Membuka lembaran kain tak jauh beda seperti membaca halaman buku. Cara Rita Ishara mengibaskan kain ke udara, lalu mengukur dan melipat kain agar menyatu dengan tubuh para penari dan modelnya, memperlihatkan pada kita betapa kain yang selembar itu mampu membuka narasi dan ruang imajinasi tentang seni, budaya, kearifan lokal dan khususnya lagi, sosial perempuan sekitar kita. Hanya dengan melipat, kain yang tetap utuh sebagai kain ini dapat disulap menjadi aneka bentuk pakaian yang mengagumkan.
Bagi Rita, kain mampu membicarakan banyak hal, mulai dari ide kreatif, peluang kerja, kesempatan untuk terus belajar, dan tumbuhnya sebuah peradaban. Atas ketertarikannya dengan kain, Rita melakukan upaya pengenalan teknik draping kain dari panggung ke panggung. Tak seperti penggunaan kain yang mesti dijahit dan dipotong terlebih dahulu untuk menjadi pakaian kebanyakan, teknik atau seni draping memungkinkan kain tetap utuh dan membentuk berbagai model busana yang unik serta memiliki nilai estetika tinggi.
“Aku tertarik menekuni teknik drapping ini karena mewakili diriku sebagai perempuan. Draping menuntut kita berkreativitas dalam segenap keterbatasan, dimana kain dibiarkan utuh, gak boleh dipotong dan dijahit, tapi tetap harus bisa dijadikan pakaian yang unik dan menarik”, jelas perempuan yang sempat menjadi finalis Indonesian Idol ini.
Draping dan Perempuan
Teknik draping sesungguhnya telah hadir dalam berbagai rutinitas kehidupan masyarakat, Hanya saja, oleh masyarakat kebanyakan, draping belum disadari sebagai suatu keterampilan bahkan seni. Penata busana biasanya menggunakan draping dengan cara lipatan atau pola langsung di badan manekin atau model tanpa menggunting pola dan menjahitnya. Untuk memperkuat pola yang telah dibentuk, draping hanya membutuhkan jarum pentul dan jahit cubit sebagai bantuan. Di sinilah keterampilan penata busana menjadi demikian krusial. Dibutuhkan imajinasi dan kreativitas yang tinggi untuk membuat pola draping menjadi menarik secara visual.
Jika diamati lebih dalam, teknik draping yang menghindari pemotongan pola dan menjahit, sesungguhnya mencerminkan nilai-nilai keperempuanan yang begitu kuat. Sehari-hari, draping biasa digunakan perempuan untuk memakai kamen (busana adat Bali), mengikatnya untuk membuat gendongan bayi, atau menggulungnya sebagai alas jinjing kepala. Pola draping dalam kehidupan sehari-hari, dimana begitu banyak interaksi yang terjadi antara perempuan dan kain dalam merespon situasi sosialnya, dapat dipandang sebagai cerminan negosiasi dan kebijaksanaan perempuan itu sendiri.
“Draping itu kayak teknik untuk menjaga keutuhan tapi juga sekaligus menciptakan variasi baru tanpa menghilangkan kesejatian. Kan itu yang biasa perempuan alami kan? Jadi anak, jadi remaja, jadi istri sekaligus ibu dan nenek”, sambung Rita, perempuan kelahiran Jembrana ini.
Kultur cair dan beragam identitas yang ada di Jembrana membuat Rita menyadari identitas perempuan yang berubah-ubah baik saat perempuan ada di masa kanak, remaja, menjadi istri, ibu dan nenek, ia tetaplah perempuan. Namun, pada tiap fase perkembangan perempuan, selalu ada yang berubah, selalu menjumpai berbagai bentuk negosiasi.
Dalam kecenderungan konteks perempuan Bali, sedari kanak, perempuan sudah harus bernegosiasi dengan lingkungan yang patriarkis, yang menuntut mereka untuk tampil dalam fungsi dan perannya sebagai perempuan. Menuju remaja, perempuan mengalami negosisasi dalam penerimaan bentuk menstruasi, memperhatikan pakaian juga laku gerak dan aktivitasnya agar tetap merasa nyaman dan aman. Demikian pula ketika masuk ke jenjang rumah tangga, meninggalkan keluarga kecilnya, berinteraksi dengan keluarga baru dan relasi sosial sekitarnya.
Perempuan adalah selembar kain. Mereka membawa kesejarahan yang tidak dapat diubah oleh siapapun. Sementara draping adalah negosiasi yang mesti dilakoni perempuan dalam merespon perubahan-perubahan sekitarnya tanpa harus kehilangan jati dirinya. Jika menjahit dan memotong adalah jalan pintas satu arah untuk sampai ke akhir perjalanan, draping adalah jalan berliku dua arah yang senantiasa menawarkan proses antara awal dan akhir perjalanan.
