Pada tahun 80-an, malam purnama terasa begitu istimewa di kampung saya, Nusa Penida. Kehadirannya sangat dinanti-nantikan oleh para warga mulai dari anak-anak, remaja dan termasuk orang tua. Pasalnya, hanya pada momen bulan purnama, para warga dapat memperpanjang aktivitasnya dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat.
Bagi anak-anak, purnama adalah momen bermain. Bermain gala-gala, gajig-gajigan, goak-goakan dan lain sebagainya. Pun momen mendengarkan cerita. Itulah yang sering saya lakukan dengan saudara, sepupu dan termasuk mindon. Kami duduk-duduk di natah rumah, beralaskan batu lempeh, sambil mendengarkan cerita dari kakek saya.
Kakek saya termasuk penjaga literasi lisan yang konsisten. Beliau memiliki beberapa warisan cerita, yang ajeg dituturkan kepada anak dan cucu-cucunya. Zaman itu, kakek kami pandang sebagai referensi sastra yang berharga. Zaman ketika generasi ayah-ibu saya masih dominan buta aksara (tidak bisa baca-tulis).
Jika malam purnama tiba, kakek biasa bercerita banyak hal kepada cucu-cucunya termasuk tentang bulan. Menurut kakek, konon ada seorang nenek menenun di bulan. Nenek itu bernama Dadong Brayut. “Bagaimana Dadong Brayut bisa terdampar di bulan? Dengan siapa dia hidup di situ? Mengapa harus menenun? Apakah Dadong Brayut abadi, tidak bisa meninggal?” Kakek tidak bisa menjelaskan detailnya. Beliau hanya tahu bahwa di bulan hiduplah seorang Dadong Brayut, yang bekerja sebagai tukang tenun. Singkat, padat dan sulit untuk dikuak.
Begitu juga dengan fenomena gerhana bulan. Dari kakeklah pertama kali saya tahu bahwa gerhana bulan berkaitan dengan Sang Kalarau. Sejenis makhluk raksasa (buta) berkepala besar, tetapi tidak memiliki badan. Mahluk inilah yang konon memakan/ menelan bulan sehingga lenyap dari langit.
“Namun, gerhana bulan tidak berlangsung lama. Apalagi kita membantunya dengan memukul-mukul beberapa alat sumber bunyi. Ini akan membantu bulan dikeluarkan lebih cepat oleh Sang Kalarau,” kata kakek.
Zaman saya kecil, tradisi memukul-mukul alat sumber bunyi saat gerhana bulan masih sangat kuat. Saya ingat, pernah dimarahi oleh ibu karena momen gerhana bulan. Pasalnya, panci yang saya pukul menjadi penyok, karena saking semangatnya hendak menolong bulan. Saya memukulnya berkali-kali dengan sangat keras. Alhasil, gerhana bulan berakhir, tetapi saya mendapat amarah dari ibu.
Tidak hanya anak-anak, para remaja juga menyambut suka-cita momen malam purnama. Mereka menyambutnya dengan permainan, yang hampir sama dengan anak-anak. Hanya saja mereka bermain dengan teman-teman seusianya. Jenis permainannya pun tidak jauh berbeda.
Malam Purnama, Tradisi Nebuk, dan Kajakan
Lain halnya dengan perempuan dewasa dan ibu-ibu, momen purnama dijadikan aktivitas “nebuk” jagung. Dari tradisi nebuk ini lahir istilah mesak’ang, nyeruh, ngetak’ang, napinang dan nyeksek.Rangkaian proses nebuk menghasilkan produk utama bernama “kelanan”.
Nebuk adalah aktivitas menumbuk biji jagung dengan alat utama yaitu lu kayu dan lesung batu kapur. Umumnya, nebuk dilakukan secara bergrup oleh para perempuan desa yang perkasa, dengan jumlah anggota berkisar 2-4 orang. Setiap anggota berdiri melingkari lesung dengan lu di tangan.
Mereka menumbuk biji jagung secara bergantian sesuai putaran arah jarum jam. Setelah hunjaman lu pertama, akan diikuti hunjaman lu kedua teman sebelah kanan dan seterusnya. Sistematis, konsisten dan terukur sehingga hampir nihil kasus kecelakaan. Ya, karena ini memang wilayah domestik kaum wanita di desa saya.
