+62813xxxxxx -Krisna Satya
Halo kami sudah sesuai map, tp nggk nyampe (sedikit tersesat)
11.48
Satu pesan Krisna Satya kemudian dijawab oleh dua orang lain di group whatshap. Beberapa jam setelah itu satu persatu kawan-kawan peserta datang.
Jumat, 6 Mei 2022, merupakan hari pertama lokakarya kepenulisan Rajangan Barung – Teater Kalangan bekerja sama dengan tatkala.co, yang dilaksanakan di rumah belajar Mahima, Singaraja-Buleleng.
Sedikit terlambat dari waktu yang dijadwalkan, karena menunggu satu peserta – Bryan Ferguson. Tapi menunggu tidak membuat kami bosan, kami memulai percakapan satu sama lain, sebab ini pertama kali bertemu secara langsung, sebelumnya hanya melalui dunia virtual.
Saya mengobrol panjang dengan Yogi Sukawiadnyana, satu peserta tamu dari Negara – Jembrana, ia seorang komposer. Mulai dari garapan yang ia kerjakan, hingga sejumlah isu-isu terkini soal kekaryaan musik, maklum saya cukup lama tak berjumpa dengannya.
Sementara yang lain Nyoman Krisna Satya Utama, Anak Agung Gde Dalem Segara Putra, tampak asik berbincang dengan Pak Made Adnyana Ole. Trina Acacia, Dewa Putu Kresna Riawan dan Aristadewi juga asik ketawa-ketiwi membicarakan perjalanan mereka hingga tiba di Buleleng.
Bryan Ferguson akhirnya datang, menyapa kita semua lalu duduk-membuka sepatu, lantas memeras kaos kaki. Mungkin menerobos hujan saat menuju perjalanan ke sini, saya tidak sempat bertanya karena mengurus persiapan bersama tim.
Tidak berselang lama setelah kedatangan Bryan, kawan-kawan Mahasiswa STAH Mpu Kuturan datang sebagai peserta . Langsung saja Rajangan Barung dibuka dengan santai oleh Wayan Sumahardika selaku Project Manager, kemudian Sonia Piscayanti selaku direktur Mahima Institute Indonesia, lalu lanjut bersama Made Adnyana Ole (selanjutnya saya sebut Pak Ole saja ya) sebagai fasilitator kepenulisan.
Format hari pertama sebenarnya diskusi, namun saya lebih merasa seperti sesi berbagi pengalaman yang santai, asik dan menyenangkan. Pak Ole tidak memaparkan materi dengan slide-slide seperti seorang dosen menjelaskan kepada mahasiswanya, melainkan dengan banyak menceritakan pengalamannya sebagai seorang jurnalis, lalu melebar ke cerita-cerita yang berkaitan dengan konteks kepenulisannya. Tapi kemudian kembali lagi ke topik utama, lalu melompat lagi ke peristiwa lain. Seperti cerita-cerita di mukak leneng, atau saat saya dan beberapa kawan duduk melingkar bersama Pak Ole di Mahima pada hari biasa.
Menurut pengalaman Pak Ole, menulis ulasan pertunjukan, menulis gagasan karya, adalah hal yang penting dilakukan. Menulis ulasan pertunjukan itu untuk memberi satu pandangan dan kemungkinan baru dari sudut pandang penulis, sementara menulis gagasan karya untuk menjelaskan sejarah pemikiran seorang seniman dalam membentuk satu gagasan/ide menuju ke bentuk pertunjukan.
Begini, ada satu layer pengalaman Pak Ole yang perlu saya jelaskan, ia adalah seorang jurnalis dan banyak menulis ulasan tentang pertunjukan, terutama pertunjukan tradisi. Ia sering menemukan seniman-seniman tradisi tidak mampu mengartikulasikan karyanya dengan bahasa – tulisan. Peristiwa ini sering ia jumpai saat sinopsis pertunjukan di PKB dibacakan oleh pembawa acara. Bahkan lebih ironisnya sinopsis yang ia jumpai sering hanya berulang dari tahun ke tahun.
Dari sinopsis saja tidak selesai, bagaimana kemudian akan menuliskan karyanya lebih dalam, padahal karya tersebut dikerjakan sendiri, dan berasal dari idenya sendiri. Apalagi………. akan menuliskan karya orang lain, tentu tidak mungkin terjadi, bahkan lebih parahnya sering kali kawan seniman terpesona hanya di wilayah bentuk atau visual, tanpa memiliki keingintahuan atas ruang kritis di balik penciptaan satu karya.
Maka dari itu seorang penulis harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap satu peristiwa, dalam hal ini peristiwa panggung. Rasa ingin tahu inilah modal dasar sebagai penulis, ditambah lagi dengan latar belakang ilmu pengetahuan si penulis. Sebab penulis ulasan memiliki satu persepsi tersendiri untuk mengungkapkan makna atau interpretasi yang ia temukan. Persepsi kemudian memberikan satu warna makna yang liyan, bahkan akan berbeda sama sekali dari pencipta karya tersebut. Hanya saja persepsi haruslah memiliki bukti-bukti, alasan-alasan, refrensi untuk menguatkan persepsi menjadi satu daya sudut pandang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bagi saya, proses persepsi ini adalah yang paling saya suka, karena setiap orang bisa menggunakan pisau bedah apapun, dari sejarah, tari, teater, analisis sosial, antropologi, makanan dan lain sebagainya. Setiap pengulas tentu datang dengan isi kepala, mereka tidak kosong, dan pengalaman menonton merupakan peristiwa intim, sifatnya privasi, tidak semua endapan memori pengulas memiliki kesamaan yang sama persis. Jadi pengulas memiliki ruang interpretasi yang ditunggu-tunggu. Siapa yang menunggu ? Nah itu ….
