Sekaa Gong Abdi Budaya Banjar Anyar, Desa Parean Kangin, Kecamatan Baturiti, Tabanan tampil di Parade Gong Kebyar Legendaris Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Selasa, 21 Juni 2022 malam.
Di Taman Budaya, Sekaa Gong Abdi Budaya tampil bersama Sekaa Gong Gunung Sari Peliatan, Ubud
Bukan hanya menyuguhkan tabuh-tabuh lawas garapan para maestro di masa lalu, sekaa gong dari Perean Kangin ternyata memainkan perangkat gamelan dan gong yang sudah sangat tua. Perangkat gong yang dimainkan itu punya riwayat panjang, sejak zaman Belanda hingga di zaman modern ini.
Koordinator Sekaa Gong Abdi Budaya I Wayan Tusti Adnyana usai pentas di Taman Budaya bercerita tentang riwayat gong yang dimainkan para penabuh tua dan penabuh muda dari Perean Kangin itu. Berdasarkan informasi yang ia peroleh dari I Made Biodana (Kelian Gong 1967-1999) bahwa Gamelan Gong Kebyar yang berada di Banjar Anyar, Perean Kangin itu, dulunya dimiliki oleh salah satu warga di Banjar Pesanggaran, Pedungan, Denpasar Selatan atas nama Mangku Wayan Sena.
Gamelan yang dimiliki oleh Mangku Wayan Sena sempat ditanam di Pura Petasikan Penepisiring, Pesanggaran, Pedungan dengan tujuan agar gamelan tidak dirampas oleh penjajah Belanda.
Setelah gamelen tersebut lama tertanam, timbulah niat dari Mangku Wayan Sena untuk menjual gamelannya dan informasi tersebut sampai ke masyarakat Banjar Anyar. Dengan adanya informasi tersebut, masyarakat Banjar Anyar mengadakan rapat banjar dan setuju untuk membeli gamelan tersebut.
Mangku Wayan Sena dengan masayarakat Banjar Anyar kemudian melakukan perjanjian jual-beli secara tertulis. Sehingga, mulai tahun 1942 gamelan tersebut menjadi milik masyarakat Banjar Anyar, Perean Kangin.
Gamelan yang dibeli waktu itu masih berbentuk barungan gamelan Bebarongan dan di Banja Anyar, gamelan ini dilebur dan diperbaharui kembali untuk dijadikan barungan Gamelan Gong Kebyar. Perangkat gong yang tidak ikut dilebur saat itu adalah perangkat instrument gong yang digantung.
Alasan masyarakat melebur barungan gamelan bebarongan tersebut adalah untuk kepentingan dalam upacara adat atau agama, misalnya gamelan itu agar tetap bisa digunakan untuk memainkan gending atau tabuh lelambatan yang memerlukan tambahan oktaf dari gamelan bebarongan.
Sampai saat ini masyarakat Banjar Anyar, Perean Kangin, sangat mengusung tinggi adat, budaya, dan tradisi yang sudah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan diwarisi oleh leluhur terdahulu.
Salah satu unjuk nyata masyarakat setempat, yaitu nyungsung Ratu Gede dalam wujud Gong Kebyar. Ratu Gede merupakan gamelan yang disucikan oleh masyarakat Banjar Anyar dan salah satu sungsungan masyarakat Banjar Anyar yang sama kedudukannya dengan tapakan yang berwujud Barong, Rangda, dan Pratima.
Ratu Gede dipuja oleh masyarakat Banjar Anyar sebagai dewa kesenian yang dipercaya akan memberikan Taksu kepada masyarakatnya yang menekuni dunia seni. Mungkin karena itu, regenerasi penabuh gong kebyar di banjar itu tak pernah putus hingga kini.
Tari Oleg Tamulilingan yang dibawakan Sekaa Gong Abdi Budaya di PKB, Selasa malam
Nah, saat tampil dalam PKB, Selasa malam itu, Sekaa Gong Abdi Budaya melibatkan generasi kedua dan generasi ketiga. Generasi pertama sudah tidak ada. Generasi kedua tersisa masih dua orang. Dan selebihnya merupakan generasi ketiga.
Tusti menjelaskan, karena parade bertema legendaris maka pihaknya mendatangkan generasi kedua yang tersisa meski sudah lanjut usia. Dijelaskan, generasi pertama Sekaa Gong Abdi Budaya dibentuk tahun 1960-an, sedangkan generasi kedua tahun 1980-an, dan generasi ketiga mulai tahun 2009.
“Sesuai dengan tema legendaris, kami hadirkan generasi kedua yang masih tersisa dua orang. Bahkan jalannya ada yang dipapah. Kira-kira usianya 75 tahunan. Untuk tampil kali ini, kami posisikan beliau berdua di barisan belakang,” ungkapnya.
Tusti menyebut masih ada satu orang penari legendaris yang masih hidup, namun sudah lama tinggal di Denpasar.
Tusti Adnyana (kiri)
Untuk tampil kembali diakui memang ada sedikit kendala, terutama dalam penyatuan rasa. Sebab penabuh generasi kedua yang sudah lanjut usia sedikit lemah dalam hal tenaga, sementara generasi ketiga memerlukan gambaran tentang pola tabuh di masa lampau yang pernah membawa Sekaa Gong Abdi Budaya berjaya pada masanya.
“Menyatukan rasa memang agak sulit karena generasi kedua kemampuan tangannya sudah agak berkurang. Jadi saya pasang generasi kedua itu di barisan belakang. Justru generasi ketiga yang saya pasang di barisan depan, karena tekniknya masih bagus dan masih segar,” tutur Tusti Adnyana.
“Akan tetapi, untuk menampilkan legendaris ini kami bertanya pada generasi kedua bagaimana pola tabuhnya, kita jadikan narasumber. Generasi kedua yang paling tahu sebenarnya, sedangkan generasi ketiga yang mengeksekusi,” jelasnya.
Ada empat sajian yang ditampilkan Sekaa Gong Abdi Budaya, di antaranya Tabuh Kreasi Sapta Bhuana yang diciptakan pada tahun 1969 oleh Gusti Bagus Suharsana, Tari Oleg Tamulilingan yang diciptakan oleh I Ketut Mario pada Tahun 1952, Tabuh Kreasi Abdi Budaya yang diciptakan oleh Gusti Bagus Suharsana pada tahun 1971, dan Tari Truna Jaya yang diciptakan oleh I Gede Manik dari Desa Jagaraga Buleleng pada Tahun 1915. [T][Ado/*]