Proses penumbukan pertama disebut “mesak’ang” yakni memisahkan kulit biji jagung dengan dagingnya. Caranya, biji jagung ditumbuk berulang-ulang, kemudian diangkat ke dalam wadah tempeh. Selanjutnya, masuk ke proses “napinang” yaitu mengayun-ayunkan hasil tumbukan di dalam tempeh untuk memisahkan (memfilter) kulit biji jagung dari dagingnya. Produk mesak’ang ini berupa oot jagung, yang biasa dimanfaatkan sebagai dagdag atau pakanan babi.
Sementara itu, daging jagung yang difilter, ditumbuk untuk kedua kalinya. Penumbukan yang kedua ini disebut “nyeruh”. Daging jagung yang ditumbuk-tumbuk dimasukkan kembali ke dalam tempeh lalu melewati proses napinang lagi. Produk yang dihasilkan dari proses nyeruh yaitu daging biji jagung yang bersih, tetapi ukurannya masih besar.
Karena itu, harus ditumbuk ulang untuk ketiga kalinya. Namanya “ngetak’ang”. Proses penumbukan pada tahap ngetak’ang sedikit berbeda. Lubang lesung batu bagian bawahnya, dialasi dengan batu hitam (bulitan) setebal kurang lebih 7 cm. Lapisi tambahan ini berfungsi untuk memaksimalkan proses peremukan biji daging jagung yang ditumbuk.
Selanjutnya, hasil tumbukkan dimasukkan ke dalam tempeh untuk proses “nyeksek”. Daging jagung (dalam tempeh) dibenturkan berulang-ulang miring ke bawah, untuk memperoleh kepingan bagian biji jagung yang kecil. Sementara, kepingan daging jagung yang besar kembali masuk ke tahap ngetak’ang dan nyeksek berikutnya. Proses ngetak’ang dan nyeksek dilakukan 2-4 kali, sesuai kebutuhan. Dari proses ngetak’ang diperoleh produk utama yaitu “kelanan”.dan beberapa kelanan sangat kecil, mincit serta bubur.
Status “kelanan” berarti kondisi bahan makanan yang siap untuk diolah. Olahan utama dari kelanan ini adalah nasi jagung, makanan pokok masyarakat NP. Kedua, bisa diolah menjadi tipat kelanan. Ketiga, dapat diolah menjadi penganan, misalnya kue “gendar”.
Aktivitas nebuk menjadikan malam di desa menjadi menggeliat. Hunjaman-hunjaman lu yang bertenaga membuat tanah terasa megejeran. Ditambah lagi, teriakan suka-cita anak-anak bermain menyeruak di bawah cahaya bulan. Hal ini menyebabkan purnama terasa riuh dan bergetar. Kehidupan desa seolah-olah terjaga.
Selain itu, purnama juga sering dimanfaatkan oleh warga untuk kegiatan “kajakan” mengangkut tain kaliang. Tain kaliang adalah material sisa galian sumur tadah hujan berupa tanah batu kapur. Tumpukan Tain kaliang ini digali dalam rentang beberapa hari. Untuk mengangkutnya ke atas, dibutuhkan personal yang cukup banyak.
Karena itulah, warga di kampung saya menyikapinya dengan sistem kajakan (gotong-royong). Para kerabat diundang mulai dari anak-anak, remaja dan para orang tua. Momen yang digunakan untuk mengangkut Tain kaliang ini yaitu malam bulan purnama.
Tain kaliang diangkut menggunakan wadah bernama “timpalan”. Timpalan dibuat dari anyaman daun kelapa yang tua. Wadah ini tergolong tahan banting, tahan pecah, tahan benturan dan praktis.
Mula-mula timpalan ini dikaitkan pada seutas tali, lalu dijatuhkan ke dasar sumur. Petugas yang mengisi material di bawah, bersiaga dengan skopnya. Ia mengambil timpalan, mengisinya dan mengaitkan kembali pada tali untuk ditarik ke permukaan.
Tain kaliang dimanfaatkan sebagai tanah urug atau pondasi “klabah”. Pembuatan klabah diperuntukan pada sumur yang berada di luar pekarangan rumah. Tain kaliang dikumpulkan dan ditumpuk-tumpukkan di dekat mulut sumur—hingga menyerupai papan bidang berbentuk persegi panjang lalu dirabat dan diplester. Posisi permukaannya lebih tinggi dari mulut sumur. Inilah yang disebut klabah (penampung air hujan sementara).
Permukaan bidang klabah tidak rata. Bagian belakang dan sampingnya lebih tinggi. Begitu air hujan jatuh, langsung berlarian ke bagian tengah, menuju permukaan titik depan-tengah klabah yang paling rendah. Pada titik inilah dibuatkan lubang penghubung klabah dengan mulut sumur.
