“MENGAPA pohon di-banten-in oleh orang Bali?” seorang Sahabat dari seberang pulau bertanya. Saat berlibur di kampung bertepatan dengan hari Tumpek Panguduh, Sahabat ini menyaksikan bagaimana keluarga-keluarga Bali Tradisi memperlakukan pepohonan, layaknya sang Dewa.
“Pohon itu Dewa?” ia tampak kian kebingungan mencari-cari penalaran orang kampung, yang dapat memenuhi hasrat keingintahuannya sebagai manusia modern di kota besar. Bagaimana mungkin pohon itu diperlakukan laksana Dewa Junjungan?
Kesantunan hidup cara Bali Tradisi memahami, Hyang Maha Penghidup itu mewujud sekaligus meresap memenuhi segala isi Semesta Raya ini. Tak terkecuali tetumbuhan—berwujud dan bernama apa pun. Dalam bahasa Bali, Dia Yang Menghidupi Pepohonan itu dinamakan Hyang Tumuwuh. Dia-lah yang menumbuhsuburkan sekaligus menumbuhbiakkan segenap pepohonan: menumbuhkan tunas-tunas baru, menghijaukan dedaunan, menumbuhkan bunga, memunculkan putik, memekarkan bunga, hingga menjadikan pepohonan sanggup berbuah.
Dengan daya hidup yang diterima dari sang Maha Penghidup itu, pepohonan atau tetumbuhan lantas dapat memberikan daya hidup kepada makhluk hidup lainnya. Mulai dari hewan melata, serangga, unggas, binatang berkaki dua maupun berkaki empat, sanggup melanjutkan hidup mereka karena topangan sang pohon, Hyang Tumuwuh, Dia yang Bertumbuh itu.
Tak terkecuali manusia amat sangat berutang kehidupan pada pepohonan. Tak ada manusia di muka Bumi ini yang luput berutang kehidupan pada Hyang Tumuwuh. Manusia mutakhir kini boleh saja membanggakan lompatan teknologi digital dan teknologi pengolahan yang diciptakannya, namun sehebat-hebat manusia tetap saja berketergantungan pada pepohonan untuk melanjutkan hidupnya.
Lewat pengorbanan diri seluruh tubuhnya—entah akar, umbi, pangkal, batang, daun, bunga, hingga buah—kaum pepohonan telah berjasa besar mempertahankan kehidupan kaum hewan atau binatang, juga kaum manusia. Lewat wujud sebagai sarwa mletik, yang tumbuh dari tanah Bumi Pertiwi, itulah Hyang Tumuwuh telah menumbuhkan kehidupan sarwa maurip, termasuk manusia. Kesadaran hidup akan utang kehidupan manusia pada Hyang Tumuwuh, sang Pemberi Hidup, yang mewujud kaum pepohonan atau tetumbuhan sarwa mletik itulah yang menjadikan Bali Tradisi melakonkan kesantunan tradisi Tumpek Panguduh/Tumpek Bubuh/ Tumpek Atag/Tumpek Wariga.
HYANG MAHA MEMAKMURKAN
ANDAI manusia kelak sanggup memakan langsung tanah, boleh jadi manusia tidak lagi berutang kehidupan kepada sang Pohon yang mewujud sarwa mletik atau sarwa tumuwuh itu. Namun kenyataan senyata-nyatanya yang terjadi sampai saat ini, manusia tetap saja belum sanggup langsung mengunyah-nguyah tanah guna mengenyangkan perutnya.
Meskipun manusia kini cenderung begitu serakah untuk menguasai tanah seluas-luasnya lewat politik kertas sertifikat, membabat pepohonan untuk menggantikannya dengan hutan-hutan beton, sampai halaman rumah pun tak memberi celah pepohonan bertumbuh, toh manusia terserakah sekali pun tetap saja mencukupi kebutuhan tubuhnya akan nutrisi dari tetumbuhan dan hewani. Pohon-lah yang paling berjasa menyejahterakan dan memakmurkan manusia. Makmur berarti ‘banyak hasil’, ‘serba berkecukupan’. Pohon itu memang memberikan banyak hasil dan kecukupan, sekaligus menguntungkan kehidupan manusia—selain ada pula manusia yang berpenghidupan dari pohon.
Siapakah yang sejati sesejati-sejatinya melimpahkan kemakmuran itu bagi manusia dalam kehidupan? Bali Tradisi memahami, Dia Yang Menjadikan Kemakmuran itu dengan sebutan Sangkara. Dia-lah, Sangkara, Yang Maha Dermawan. Dia pula Yang Senantiasa Menguntungkan kehidupan.
Sangkara—Yang Maha Dermawan, Yang Menjadikan Kemakmuran, Yang Maha Memakmurkan, Yang Menguntungkan—itulah yang dimuliakan dalam praktik kesantunan Bali Tradisi lewat Tumpek Panguduh. Siapakah Sangkara?
Sangkara adalah satu di antara karakter Siwa. Siwa berarti baik hati, ramah, suka memaafkan, juga sangat menyenangkan, memberi banyak harapan, sekaligus membahagiakan. Itulah, antara lain, karakter sang Maha Penghidup Kehidupan, yang dikonsepsikan dalam istilah Siwa.
Kosmologi Bali Tradisi lantas menstrukturkan dalam penalaran pikiran: Siwa-Sangkara itu berwarna hijau (ijo, gadang, atau wilis) tetumbuhan. Posisinya di barat-laut (wayabhya), titik diagonal pertemuan antara arah barat yang berenergi tanah pertiwi dengan arah utara yang berenergi air. Manakala tanah bertemu dengan air, maka terciptalah kesuburan. Kesuburan secara tampak mata lahiriah mewujud berupa pepohonan atau tetumbuhan dengan dedaunan berwarna hijau.
Selamat menyempurna dalam pelukan teduh Sang Pohon Kehidupan, Sahabat. Rahayu selalu. [T]
- detak detik Sanaiscara Kliwon, Wariga, Tumpek Pangatag/Tumpek Bubuh, 14.03.2022
_____
BACA KOLOM LAIN DARI KETUT SUMARTA