7 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Malam Purnama, Dadong Brayut dan Kalarau di Nusa Penida

I Ketut SerawanbyI Ketut Serawan
March 21, 2022
inOpini
Malam Purnama, Dadong Brayut dan Kalarau di Nusa Penida

Ilustrasi foto: Mursal Buyung

Pada tahun 80-an, malam purnama terasa begitu istimewa di kampung saya, Nusa Penida. Kehadirannya sangat dinanti-nantikan oleh para warga mulai dari anak-anak, remaja dan termasuk orang tua. Pasalnya, hanya pada momen bulan purnama, para warga dapat memperpanjang aktivitasnya dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat.

Bagi anak-anak, purnama adalah momen bermain. Bermain gala-gala, gajig-gajigan, goak-goakan dan lain sebagainya. Pun momen mendengarkan cerita. Itulah yang sering saya lakukan dengan saudara, sepupu dan termasuk mindon. Kami duduk-duduk di natah rumah, beralaskan batu lempeh, sambil mendengarkan cerita dari kakek saya.

Kakek saya termasuk penjaga literasi lisan yang konsisten. Beliau memiliki beberapa warisan cerita, yang ajeg dituturkan kepada anak dan cucu-cucunya. Zaman itu, kakek kami pandang sebagai referensi sastra yang berharga. Zaman ketika generasi ayah-ibu saya masih dominan buta aksara (tidak bisa baca-tulis).

Jika malam purnama tiba, kakek biasa bercerita banyak hal kepada cucu-cucunya termasuk tentang bulan. Menurut kakek, konon ada seorang nenek menenun di bulan. Nenek itu bernama Dadong Brayut. “Bagaimana Dadong Brayut bisa terdampar di bulan? Dengan siapa dia hidup di situ? Mengapa harus menenun? Apakah Dadong Brayut abadi, tidak bisa meninggal?” Kakek tidak bisa menjelaskan detailnya. Beliau hanya tahu bahwa di bulan hiduplah seorang Dadong Brayut, yang bekerja sebagai tukang tenun. Singkat, padat dan sulit untuk dikuak.

Begitu juga dengan fenomena gerhana bulan. Dari kakeklah pertama kali saya tahu bahwa gerhana bulan berkaitan dengan Sang Kalarau. Sejenis makhluk raksasa (buta) berkepala besar, tetapi tidak memiliki badan. Mahluk inilah yang konon memakan/ menelan bulan sehingga lenyap dari langit.

“Namun, gerhana bulan tidak berlangsung lama. Apalagi kita membantunya dengan memukul-mukul beberapa alat sumber bunyi. Ini akan membantu bulan dikeluarkan lebih cepat oleh Sang Kalarau,” kata kakek.

“Ngajining Nusa”: Nyanyian “Mulat Sarira” tentang Diri, Leluhur Keluarga dan Tanah Leluhur Nusa Penida

Zaman saya kecil, tradisi memukul-mukul alat sumber bunyi saat gerhana bulan masih sangat kuat. Saya ingat, pernah dimarahi oleh ibu karena momen gerhana bulan. Pasalnya, panci yang saya pukul menjadi penyok, karena saking semangatnya hendak menolong bulan. Saya memukulnya berkali-kali dengan sangat keras. Alhasil, gerhana bulan berakhir, tetapi saya mendapat amarah dari ibu.

Tidak hanya anak-anak, para remaja juga menyambut suka-cita momen malam purnama. Mereka menyambutnya dengan permainan, yang hampir sama dengan anak-anak. Hanya saja mereka bermain dengan teman-teman seusianya. Jenis permainannya pun tidak jauh berbeda.

Malam Purnama, Tradisi Nebuk, dan Kajakan

Lain halnya dengan perempuan dewasa dan ibu-ibu, momen purnama dijadikan aktivitas “nebuk” jagung. Dari tradisi nebuk ini lahir istilah mesak’ang, nyeruh, ngetak’ang, napinang dan nyeksek.Rangkaian proses nebuk menghasilkan produk utama bernama “kelanan”.