Sebagai gambaran, selembar kain yang dipotong dan dijahit untuk dijadikan pakaian yang indah saat kita kanak, namun tak akan lagi bisa kita gunakan saat remaja. Sementara dalam draping, kita hanya perlu membuat polanya, mengaitkannya sesuai kebutuhan. Melalui draping, kita tetap mampu mengembalikan kain sewaktu-waktu ke awal mula. Demikianlah draping layaknya perempuan yang bergerak dalam rangkaian perubahan beragam identitas sebagai anak, remaja, istri, ibu dan nenek serta pekerjaannya di ruang domestik dan publik.
Panggung Draping
Dalam perhelatan fashion designer, panggung menjadi salah satu peluang pertama bagaimana gagasan atau ide penciptaan tentang kain dan desainnya dapat diterima oleh khalayak. Itu pula yang diyakini Rita sehingga berani memutuskan untuk mengangkat draping khususnya pada kain tradisional Bali.
Saat ini, pameran kain-kain tradisional memang tidak pernah sepi akan kehadiran panggung fashion show. Kemahiran perancang busana dengan menggunakan teknik penjahitan telah banyak menghadirkan beragam model dan bentuk busana. Namun, bagi Rita, menjadi penting kemudian panggung fashion show yang bertajuk pelestarian kain tradisional saat ini lebih banyak membuka ruang-ruang untuk teknik draping.
Melalui draping, fashion tidak hanya berhenti pada figur desainernya saja. Draping memungkinkan terbukanya kesempatan bagi para pengrajin masyarakat untuk tampil setara dengan figur desainer, model, dan distributor dalam satu panggung. Menyadari eksistensi kain-kain tradisional masih perlu untuk diangkat lebih banyak, dalam stiap kesempatan, Rita Ishara akan menggunakan kesempatan ini untuk berbagi dengan para UMKM. Ia ingin agar UMKM untuk turut serta hadir dalam setiap panggung pertunjukan fashionnya.
Karena pola draping sangat menghindari teknik potong pola dan jahit mati. penikmat fashion show dapat menikmati keutuhan nilai kain. Dalam hal ini kehadiran pengerajin jadi penting nilainya dalam pertunjukan fashion itu sendiri. Kehadiran sejarah, ide dan motif pengrajin dalam kain akan sepenuhnya tergambar utuh. Melalui draping, perancang busana lebih banyak sebagai fasilitator untuk melengkapi nilai jual terhadap kain itu sendiri sehingga bentuk pelestarian secara pemberdayaan pengerajin, pelestarian hasil karya, sama-sama dapat terjadi.
“Melalui draping akhirnya aku jadi tahu, bukan hanya UMKM yang bisa aku beri ruang dalam pertunjukan fashionku, tetapi ada model, aktor, penata rias, pemusik, penulis, dan bahkan sanggar-sanggar tari atau ekting. Jadi menurut aku ini juga bisa dipakai peluang kerja kreatif.”
Keyakinan Rita akan panggung fashion show tentu saja tak sebatas pandangan bagaimana ia mendemokan teknik draping pada kain tradisional. Namun demikian seperti yang Rita ungkap bahwa kain, teknik draping, dan panggung fashion show adalah peluang bagi siapa saja untuk menumbuhkan karya atau kerja.
Dengan konsep fashion show theatrical, ia pun memiliki harapan terhadap pelestarian kekayaan budaya Indonesia lainnya, seperti halnya cerita rakyat nusantara. Proses adopsi dan adaptasi cerita rakyat nusantara dalam pertunjukan fashion Rita adalah misi lain untuk menyelamatkan rasa khawatirnya terhadap pengklaiman budaya-budaya Indonesia oleh negara lain. Belum lagi ia menyadari, untuk menyelamatkan itu yang musti ia tumbuhkan adalah rasa mampu bersaing dan ruang keberadaan yang pasti. Dengan kata lain Rita berharap apa yang ia awali akan berdampak baik bagi banyak orang. Baik itu penegrajin maupun pelaku seni.
Belajar dari selembar kain, tentu tidak berarti apapun jika kita hanya memilikinya. Namun dari kacamata Rita, kain bisa meletakan kita bisa setara di panggung yang sama. Baik itu desainernya, pengrajinnya, kainnya, penikmatnya, semuanya. Jika berbicara prihal nilai-nilai keperempuanan pun kemudian adalah kesetaraan. Apapun rasnya, kelasnya, budayanya, semuanya harus adil, merata dan setara. [T]
Denpasar, 2022