Budayawan I Nyoman Windha berpandangan Pesta Kesenian Bali (PKB) selama ini telah menjadi wadah bagi bangkitnya para komposer muda untuk menuangkan ide-ide brilian dan menghasilkan karya-karya terbaiknya.
“Eksistensi karawitan Bali dalam PKB itu luar biasa, dari sanalah timbul komposer muda yang banyak mempunyai ide-ide yang brilian,” kata Windha saat menjadi narasumber sarasehan serangkaian PKB ke-44 di Denpasar, Kamis, 30 Juni 2022.
Windha, salah satu komposer kenamaan Bali ini hadir bersama Prof Dr Pande Sukerta menjadi narasumber dalam Widyatula (sarasehan) Seni Karawitan “Bunyi Banyu dan Prakempa” yang digelar secara daring.
Melalui ajang PKB yang telah digelar sejak tahun 1978 itu, menurut Windha, menjadikan para komposer atau komponis di Pulau Dewata telah berkarya, tidak saja untuk di forum provinsi, juga sudah disiapkan dari di tingkat kabupaten/kota.
“Tantangan ini memberikan kesempatan kepada komposer untuk menunjukkan jati dirinya, prosesnya, kemudian karya-karyanya yang terbaik. Yang tampil di PKB adalah mereka yang terbaik dan sudah melalui proses seleksi,” ucapnya.
Windha yang kerap berkolaborasi dengan para seniman dari berbagai negara itu juga menyebut kecenderungan penonton PKB tidak pasif.
“Memang ada yang menonton hanya untuk sekadar kesenangan, namun juga yang memang lebih khusus, yang ingin tahu apa yang ada di balik karya,” kata pendiri Jes Gamelan Fusion ini.
Terkait dengan tema pelaksanaan PKB ke-44 yakni Danu Kerthi Huluning Amreta, Memuliakan Air Sumber Kehidupan, kata Windha tidak secara spesifik ada alat musik Bali yang bisa menginterpretasikan air.
“Hal ini tergantung kemampuan dari para seniman untuk memilah dan mengolah. Musik harus digarap, apa saja yang bisa mencerminkan air. Jadi, tergantung dari para seniman bisa menyesuaikan alat dan bisa membuatkan alat agar menimbulkan suara seperti air,” kata Windha.
Dalam kesempatan itu, Windha yang saat ini menjadi dosen tamu di ISI Denpasar juga mengulas mengenai garapan kolosal ansambel Gambyuh Agung yang ditampilkan ISI Denpasar pada acara Peed Aya (pawai) PKB ke-44.
“Gambyuh Agung mengingatkan kita semua pada upaya mengalirkan gagasan tanpa henti bagaikan aliran air tanpa batas. Tanpa air, jelas semua makhluk tidak akan bisa hidup,” ucap penggarap Gambyuh Agung ini.
Oleh karena itu, Windha mengajak masyarakat agar berikrar sebagai gerakan bersama untuk tetap melindungi sumber-sumber mata air.
“Kita rawat bersama untuk kesejahteraan seluruh makhluk hidup di bumi. Mari saling mengingatkan tetap menjaga mata air sebelum air mata bercucuran,” katanya.
Gambyuh Agung, lanjut dia, menjadi momentum penyadaran bersama, sekaligus simbolisasi merawat sumber untuk dialirkan agar hidup subur, tumbuh merekah, dan bermakna dalam kehidupan.
Sementara itu, dosen Jurusan Karawitan ISI Surakarta Prof Dr Pande Sukerta mengatakan air sebagai salah satu sumber bunyi yang dapat digarap dengan memperoleh sentuhan kreatif dari para seniman.
“Air awalnya bukan bagian atau unsur dari karya seni karawitan atau musik, tetapi air sebagai bagian dari lingkungan atau konteks. Lingkungan yang di dalamnya terdapat air bisa digunakan sebagai latar belakang dari sebuah pertunjukan jenis kesenian tertentu,” ucapnya.
Dalam perkembangan seni sekarang, air dapat merangsang untuk digunakan menjadi media ungkap karya seni musik sehingga kedudukan air di sini mengalami perkembangan fungsi, yaitu sebagai bagian dari teks (karya seni).
Sukerta mengharapkan agar karya-karya seni yang terkait dengan air juga bisa ditampilkan di hotel-hotel, misalnya dengan memposisikan kolam renang tidak saja sebagai tempat berenang, namun juga menjadi panggung pertunjukan. [T][Ado/*]