Ada yang berbeda antara ide menulis cerpen dan “idea puisika”.
Ide menulis cerpen itu bisa jadi hasil olah logika, tapi “idea puisika” itu, tidak logika. Ia sebuah “bisik yang jujur”, “bening”, “mengharukan”, sekonyong-konyong mengantar dirinya sendiri. Lalu, jadi bulat lengkap bentuk puisi ketika dituliskan.
Kalau datang “idea puisika” — ini istilahku untuk membedakannya dengan “ide biasa” — maka kesadaran kita menjadi patuh. Manut. Pikiran dan kemampuan diksi kita hanya pelayan dari “idea puisika” itu.
Jika ada orang-orang canggih menyusun kata, dan giat mempekerjakan diksi yang canggih semata, tidak menulis berdasarkan “idea puisika”, maka kita tahu itu hanya igau, perbengkelan kata-kata, penyulaman dan tambal sulam yang tidak greget. Bisa memukau secara sintaksis, tapi minim rasa haru.
Datang dan munculnya “idea-masa lalu”, atau “past-life-idea”, datang sejujur “idea puisika”.
Energi peristiwa dari masa lalu, yang datang dari kehidupan sebelumnya kita sekarang, seperti buih ombak yang tidak sepenuhnya pecah. Basah.
Sama dengan “idea puisika”, kalau kita kawal dengan kemampuan riset, dan penuh patuh pada “idea puisika” itu, maka kata-kata lain akan datang mengiringi. Memberi penjelas.
Begitulah, “past-life-idea” itu, kalau muncul, kita ikuti dan jalani dengan patuh, dengan khusuk, akan mengantar pada kejutan-kejutan selanjutnya, yang akan membentuknya utuh bulat, seperti puisi yang berujung-pangkal dari “idea-puisika”, selesai dengan rasa lega.
Jadi, tujuannya, ketika kita ketiban “idea-puisika” adalah mengantarnya sampai utuh bulat jadi puisi. Demikian juga perihal ketika di benak tiba-tiba berdesir muncul “idea-masa-lalu”, yang datang demikian mengharukan, demikian jujurnya; hanya diperlukan kepatuhan mendengar dan mengantarkannya bulat utuh menjadi “narasi yang selesai”.
“Hal-hal yang tidak selesai di masa silam” kita kawal patuh, kita dengar utuh, agar bisa terselesaikan menjadi bulat utuh di kehidupan ini.
Orang yang tidak pernah menerima dan mengalami kedatangan “idea-puisika” mungkin tidak akan pernah merasa apa yang kita rasakan sebagai hal yang masuk akal. Tidak masuk akal ada “ide di atas ide”, tidak masuk akal ada “pikiran di atas pikiran”. Demikianlah, “idea-masa-silam” tidak masuk akal bagi orang-orang yang tidak mengalami. Memang tidak masuk akal: Sebab tidak perlu hal itu dinalar dengan akal, hal itu juga tidak meminta untuk dimasukkan dalam akal. Jika “ide-puitika” dimasukkan ke akal, maka ia tidak akan pernah terhantar bulat utuh menjadi puisi. Ia akan mati prematur. Apa lagi kita sangkal, maka ia akan pamit. [T]