Nebuk adalah aktivitas menumbuk biji jagung dengan alat utama yaitu lu kayu dan lesung batu kapur. Umumnya, nebuk dilakukan secara bergrup oleh para perempuan desa yang perkasa, dengan jumlah anggota berkisar 2-4 orang. Setiap anggota berdiri melingkari lesung dengan lu di tangan.

Mereka menumbuk biji jagung secara bergantian sesuai putaran arah jarum jam. Setelah hunjaman lu pertama, akan diikuti hunjaman lu kedua teman sebelah kanan dan seterusnya. Sistematis, konsisten dan terukur sehingga hampir nihil kasus kecelakaan. Ya, karena ini memang wilayah domestik kaum wanita di desa saya.

Proses penumbukan pertama disebut “mesak’ang” yakni memisahkan kulit biji jagung dengan dagingnya. Caranya, biji jagung ditumbuk berulang-ulang, kemudian diangkat ke dalam wadah tempeh. Selanjutnya, masuk ke proses “napinang” yaitu mengayun-ayunkan hasil tumbukan di dalam tempeh untuk memisahkan (memfilter) kulit biji jagung dari dagingnya. Produk mesak’ang ini berupa oot jagung, yang biasa dimanfaatkan sebagai dagdag atau pakanan babi.

Sementara itu, daging jagung yang difilter, ditumbuk untuk kedua kalinya. Penumbukan yang kedua ini disebut “nyeruh”. Daging jagung yang ditumbuk-tumbuk dimasukkan kembali ke dalam tempeh lalu melewati proses napinang lagi. Produk yang dihasilkan dari proses nyeruh yaitu daging biji jagung yang bersih, tetapi ukurannya masih besar.

Karena itu, harus ditumbuk ulang untuk ketiga kalinya. Namanya “ngetak’ang”. Proses penumbukan pada tahap ngetak’ang sedikit berbeda. Lubang lesung batu bagian bawahnya, dialasi dengan batu hitam (bulitan) setebal kurang lebih 7 cm. Lapisi tambahan ini berfungsi untuk memaksimalkan proses peremukan biji daging jagung yang ditumbuk.

Di Nusa Penida, Babi Jantan Disebut “Raden” | Apakah Ini Kasus Arbitrer?

Selanjutnya, hasil tumbukkan dimasukkan ke dalam tempeh untuk proses “nyeksek”. Daging jagung (dalam tempeh) dibenturkan berulang-ulang miring ke bawah, untuk memperoleh kepingan bagian biji jagung yang kecil. Sementara, kepingan daging jagung yang besar kembali masuk ke tahap ngetak’ang dan nyeksek berikutnya. Proses ngetak’ang dan nyeksek dilakukan 2-4 kali, sesuai kebutuhan. Dari proses ngetak’ang diperoleh produk utama yaitu “kelanan”.dan beberapa kelanan sangat kecil, mincit serta bubur.

Status “kelanan” berarti kondisi bahan makanan yang siap untuk diolah. Olahan utama dari kelanan ini adalah nasi jagung, makanan pokok masyarakat NP. Kedua, bisa diolah menjadi tipat kelanan. Ketiga, dapat diolah menjadi penganan, misalnya kue “gendar”.

Aktivitas nebuk menjadikan malam di desa menjadi menggeliat. Hunjaman-hunjaman lu yang bertenaga membuat tanah terasa megejeran. Ditambah lagi, teriakan suka-cita anak-anak bermain menyeruak di bawah cahaya bulan. Hal ini menyebabkan purnama terasa riuh dan bergetar. Kehidupan desa seolah-olah terjaga.