“Tapi kadang kala, si kreator tidak menanggapi pengulas sebagai bahan untuk belajar, banyakan yang ngeles. Padahal itu modal untuk karya selanjutnya, dan melihat karya dari kaca mata pengulas,” kata Pak Ole.
Khusus untuk menulis ulasan Pak Ole memberikan satu tahapan yang dapat diikuti alurnya yaitu deskripsi, analisis, persepsi dan evaluasi. Pada tahapan ini unsur 5W 1H (What, Who, When, Why, Where + How) amat penting seperti karya-karya jurnalis lain.
Persepsi sudah saya jelaskan di atas, yang lain seperti deskripsi berisi tentang apa yang dilihat oleh pengulas saat peristiwa panggung terjadi. Saya juga suka untuk menulis deskripsi lengkap, terutama sejumlah adegan yang membuat saya mengalami perasaan menonton berbeda. Kemudian dari deskripsi akan menemukan bentuk-bentuk, misal bentuk tubuh, nah dapat dilanjut untuk menganalisis dengan teori tertentu atau menyandingkan pengalaman pengulas dengan peristiwa tersebut. Jangan dibayangkan akan menggunakan teori berat-berat , itu bisa juga dilakukan, namun arah yang diinginkan lebih pada analisis kontekstual ruang dan waktu.
Pak Ole menjelaskan dengan satu contoh kasus geguritan I Cetrung. Mengisahkan burung Cetrung yang biasanya membesarkan anak-anak mereka di antara batang padi. Burung Cetrung akan merangkai padi sedemikian rupa, untuk menaruh telur-telur mereka. Biasanya dari telur hingga anak-anaknya bisa terbang, burung Cetrung membutuhkan waktu 5 bulan.
Dulu sebelum revolusi hijau zaman Soeharto petani di Bali memanen padinya 6-7 bulan sekali. Namun ketika program itu masuk, panen raya hanya berlangsung 3-4 bulan. Alhasil ketika panen raya banyak ditemukan sarang-sarang burung Cetrung berisi anak-anak mereka yang masih berwarna merah. Hingga kemungkinan besar burung Cetrung akan menipis populasinya. Dari geguritan Cetrung dapat ditarik analisis mengenai kebijakan negara, ketahanan pangan, serta mengarah pada ekosistem burung cetrung dalam rantai makanan di sawah.
Kemudian terakhir evaluasi, dapat berupa pujian atau cacian. Evaluasi dapat digunakan untuk menemukan celah bagi kreator untuk mengetahui kekuatan pentas tersebut. Celah ini dapat berupa hal baik, yang harus terus ditingkatkan, kemudian hal buruk yang kemungkinan dapat digali lebih lanjut, atau dihilangkan.
Yah. Secara ideal memang begitu, tapi sepengalaman saya menulis ulasan, jika saya menohok karya sang kreator, apalagi karya di luar teater, kawan-kawan yang saya ulas, biasanya langsung membentengi dengan berbagai alasan, intinya tidak mau dikritik karyanya.
Nah kalau saya bertemu dengan kasus begitu, saya langsung melipir saja. Bilang maaf, jika tulisan saya jahat, lalu ngeloyor nonton pertunjukan lainnya. Satu sisi saya menggerutu, kok nggak ada yang nulis ulasan tentang pertunjukan saya sih….ish…
Yogi angkat tangan ingin bertanya :
“Kalau menulis, saya disarankan oleh seorang kawan, agar terus menulis saja, saya pun melakukannya, saya menulis panjang dengan sangat percaya diri, penuh emosi, lalu setelah tulisan jadi, saya baca, kok saya nggak percaya diri lagi ya, kok tulisan saya salah ini kayaknya,” ujar Yogi Sukawiadnyana saat mengisahkan sekaligus menanyakan pengalamannya tersebut.
Pak Ole menjelaskan bahwa emosi harus ada dalam setiap tulisan, namun tidak semua emosi dapat dituangkan dengan mentah. Tulisan perlu ditata dalam sistem editing dengan keadaan yang tenang dan santai. Setelah menulis panjang dengan emosional, tulisan kemudian dijeda, minum kopi sejenak, menyesap rokok, lalu kembali lagi duduk di depan laptop, untuk menata dan memotong tulisan yang tidak perlu.
“Setelah belajar menulis, tahap selanjutnya adalah tahap memotong – menghapus. Memang semakin banyak kita tahu itu bagus, namun tidak semua informasi dapat mendukung satu gagasan, maka dari itu kita belajar menghilangkan, atau disimpan gagasan itu,” ujar pak Ole.
Waktu menunjukkan pukul 17.00 Wita, saatnya istirahat. Peserta kemudian mandi, istirahat sejenak, ada yang jalan-jalan ke pantai. Sesi kedua berlangsung pukul 19.00 Wita, menonton dokumenter 3 narasumber bekal untuk program hari ke dua. Siapa narasumbernya, besok saja saya ceritakan, di catatan singkat hari kedua .[T]