Negara sering kali gagal melakukan tugasnya memenuhi hak konstitusional atas pendidikan dan penghidupan yang layak bagi warga negaranya. Kegagalan terjadi karena tidak mampu membayangkan wajah rakyatnya yang berkubang dalam derita kemiskinan.
Kegagalan negara tersebut, saat ini berada di depan mata dan hidung rakyat Bali. Kegagalan bukan hanya terjadi karena tidak bisa mengentaskan kemiskinan dari sisi ekonomi, juga akibat kebijakannya menghapus sistem persekolahan Bali mandara.
Sistem persekolahan Bali Mandara semestinya dipertahankan, bahkan dijadikan model bagi pengembangan pendidikan dengan sasaran pembasmian kemiskinan dan instrumen mobilisasi secara vertical melalui pendidikan.
Melalui pendidikan akan terjadi perubahan strata sosial masyarakat secara vertikal. Dari strata miskin bergerak naik ke strata sejahtera.
Sebagai catatan, studi Bank Dunia di masa lalu banyak memuat pengembangan sistem pendidikan yang tepat akan berkontribusi nyata untuk memperbaiki pemerataan pendapatan dan keadilan sosial. Persekolahan Bali Mandara dalam lingkup kecil dan dari prestasinya membenarkan hasil studi Bank Dunia di atas.
Catatan menyebutkan, 90 persen siswa yang di awal masuk ke sekolah ini adalah sangat miskin, setelah lulus hampir 96,7 persen mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi terbaik. Sebanyak 97,35 persen si anak miskin tiga angkatan pertama (2011-2014) pasca lulus bisa bekerja dengan rata-rata penghasilan sebesar Rp 7,5 juta per bulan atau 90 juta per tahun.
Pengambil kebijakan publik memahami, pembrantasan kemiskinan absolut (absolute poverty), dan kemiskinan relatif (relative poverty) sering gagal karena tidak fokus dan program aksi yang tidak detail. Kebijakan Bali Mandara bisa dijadikan model penanggulan kemiskinan melalui pendidikan yang tepat dalam jangka menengah.
Model persekolahan Bali Mandara telah membuktikannya. Pula, daerah lain di Indonesia menduplikasi, menerapkan sostem persekolah ini di daerahnya.
Merujuk pemikiran ahli kependudukan Prof.Masri Singarimbun, pembrantasan kemiskinan melalui pendekatan angka statistik sering gagal, diperlukan “pendekatan wajah” dimana pengambil kebijakan bisa membayangkan wajah-wajah orang miskin yang akan ditolong, sehingga muncul empati dalam merumuskan kebijakan dan program aksinya.
Rekrutmen siswa miskin di Bali Mandara dan motivasi pengelolaan pendidikannya mendekati pendapat ilmuwan di atas.
Terakhir, meminjam istilah pribahasa: “sekali mendayung, 2 – 3 pulau tercapai , Bali Mandara mampu menghasilkan lulusan dengan kualitas yang baik, berkarakter kuat dan mereka mampu keluar dari “lingkaran setan ” kemiskinan. Kebijakan cerdas, manusiawi dan berdimensi masa depan. [T]