Pelarian air yang jatuh di atas klabah berakhir pada dasar sumur yang diplester. Untuk mendapatkan air yang bersih, ujung lubang klabah dilapisi dengan penyaringan. Jika ada sampah daun yang ikut terbawa air hujan, maka tidak akan langsung jatuh ke dalam sumur, karena tersangkut pada penyaringan.
Ketika bergotong-royong mengangkut tain kaliang, kekompakan dan semangat kerja warga sangat terasa terutama dari kalangan anak-anak. Sambil mengangkut tain kaliang, mereka membayangkan nikmatnya Abug khas Nusa Penida. Abug menjadi penganan wajib (sebagai pendamping kopi/ teh) dalam aktivitas kajakan mengangkut tain kaliang.
Abug terbuat dari singkong (diparut), kelapa (diparut), gula merah, pisang dan kacang merah. Singkong dan kelapa yang diparut dicampur menggunakan jari tangan lalu diisi dengan garam secukupnya. Adonan ini dibungkus dengan daun pisang.
Sebelum dibungkus, di tengah-tengahnya diisi irisan gula merah, permukaan lainnya diisi dengan beberapa kacang merah. Bentuk dan teknis bungkusannya mirip sumping bali. Pun teknis pengukusannya tidak jauh berbeda. Hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 40 menitan, adonan abug akan menjadi matang.
Tahun 80-an, warga di kampung saya sudah mulai “mandiri air”. Rata-rata setiap KK mampu membuat sumur tadah hujan, sebagai stok air hujan dengan volume yang bervariasi. Besar kecilnya volume air yang dibuat tergantung kemampuan ekonomi warga.
Sebelumnya, masyarakat di kampung saya bergantung pada air semer. Air semer adalah air bawah tanah. Keberadaannya jauh dari permukiman warga. Berada di bawah tebing, dengan posisi jalan setapak yang terjal. Dulu, satu-satunya sumber air kehidupan warga di kampung saya ialah Semer Gamat Dulu.
Semenjak warga mampu membuat sumur tadah hujan, ketergantungan pada semer pelan-pelan berkurang hingga bisa melepaskan diri. Pembuatan sumur menjadi kebutuhan vital setiap KK. Dalam proses pembuatannya, rupanya tidak lepas dari peran bulan purnama, sang cahaya semesta.
Selain bermain, nebuk dan gotong-royong (kajakan), malam purnama juga dimanfaatkan oleh warga untuk acara kekeluargaan. Beberapa keluarga memanfaatkan malam purnama sebagai acara makan bersama di natah rumah. Mereka duduk-duduk di atas batu lempeh, menikmati makanan, menikmati cahaya bulan, sambil bercerita-cerita ringan, bercanda, tertawa dan lain sebagainya.
Tidak hanya mempererat tali kekeluargaan, purnama juga menyebabkan para warga merasa sangat dekat dengan alam. Ada rasa kesadaran langit. Ada rasa kesadaran bumi. Ada rasa kesadaran kemahakuasaan Tuhan.
Dari momen purnama inilah, kami diajari tentang spiritual ala lampau. Spiritual yang sangat personal—tak membutuhkan pengakuan banyak orang. Cukup rasa diri sendiri, alam dan Tuhan.
Pada Dadong Brayut, kami diajari tentang kesadaran bulan dan langit. Sedangkan, pada Kalarau, kami diajari tentang kekuasaan raksasa. Kekuasaan yang hendak mengaburkan kuasa Tuhan.
Karena itu, ketika listrik masuk ke desa kami tahun 90-an, kehidupan warga berubah. Tidak harus menunggu waktu sebulan untuk berpesta cahaya. Sebaliknya, setiap hari warga desa menikmati cahaya lampu. Lampu setir/ templek masuk ke gudang rongsokan, dan sekaligus mengakhiri cerita mangsi pada bulu hidung.
Kemudian, muncullah radio, tape recorder dan televisi sebagai tren atau kegandrungan baru. Para warga lebih banyak menghabiskan waktu dan perhatiannya pada benda-benda ajaib, ciptaan manusia tersebut. Mereka tak punya waktu lagi untuk memandang bulan purnama walau hanya sedetik.
Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba saya merasakan Dadong Brayut sudah meninggal. Sementara, Kalarau gentayangan menyusup ke dalam radio, tape recorder, televisi dan arus listrik. Lalu, saya melihat bulan purnama pecah berkeping-keping pada setiap mata warga desa.[T]