ada bentuk kalah yang digunakan. Kalau ayam jerih (ketakutan dari lawan) juga disebut kalah, kalau ayam luka lalu lari juga disebut kalah. Ayam luka biasanya diobati, kemudian jika sembuh dia difungsikan sebagai pejantan untuk menghamili ayam betina.
Harum rajangan bebungkilan (rempah jenis umbi-umbian) sudah menyeruak ke seluruh celah di resto malam itu. Peserta memperhatikan masakan di atas meja demo.
Sejumlah peserta juga turut andil dalam memasak, Kurniadi Ilham, Puri Senja, Eka Wahyuni, De Krisna dan beberapa lainnya. Sementara Satu peserta – Ayu Permata Sari – Lampung, bertanya pada dirinya sendiri, apakah masakan yang terbilang sedikit itu, cukup untuk semua peserta?
Seolah menjawab pertanyaan Ayu, Bli Putu mengatakan:
“Mari kita makan, masakan ini sudah saya siapkan dari rumah, ada di belakang yang jumlahnya banyak,” ujarnya sambil ketawa.
Foto: Ayam suir bumbu saur (serundeng)
Seluruh peserta tertawa lega, sambil mengusap dada. Karena sebagian mengira bahwa mereka harus menunggu masakan hingga matang, barulah disantap beramai-ramai.
Selain hidangan be cundang, peneman minumnya tuak jaka. Lengkap sudah malam itu, dengan berbagai latihan tubuh, latihan energi, hingga hidangan yang disiapkan secara kolektif, setidaknya wacana dan tubuh kolektif yang bergerak dalam menyelesaikan hidangan. [T]
Foto: Pebri Irawan – Yogjakarta mencoba tuak jaka