Suara tetabuhan dari Sanggar Seni Selendro Agung, Banjar Saren, Desa Sibang Kaja, Kabupaten Badung, mengalun syahdu nan menyejukkan dalam Rekasadana (pergelaran) Gong Suling Inovatif serangkaian Pesta Kesenian Bali ke-44, di Taman Budaya Provinsi Bali, di Denpasar, Senin (4/7/2022).
“Tabuh yang kami tampilkan ini merupakan garapan baru yang terinspirasi dari gamelan Leko yang terdapat di Desa Sibang Gede,” kata I Wayan Muliadi, Ketua Sanggar Seni Selendro Agung.
Barungan gamelan baru yang terdengar syahdu ini dinamakan Gamelan Selendro, dengan menggabungkan antara Gamelan Semara Pagulingan dengan beberapa instrumen alat musik bambu seperti tingklik dan jegog, serta didominasi dengan para pemain suling.
Meskipun dinamakan Gamelan Selendro, ujar Muliadi, tidak semua tabuh yang dimainkan berlaras selendro, tetap ada juga yang berlaras pelog.
“Kami lebih menekankan pada permainan rasa. Berbeda sekali dengan teknik gamelan gong kebyar dan semara pegulingan. Gamelan atau tabuh ini lebih menggunakan rasa. Jadi, pukulannya tidak boleh terlalu keras dan tidak boleh terlalu lemah. Yang jelas kita dapat merasakan alat yang dimainkan,” ujarnya.
Oleh karena terinspirasi dari nuansa gamelan tari Leko, sehingga dalam garapan yang ditampilkan sengaja menggunakan sejumlah instrumen bambu.
“Tari Leko itu adalah kesenian klasik dan saat ini sudah minim peminatnya, sehingga dari sana kami mencoba menggali kembali menjadi gubahan baru,” ucap Muliadi.
Sanggar yang telah berdiri sejak lima tahun lalu itu, dalam pementasan di Pesta Kesenian Bali melibatkan 26 penabuh, tiga penari, dua orang sebagai gerong dan satu orang sebagai sendon.
Pementasan yang berlangsung sekitar satu jam itu berhasil memukau dan mengundang decak kagum para penonton yang memenuhi Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali.
Ada tiga tabuh yang dibawakan dengan apik, yakni Tabuh Temuku Aya, Tembang Tegal dan Gegirang. Khususnya, Tembang Tegal, terinspirasi dari gending sesandaran Barong Landung khas Desa Tegal sampai Desa Blahkiuh yang telah menjadi warisan budaya hingga saat ini.
Suasana pergelaran makin hidup, ketika para penembang juga membawakan dialog mengenai pentingnya untuk memuliakan air sesuai dengan tema Pesta Kesenian Bali ke-44, Danu Kerthi Huluning Amreta, Memuliakan Air Sumber Kehidupan.
“Iya semua yang kami tampilkan memang mengacu kepada tema. Temuku Aya misalnya, berfungsi sebagai saluran irigasi air primer yang berfungsi sebagai saluran utama untuk memecah arus air pada sistem subak,” ucapnya.
Berpijak pada fenomena tersebut, pihaknya mentransformasikan ke dalam sebuah penataan komposisi karawitan gong suling inovatif dengan mengolah unsur musikalnya sebagai transformasi dari fenomena arus air.
Selain menampikan tiga tabuh, di tengah-tengah pementasan disajikan tari Legong Kreasi Sulukat. Sulukat berasal dari kata “su” yang berarti baik dan “lukat” yang berarti penyucian. Umat Hindu sering menyebut dengan “melukat” yakni pembersihan diri dari unsur mala dengan menggunakan media air suci.
Pada garapan yang dibawakan oleh tiga penari wanita itu menginterpretasikan karakter air segara (laut) yang bergelombang nan-keras dan air gunung yang lebih tenang nan-gemericik.
“Dua air tersebut kemudian dilakukan upacara penyucian atau pemuliaan sehingga menjadi Tirta Segara Gunung yang dipercaya oleh umat Hindu mampu membersihkan segala mala yang ada pada jasmani dan rohani manusia,” kata Muliadi.[T][Ado/*]