Orang awam beranggapan bahwa Nyepi (sehari hening berdiam diri) adalah tradisi orang Bali menyambut tahun baru Śaka. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar.
Memang betul terjadi pergantian tahun Śaka sehari setelah rangkaian upakara Tawur Kesanga dan Nyepi di sekitar bulan Maret. Tapi Nyepi tersebut bukan dalam rangka menyambut tahun baru.
Di Bali ada beberapa Nyepi lokal yang tidak ada hubungannya dengan pergantian tahun.
Nyepi adalah rangkaian dan persyaratan upacara agung bhuta-yadnya yang dikenal sebagai “caru” dan “tawur”. Setiap upacara bhuta-yadnya berupa ‘tawur’ atau ‘caru’ mensyaratkan diadakan Nyepi: ‘Brata-panyepian’ — pengekangan diri dalam sepi-hening — keesokan hari setelah digelar upacara “caru” atau “tawur”.
Karena hanya ‘Tawur Kasanga’— penyucian atau ruwatan bumi dan jagat sekitar bulan Maret (atau Kasanga dalam istilah Bali) — diselenggarakan serempak di setiap desa-desa di pulau Bali, maka yang hanya Nyepi Tawur Kasanga yang diselenggarakan secara serempak se-pulau Bali.
NYEPI-NYEPI LOKAL TIDAK TERKAIT PERAYAAN TAHUN BARU
Ada berbagai upakara bhuta yadnya, yaitu ‘caru’ dan ‘tawur’ yang dilakukan di Bali. Karena penyelanggaraan bersifat lokal, seperti sebatas desa, atau subak, atau pesisiri desa tertentu, atau kelompok wilayah tertentu, maka keesokan harinya diadakan Nyepi yang bersifat lokal.
CONTOH NYEPI-NYEPI LOKAL:
- Nyepi Abian (sehari dilarang ke kebun).
- Nyepi Subak (sehari sampai 3 hari dilarang bekerja di sawah)*
- Nyepi Desa (beberapa desa merayakan ruawatan khusus setelahnya tidak boleh ada aktivitas di desa bersangkutan)
- Nyepi Luh — Nyepi Muani
- Nyepi Pasih/ Laut/ Sagara
– NYEPI ABIAN
Krama Subak Abian di Desa Belatungan, Tabanan, memilik ‘Nyepi Abian’ yaitu tidak melakukan aktivitas pertanian, atau semua petani pantang datang bekerja ke kebun selama satu hari penuh. Nyepi Abian merupakan rangkaian ‘Upacara Nyiwi’ yang di Pura Subak yang ada di desa setempat. Dalam upakara ini Krama Subak memohon Tirta untuk dibawa ke rumah yang selanjutnya digunakan pada saat persembahyangan penyucian di kebun masing-masing. Upakara ini ditandai dengan sesaji ‘Tipat Sai’ (Ketupat Sai) dihaturkan di tempat pemujaan di kebun masing-masing petani (atau disebut Pelinggih Abian). Tujuannya memohon kesuburan.
– NYEPI SUBAK/SAWAH
- Desa Pakaraman Bangal Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten Tabanan melaksanakan ‘Nyepi Subak’ karena merupakan persyaratan setelah ‘Upakara Metabuh’ harus ada sehari Nyepi. ‘Tabuh’ adalah upakara ruwat sekaligus memohon kesuburan pertiwi.
- Nyepi Sawah di Krama Subak Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, kalau tidak salah, disebutkan ada dua versi. Jika petani menanam padi Bali yakni padi beras merah, krama melaksanakan Nyepi selama tiga hari. Sebelum Nyepi, digelar upacara ‘Nangluk Merana’. Jadi ‘penyepian’ adalah persyaratan dari Upakara Nangkluk Mrana (memohon terbebas dari hama). Warga dan petani dilarang masuk areal persawahan atau subak.