Selain itu, purnama juga sering dimanfaatkan oleh warga untuk kegiatan “kajakan” mengangkut tain kaliang. Tain kaliang adalah material sisa galian sumur tadah hujan berupa tanah batu kapur. Tumpukan Tain kaliang ini digali dalam rentang beberapa hari. Untuk mengangkutnya ke atas, dibutuhkan personal yang cukup banyak.

Karena itulah, warga di kampung saya menyikapinya dengan sistem kajakan (gotong-royong). Para kerabat diundang mulai dari anak-anak, remaja dan para orang tua. Momen yang digunakan untuk mengangkut Tain kaliang ini yaitu malam bulan purnama.

Tain kaliang diangkut menggunakan wadah bernama “timpalan”. Timpalan dibuat dari anyaman daun kelapa yang tua. Wadah ini tergolong tahan banting, tahan pecah, tahan benturan dan praktis.  

Mula-mula timpalan ini dikaitkan pada seutas tali, lalu dijatuhkan ke dasar sumur. Petugas yang mengisi material di bawah, bersiaga dengan skopnya. Ia mengambil timpalan, mengisinya dan mengaitkan kembali pada tali untuk ditarik ke permukaan.   

Tain kaliang dimanfaatkan sebagai tanah urug atau pondasi “klabah”. Pembuatan klabah diperuntukan pada sumur yang berada di luar pekarangan rumah. Tain kaliang dikumpulkan dan ditumpuk-tumpukkan di dekat mulut sumur—hingga menyerupai papan bidang berbentuk persegi panjang lalu dirabat dan diplester. Posisi permukaannya lebih tinggi dari mulut sumur. Inilah yang disebut klabah (penampung air hujan sementara).

Permukaan bidang klabah tidak rata. Bagian belakang dan sampingnya lebih tinggi. Begitu air hujan jatuh, langsung berlarian ke bagian tengah, menuju permukaan titik depan-tengah klabah yang paling rendah. Pada titik inilah dibuatkan lubang penghubung klabah dengan mulut sumur.

Pelarian air yang jatuh di atas klabah berakhir pada dasar sumur yang diplester. Untuk mendapatkan air yang bersih, ujung lubang klabah dilapisi dengan penyaringan. Jika ada sampah daun yang ikut terbawa air hujan, maka tidak akan langsung jatuh ke dalam sumur, karena tersangkut pada penyaringan.

Ketika bergotong-royong mengangkut tain kaliang, kekompakan dan semangat kerja warga sangat terasa terutama dari kalangan anak-anak. Sambil mengangkut tain kaliang, mereka membayangkan nikmatnya Abug khas Nusa Penida. Abug menjadi penganan wajib (sebagai pendamping kopi/ teh) dalam aktivitas kajakan mengangkut tain kaliang.

Abug terbuat dari singkong (diparut), kelapa (diparut), gula merah, pisang dan kacang merah. Singkong dan kelapa yang diparut dicampur menggunakan jari tangan lalu diisi dengan garam secukupnya. Adonan ini dibungkus dengan daun pisang.

Sebelum dibungkus, di tengah-tengahnya diisi irisan gula merah, permukaan lainnya diisi dengan beberapa kacang merah. Bentuk dan teknis bungkusannya mirip sumping bali. Pun teknis pengukusannya tidak jauh berbeda. Hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 40 menitan, adonan abug akan menjadi matang.

Tahun 80-an, warga di kampung saya sudah mulai “mandiri air”. Rata-rata setiap KK mampu membuat sumur tadah hujan, sebagai stok air hujan dengan volume yang bervariasi. Besar kecilnya volume air yang dibuat tergantung kemampuan ekonomi warga.

Sebelumnya, masyarakat di kampung saya bergantung pada air semer. Air semer adalah air bawah tanah. Keberadaannya jauh dari permukiman warga. Berada di bawah tebing, dengan posisi jalan setapak yang terjal. Dulu, satu-satunya sumber air kehidupan warga di kampung saya ialah Semer Gamat Dulu.

