Fenomena unik terjadi siang sampai menjelang malam Sabtu dan Minggu, 23- 24 April 2022, di Wantilan Pura Taman Pule, Desa Mas, Ubud. Para “maling” unjuk kebolehan di atas panggung seni pentas, dikerumuni orang, bahkan didatangkan tim juri untuk menilai kelihaian para “maling” tersebut.
Ya benar, “maling” yang dimaksud ini merupakan bagian dari materi tokoh yang wajib ditampilkan oleh setiap peserta Lomba Topeng Melampahan Se-Bali Tahun 2022. Lomba ini diselenggarakan oleh Komunitas Seni Manduka Asrama. Lomba ini menarik karena mengadu kemampuan menari sekaligus berkisah.
Seni pertunjukan tari menggunakan alur kisah disebut dengan melampahan, sepertiBaris Melampahan, Janger Melampahan, begitu juga pertunjukan Topeng Melampahan. Sebanyak 24 penari topeng muda berasal dari segala penjuru Bali ini mempertontonkan sepak terjangnya dalam olah gerak, vokal, serta pendramaan alur lakon dengan format pertunjukan dramatari Topeng Pajegan.
Topeng Pajegan merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan dramatari bertopeng di Bali, yang dalam pementasannya diperankan hanya oleh seorang penari saja. Penari ini memborong sendiri semua karakterisasi topengnya yang disesuaikan dengan lakon yang dibawakan.
Sebagaimana kata topeng pajegan terdiri dari dua kata yakni “topeng” dan “pajegan”. I Made Bandem M.A dan I Nyoman Rembang dalam bukunya Perkembangan Topeng-Bali sebagai Seni Pertunjukan , kata “pajegan” adalah suatu istilah didalam bahasa Bali yang berasal dari kata “pajeg” dan ditambah dengan sufik “an”menjadi “pajegan” yang berarti borongan (1976:12-13).
Pada ajang lomba topeng ini, penari menampilkan berturut-turut empat tokoh/topeng yang dibalut dengan bingkai lakon yang diberi tajuk “Maling Sukawati”. Secara umum dramatari topeng lebih cenderung memakai babad/cerita semi sejarah sebagai sumber lakonya.
Maling Sukawati merupakan episode dari kisah penyelesaian masalah prihal pencurian yang terjadi pada masa Kerajaan Sukawati di Bali. Dipilihnya lakon ini, panitia lomba menyusun materi karakterisasi topeng-topeng yang wajib ditampilkan setiap peserta.
Penampilan peserta lomba topeng diawali dengan Topeng Gombrang salah satu jenis tari pengelembar/pembukaan dalam dramatari topeng dengan tapel demung yaitu topeng berkarakter keras.
Urutan kedua peserta membawakan tokoh penasar mata bolong yaitu abdi kesayangan raja dengan topeng jenis sibakan/setengah menutupi muka, mata dan mulut sipenari kelihatan sehingga ekspresi mata serta olah vokal dalam bentuk tembang maupun narasi dapat leluasa dilakukan.
Salah satu peserta Lomba Topeng Melampahan Se-Bali [Foto: FB/Kodo Guang]
Selanjutnya diperagakan Topeng Dalem Arsawijaya dalam lakon ini mengejawantahkan raja kerajaan Sukawati yaitu Dalem Sri Wijaya Tanu pada masa penyamarannya, disini setiap peserta menggambarkan sosok raja yang biasanya mengenakan mahkota gelungan lelungsiran yang agung, sedangkan pada lakon ini tokoh raja dibuat bersahaja hanya memakai udeng-udengan/kain yang diikat dikepala. Begitu juga gerakannya biasanya agung berwibawa ditafsirkan sekarang menjadi gerak kerakyatan yang mengendap-ngendap, ini dimaksud untuk menyembunyikan identitas seorang raja sedang berpura-pura menjadi seorang pencuri.
Sedangkan tokoh keempat yaitu karakter seorang maling sakti yang sulit ditangkap, peserta memvisualkannya dengan berbagai macam tapel bondres/rakyat jelata, untuk karakter ini peserta ada yang menampilkan satu atau dua karakter bondres menurut dengan selera dari penarinya.
Untuk membagi bagian-perbagian dari empat pengkarakteran topeng tersebut maka diberikan waktu setiap peserta lomba sepanjang 25 menit maksimal dalam pementasannya. Ikatan waktu membuat setiap penari topeng harus dapat menggunakan waktu sebaik-baiknya, demi keutuhan penampilan unsur estetiknya maupun isian pesan moral yang terkandung pada alur kisah yang diwedarnya.
Ini terkait fungsi seni pertunjukan dramatari topeng terlebih-lebih Topeng Pajegan atau sering juga disebut Topeng Sidhakarya erat kaitanya dengan ritual upacara keagamaan Hindu yang terus hidup ditengah-tengah masyarakat Bali. Hingga kesenian ini diakui UNESCO pada 2 Desember 2015 seperti yang dilansir dari laman website resmi Kemendikbud, bahwa Topeng Pajegan/Topeng Sidhakarya merupakan salah satu dari sembilan tari Bali telah sebagai sebagai warisan budaya tak benda (kwriu.kemdikbud.go.id/berita/tiga-genre-tari-bali-diakui-komite-unesco).
Seni dramatari topeng di Bali tidak hanya tontonan semata namun juga sebagai tuntunan kehidupan yang tersirat dalam antawacana monolog penari topeng tersebut. Tokoh Maling dikisahkan susah untuk ditaklukan dalam alur lakon diberikan intrepretasi, disebut Maling Meguna bahwa maling yang berguna. Si maling, dia mencuri harta benda para punggawa yang berlimpah untuk dipindahkan untuk rakyat jelata yang lebih membutuhkan. Ini dilakukan demi pemerataan ekonomi di tengah hirup pikuk kerajaan zaman itu.
Begitu juga tokoh Raja Sukawati bertanggung jawab menuntaskan keresahan rakyatnya dengan cara memperdaya si maling bukan dengan kekerasan fisik melainkan memainkan akal dan kecerdasan intelektual.
Antusias peserta sebagian besar dari kalangan seniman muda mengikuti ajang lomba ini, memberikan rasa optimis terhadap keberlangsungan dramatari topeng Bali. Dulunya kesenian topeng pelakunya identik oleh seniman tua karena kompleksitas berbagai unsur seni yang harus dikuasai sipenarinya. Hal itu terbantahkan ketika kita amati hal yang terjadi pada event Lomba Topeng Melampahan Se-Bali ini yang digerakkan oleh kalangan seniman muda, dengan para peserta para yowana/pemuda, dan penonton yang memberikan semangat tiap-tiap jagoanya dari kalangan anak millenial.
Ini menunjukan seni pertunjukan dramatari topeng Bali akan selalu “lampah” yang artinya berjalan, berjalan dengan segala daya kreativitas menembus relung-relung dinamika zaman masa mendatang.[T]
25 April 2022