– NYEPI DESA
- Nyepi Desa di Desa Pakraman Kintamani adalah rangkaian dari pujawali di Pura Dalem Pingit Desa Pakraman Kintamani. Nyepi Desa ini menjadi momentum penyucian desa dengan mengajak semua warga desa tidak berpergian ke luar desa dan berdoa sepanjang hari Nyepi Desa.
- Tiga desa pakraman di Karangasem (Desa Pakraman Tanah Ampo, Manggis, Karangasem dan Desa Datah) melakukan penyepian desa terkait ‘Ngusaba Segeha’ serta ‘Ngusaha Dalem’ di ketiga desa itu. ‘Ngusaba’ tersebut adalah upakara penyucian desa dari segala macam hal buruk.
- Desa Banyuning, Buleleng, melakukan penyepian sehari setelah Upakacara Pecaruan di Catus Pata Desa Banyuning. Desa ditutup selama sehari sekalipun jalan nasional masih diijinkan dilewati kendaraan, namun krama/warga setempat melakukan Catur Brata Penyepian: Amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan).
Beberapa desa dan subak yang melakukan penyepian tersebut di atas hanyalah ilustrasi bagaimana sebenarnya ‘penyepian’ itu adalah persyaratan dari ritual ‘ruwatan bumi’, ‘permohonan kesuburan’, ‘mengalau hama’, ‘prayascita’ dll.
— NYEPI LUH-MUANI
Nyepi yang terhitung sangat khas dan unik, tidak dirayakan umumnya di desa lain, adalah Nyepi Luh ( Predana) dan Nyepi Muani (Purusa) yang wajib dilaksanakannya oleh warga desa adat Ababi, kabupaten Karangasem.
Muani = laki dan Luh = perempuan. Pelaksanaan kedua Nyepi Purusa dan Nyepi Luh juga berlangsung setiap tahun sekali, tetapi waktu pelaksanaannya berbeda hari, selisih sebulan.
Nyepi Luh dilaksanakan pada hari tilem kapitu (bulan glapp ketujuh perhitungan Bali) terkait dengan upacara agama di Pura Kedaton Desa Adat Ababi. Nyepi Muani dilaksanakan dalam tempo waktu sebulannya kemudian, tepatnya pada hari tilem kaulu (bulan glapp kedelapan perhitungan Bali). Pelaksanaan hari Nyepi Luh baru di berlakukan keesokan harinya setelah puncak upacara piodalan di Pura Kedaton Desa adat Ababi. Perempuan melaksanakan amati karya yaitu: tidak boleh bekerja, libur total, tidak boleh ada aktivitas atau kerja sehari–hari di rumah, tidak berpergian, dan ada larangan kerns untuk tidak mengendarai kendaraan bermotor, berlaku 12 jam dimulai pada pagi hari sampai jam 5 sore. Kulkul (kentongan) Pura Puseh dipukul ini tanda mulai dan berakhirnya Nyepi.
— NYEPI SAGARA ATAU LAUT
Segara/Pasih berarti pesisir pantai, laut maupun pasih. Nyepi Segara = tidak adanya aktivitas dan hening, sipeng di pesisir pantai dan laut .
Tradisi ini ada di Nusa Penida, dilakukan dalam rangka upacara Ngusaba Agung Penyejeg Jagat, dilaksanakan setahun sekali, setiap Punamaning Kapat sekitar bulan Oktober. Sehari setelah upacara pengusaban dilaksanakan upacara mepekelem. Keesokan harinya dilakukan Nyepi Segara selama 1 hari penuh, pukul 06.00 pagi sampai pukul 06.00 pagi keesokan harinya.
Tidak boleh ada kegiatan di laut, seperti: Bertani rumput, memancing, penyeberangan, memanen rumput laut. Semuanya dihentikan dalam sehari.
