“Do Kak Sek”. Begitulah panggilan akrab I Dewa Kompiang Pasek, seniman yang lahir di lingkungan Banjar Gede, Desa Batuan, Gianyar, pada tahun 1920.
Jejak tokoh yang terlahir di desa seni menjadikannya salah satu seniman, guru “suling” khususnya bidang gamelan pagambuhan gaya Batuan. Tokoh seniman yang satu ini di eranya, sangat diseganni oleh sesama seniman, murid-muridnya karena kemampuan teknik dan pakem-pakem permainan sulingnya yang sangat mumpuni.
Secara tidak langsung kesenimanannya telah ambil bagian dalam usaha pelestarian, mengajegkan Gambuh Batuan dan selalu giat memotivasi generasi seniman muda Batuan agar tetap komitmen melestarikan kesenian Gambuh.
Dewa Kompiang Pasek | Dokumen: Koleksi Satriya Lelana, ca. 1993
I Dewa Kopiang Pasek multi talenta; menguasai semua gending-gending Gambuh gaya Batuan (juru suling), seorang pelukis, pembuat kuas lukisan (penuliyan), menguasai alat musik genggong, dan di rumahnya juga membuka bengkel sepeda.
Aktivitas kesehariannya itu dilakoni dengan penuh sabar, ulet dan tanggung jawab, yang diketahui memiliki karakter polos dan pendiam.
Kepiawaian bermain suling diperolehnya dengan berguru kepada seniman Batuan Ida Bagus Singset, dan bidang lukis berguru kepada I Made Djata-Batuan, dan gaya lukisannya juga mendapat sentuhan artistik sewaktu pelukis Rudolf Bonet bertandang ke rumahnya sekitar tahun 1950-an.
I Dewa Kompiang Pasek (alm.) semasa hidupnya pernah didaulat menjadi asisten dosen tidak tetap di perguruan tinggi Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar. Mengawali kiprahnya di dunia akademik ini pada tahun 1975-1980-an dengan beberapa seniman Batuan lainnya.
Di tahun 1982 bagian dari anggota Group Dharma Santi ASTI Denpasar bergabung dengan sekaa Gambuh Mayasari Pekandelan Batuan yang berkesempatan melawat ke negeri sakura-Jepang dalam misi promosi seni budaya Bali, yang salah satu materinya menampilkan pertunjukan Gambuh gaya Desa Batuan-Gianyar.
Di tingkat nasional, ia mengikuti pementasan Gambuh Mayasari Pekandelan-Batuan di Jakarta tahun 1978-an atas undangan Sukmawati Soekarno Putri, dan pengalaman tingkat lokal terlibat sebagai peniup/ juru suling dalam ajang Festival Gambuh se-Bali pada tahun 1961, dan sekaa Gambuh Batuan meraih juara I, pernah membina/ melatih Gambuh ke Desa Kedisan-Tegallang Gianyar, Desa Baturiti-Tabanan, dan Desa Pacung-Buleleng.
Kiprah bidang seni lukis, selain menjual lukisan ke art shop-art shop di lingkungan Batuan dan Ubud untuk menghidupi keluarganya, beliau juga kerap mengikuti pameran lukisan bersama diantaranya beberapa kali pameran lukisan di agenda Pesta Kesenian Bali (PKB), Sahadewa Painting Gallery-Batuan, Museum Arma Ubud, Museum Ratna Warta Ubud, Museum Neka Ubud, dan tempat lainnya.
Kecakapannya diwariskan melalui mendedikasikan ilmunya pada sekaa Gambuh Tri Wangsa, sekaa Gambuh Mayasari Pekandelan (1971), dan di sekaa Gambuh Kakul Mas-Batuan. Murid-murid beliau dalam bidang Gambuh mencakup dari belahan negara Jepang, Eropa, dan Amerika.
Atas jasanya mengabdi pada seni telah mendapatkan piagam dari The Japan Foundation pada tanggal 9 Desember 1982, Sekretaris Nasioanl Pewayangan Indonesia “Seni Wangi” pada tanggal 31 Juli 1983, penghargaan Wija Kusuma Kabupaten Gianyar diperoleh pada tanggal 1 Desember 2001 dan 20 Mei 2002.
Kini, walau ia telah tiada namun jejak juru suling Gambuh ini dapat kita saksikan atau dengarkan melalui tiupan merdu seruling-seruling para murid Kompiang Pasek yang senantiasa menebar benih generasi juru suling. [T]