Sembahyang di Pura, “Makemit” di Penginapan | Pengamatan atas Fenomena Baru “Matirta Yatra” di Nusa Penida

Semenjak warga mampu membuat sumur tadah hujan, ketergantungan pada semer pelan-pelan berkurang hingga bisa melepaskan diri. Pembuatan sumur menjadi kebutuhan vital setiap KK. Dalam proses pembuatannya, rupanya tidak lepas dari peran bulan purnama, sang cahaya semesta.

Selain bermain, nebuk dan gotong-royong (kajakan), malam purnama juga dimanfaatkan oleh warga untuk acara kekeluargaan. Beberapa keluarga memanfaatkan malam purnama sebagai acara makan bersama di natah rumah. Mereka duduk-duduk di atas batu lempeh, menikmati makanan, menikmati cahaya bulan, sambil bercerita-cerita ringan, bercanda, tertawa dan lain sebagainya.

Tidak hanya mempererat tali kekeluargaan, purnama juga menyebabkan para warga merasa sangat dekat dengan alam. Ada rasa kesadaran langit. Ada rasa kesadaran bumi. Ada rasa kesadaran kemahakuasaan Tuhan.

Dari momen purnama inilah, kami diajari tentang spiritual ala lampau. Spiritual yang sangat personal—tak membutuhkan pengakuan banyak orang. Cukup rasa diri sendiri, alam dan Tuhan.

Pada Dadong Brayut, kami diajari tentang kesadaran bulan dan langit. Sedangkan, pada Kalarau, kami diajari tentang kekuasaan raksasa. Kekuasaan yang hendak mengaburkan kuasa Tuhan.

Karena itu, ketika listrik masuk ke desa kami tahun 90-an, kehidupan warga berubah. Tidak harus menunggu waktu sebulan untuk berpesta cahaya. Sebaliknya, setiap hari warga desa menikmati cahaya lampu. Lampu setir/ templek masuk ke gudang rongsokan, dan sekaligus mengakhiri cerita mangsi pada bulu hidung.

Kemudian, muncullah radio, tape recorder dan televisi sebagai tren atau kegandrungan baru. Para warga lebih banyak menghabiskan waktu dan perhatiannya pada benda-benda ajaib, ciptaan manusia tersebut. Mereka tak punya waktu lagi untuk memandang bulan purnama walau hanya sedetik.

Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba saya merasakan Dadong Brayut sudah meninggal. Sementara, Kalarau gentayangan menyusup ke dalam radio, tape recorder, televisi dan arus listrik. Lalu, saya melihat bulan purnama pecah berkeping-keping pada setiap mata warga desa.[T]

Tags: KlungkungNusa PenidaPariwisata
Previous Post

“Nerang” dan “Laser Pemecah Awan”

Next Post

Sudah Makan? Menu Apa Hari Ini?

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

Next Post
Sudah Makan? Menu Apa Hari Ini?

Sudah Makan? Menu Apa Hari Ini?

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Menguatkan Spiritualitas dan Kesadaran Budaya melalui Tumpek Krulut

by I Wayan Yudana
June 7, 2025
0
Tumpek Landep dan Ketajaman Pikiran

TUMPEK Klurut, sebagai salah satu rahina suci dalam ajaran agama Hindu di Bali, memiliki makna yang sangat mendalam dalam memperkuat...

Read more

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025

IA bukan Abraham Lincoln, tapi Abraham dari Lionbrew. Bedanya, yang ini tak memberi pidato, tapi sloki bir. Dan panggungnya bukan...

by Dede Putra Wiguna
June 6, 2025
Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali
Khas

Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali

BUKU Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., memperkaya perspektif kajian sastra,...

by tatkala
June 5, 2025
Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas
Khas

Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

“Kami tahu, tak ada kata maaf yang bisa menghapus kesalahan kami, tak ada air mata yang bisa membasuh keburukan kami,...

by Komang Sujana
June 5, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co