UPAKARA LAIN YANG MENGAMANATKAN NYEPI
Dalam Hindu Bali, sebenarnya, masih ada beberapa ritual lainnya mensyaratkan ‘penyepian’ sepanjang ritual tersebut memakai sesaji atau banten sebagai berikut:
- BANTEN BIAKAON
- BANTEN PANGRESIKAN
- BANTEN PRAYASCITA
- BANTEN DURMANGGALA
Sebagai contoh, di masa lalu, sepasang pengantin yang menjalani upakara ‘biakaon’ diwajibkan untuk melakukan salah satu ‘brata penyepian’ yaitu tidak diperbolehkan bepergian ke lain desa, harus berdiam di rumah selama 3 hari setelah menjalani upakara ‘biakaon’ tersebut.
Saya sendiri di masa kecil pernah ‘mabrata nyepi diri’ tidak boleh ke dapur selama 3 hari dan semua makanan diambilkan oleh ibu saya setelah menjalani ‘upakara Tubah’ (Matubah). ‘Tubah’ adalah semacam ‘prayascita alit’ (penyucian buana alit) ditujukan bagi orang Bali yang hari kelahirannya tergolong ‘berat’.
Berdiam diri di rumah (amati lelungan) diiringi doa serta ikhtiar penyucian diri itu disebut masekeb (mengurung diri secara lahir batin), bisa juga disebut sebagai ngeka-brata (Eka Brata).
Begitulah ‘panyepian’, ia adalah ‘ruang terbuka’ yang memberikan ‘instrumen magi’ bisa bekerja dengan ‘efektif’. Secara filosofis ini adalah ruang atau jeda untuk merenung. Ruang dimana kita khusuk-masuk ke dalam kontemplasi diri.
KENAPA UPACARA TERSEBUT MEMERLUKAN NYEPI?
Jika diibaratkan ‘membersihkan’ pusaka, maka ‘nyepi’ adalah penyucian dengan berbagai “ramuan-obat-pembersih noda” yang dikenal sebagai caru & tawur, serta berbagai sesaji upakara bhuta yadnya. “Ramuan-obat-pembersih noda” ini harus dibiarkan bekerja sehari dalam diam, seperti proses merendam ‘pusaka” yang ingin dibersihkan. Tujuannya: Agar berbagai ramuan pembersih noda-pengharum-pelembut bereaksi, bekerja dan menyusup. Agar luntur noda, klesa dan kekotoran secara tuntas tanpa diganggu oleh aktivitas yang lain, harus dijaga dan dibiarkan hening-terendam dalam sehari.
‘Ruwatan bumi’ (Tawur) untuk desa-desa dan bumi, ‘permohonan kesuburan’ (penyiwian) untuk perkebunan, ‘ritual mengalau hama’ (Nangluk Mrana) untuk persawahan/subak, ‘ritual penyucian’ (Prayascita) untuk berbagai leteh/kekotoran niskala adalah ritual Tantrik yang mengunakan mantra-stava dan berbagai sarana sesaji yang dipercaya punya daya magis yang bisa bekerja secara gaib.
Menjaga proses semua ritual tawur dan berbagai sesaji bhuta yadnya agar bekerja maksimal secara niskala mewajibkan adanya ‘nyepi’ atau “pengendapan batiniah secara hening” (heninging kayun).
Tawur dan caru dari berabab-abad lampau dijalankan sebagai tradisi magis penyucian alam, mengembalikan keseimbangan kosmik. Pengembalian gaib ini disebut ‘somya’. Supaya ‘ruwatan bumi’, ‘permohonan kesuburan’, ‘ritual mengalau hama’, ‘ritual prayascita’ dll bekerja secara magis & efektif, harus ada ruang tenggang atau jeda dari masa ‘nyomia’ (proses penyucian) selama sehari. Sehari penuh untuk menjaga agar semua doa-mantra-stava-sesaji tawur berkerja efektif secara gaib ini dikenal sebagai NYEPI. [T]
Catatan:
- Artikel ini penyempurnaan dari artikel berjudul Berbagai Nyepi yang Dirayakan di Bali & Latar Belakangnya yang merupakan Catatan Harian Sugi Lanus 27 Maret 2017.