Ketika menjadi juri Lomba Esai Timbang Buku Sastra Bali Modern yang diselenggarakan media online/jurnal Suara Saking Bali, saya tertarik satu peserta. Karyanya berjudul Wangchi Wuhan: Suasana Pandemi dan Luapan Perasaan.
Karya tulisnya memang biasa-biasa saja. Namun, nama penulis dan biodatanya yang membuat saya agak tertegun. Nama: Siti Noviali. Jenis kelamin: Perempuan. Tempat lahir: Denpasar. Agama: Islam.
Mungkin bukan sesuatu yang benar-benar langka seorang muslim punya perhatian yang besar terhadap bahasa Bali, karena agama tak punya hubungan langsung dengan bahasa. Bahasa Bali boleh ditekuni oleh orang yang beragama apa pun, begitu juga bahasa Jawa, Sasak, apalagi bahasa Inggris.
Namun, meski tak begitu langka, saya tetap ingin tahu, perempuan seperti apakah yang begitu lancar menulis kritik tentang sastra berbahasa Bali dalam lomba itu? Apalagi, untuk menulis kritik Sastra Bali Modern, tentu setidaknya ia suka membaca buku-buku Sastra Bali karya penulis-penulis dari Bali. Seorang Muslim membaca buku sastra Bali dan kemudian menulis kritik terhadap buku itu, bisa dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa di tengah banyaknya muncul kekhawatiran tentang anak-anak muda di Bali yang tak terbiasa berbahasa Bali.
Karyanya Siti Noviali memang tak keluar sebagai juara, dan hanya masuk nominasi 20 besar. Namun, bagi saya, Siti Noviali adalah peserta istimewa, sehingga, setelah pengumuman lomba, saya menghubunginya melalui WhatsAp (WA).
Dan saya tahu kemudian, Siti Noviali bukanlah orang baru dalam pergaulan di dunia Sastra Bali Modern, dan bukan orang yang asing juga dalam akivitas orang-orang yang menjadi pecinta dan penyayang bahasa Bali. Sejak SD hingga SMA ia sudah tertarik menekuni bahasa Bali. Ia bahkan sering ikut lomba nyurat (menulis) di atas lontar dan lomba-lomba lain yang berhubungan dengan bahasa Bali.
SD ia selesaikan di SDN 9 Sesetan, lalu masuk SMPN 6 Denpasar, dan kemudian masuk SMAN 5 Denpasar. Setamat SMA ia meneguhkan hati untuk kuliah jurusan Sastra Bali di Universitas Udayana.
“Saya ingin mempelajari lebih dalam tentang bahasa, aksara dan sastra Bali. Oleh karena itu, saya memilih untuk mengambil kuliah jurusan Sastra Bali di Unud,” kata Siti.
Di kampus itulah ia belajar secara serius ilmu dan pengetahuan bahasa Bali, sekaligus juga belajar berbicara bahasa Bali, terutama bahasa Bali alus. Sampai ia tamat, Februari 2021, dan lima bulan kemudian ia menjadi guru pengajar bahasa Bali di SMP Tunas Harapan Jaya, Denpasar di Pemogan.
Bagaimana ia bisa tertarik menulis kritik Sastra Bali modern?
“Saya tertarik menulis ulasan atau kritik sastra Bali Modern itu berawal dari menjadi tukang cacad (narasumber pengkritik) dalam kegiatan Bedah Buku Online yang diadakan oleh Suara Saking Bali,” kata dia.
Dari kegiatan itulah ia jadi senang mengulas lebih mendalam isi dari karya sastra Bali.Ia mencoba menulis sejumlah kritik terhadap sejumlah buku, sampai kemudian ia melihat informasi lomba kritik sastra Bali modern di media sosial.
“Saya tergugah untuk mengirim ulasan, walaupun masih amburadul,” kata Siti.
Buku diulas dalam lomba itu adalah buku Kumpulan Cerpen Wangchi Wuhan karya IBW Widiasa Keniten.
“Setelah saya baca, keseluruhan isi dari buku menggambarkan suasana di awal-awal pandemi. Jadi saya merasa flashback ke masa-masa saat itu. Penggambaran suasana itu sangat menarik menurut saya dan ingin saya bagikan melalui sebuah ulasan,” kata Siti..
Selain menulis kritik tentang buku Kumpulan Cerpen Wangchi Wuhan, sebelumnya ia sudah pernah menulis kritik terhadap Buku Kumpulan Cerpen Ngipiang Jokowi karya I Made Sugianto dan dipublikasikan di tatkala.co.
Kini ia sedang tertarik untuk menulis ulasan atau kritik terhadap Buku Kumpulan Cerpen Event Organizer dan Novel Sentana karya Made Sugianto.
Ia memang suka membaca buku karya Made Sugianto, seorang pengarang yang dikenal sebagai Perbekel Desa Kukuh, Marga, Tabanan, sekaligus pengelola Penerbit Pustaka Ekspresi.
“Saya memang ngefans sama Pak Made Sugianto,” katanya.
Nah, bagaimana cerita awal-mula Siti Noviali tertarik dengan bahasa Bali, kuliah di jurusan bahasa Bali dan kini menjadi guru bahasa Bali?
“Jadi begini, Pak, ibu saya orang Bali (dulunya Hindu). Asalnya dari Batubulan, Gianyar. Bapak saya dari Lombok. Kemudian setelah menikah ibu saya menjadi mualaf, menjadi muslim. Saya lahir dan besar di Bali. Dari kecil sudah terbiasa dengan lingkungan masyarakat Bali. Teman-teman juga dominan orang Bali. Berbicara di rumah juga kadang pakai bahasa Bali. Malah saya tak bisa berbicara pakai bahasa Sasak,” ceritanya.
BACA KARYA SITI NOVIALI:
- Wangchi Wuhan: Suasana Pandemi dan Luapan Perasaan
- Catatan Harian Perbekel dalam Kumpulan Cerpen “Ngipiang Jokowi”
Keluarga Siti Noviali sangat mendukung minat Siti menekuni bahasa dan sastra Bali. “Jadi, saya selalu di-support setiap kegiatan yang saya tekuni, terutama yang berkaitan dengan sastra Bali,” katanya.
Dengan siapa Siti Noviali belajar bahasa Bali?
Di kampus, Siti mengaku banyak belajar nyurat aksara Bali dengan Pak Nala Antara. Di rumah ia belajar banyak dari ibunya. Dan tentu saja ia juga banyak belajar dari teman-temannya yang kebanyakan memang berbahasa Bali.
“Saya biasanya suka dengar orang ngomong pakai bahasa Bali. Biasanya ibu dan temannya suka ngomong pakai bahasa Bali, terus saya ikut dan terbiasa pakai bahasa Bali,” katanya.
Di kampus, kata dia, biasanya dosen mengajar dengan menggunakan bahasa Bali, terutama bahasa Bali alus.
“Pertamanya masih klingang-klingeng tak ngerti bahasanya. Tapi lama-lama jadi nambah kosakata baru terutama bahasa Bali alus,” kata Siti.
BACA jUGA:
Tentang lontar, Siti mengaku belajar secara tidak langsung dengan Sugi Lanus, filolog yang memang banyak menulis tentang lontar. Ia pernah membantu membersihkan lontar-lontar milik Sugi Lanus, dan Sugi Lanus kerap sharing informasi tentang lontar dan usada. “Jadi saya belajar banyak juga tentang sastra Bali sama beliau,” katanya.
Sebagai guru bahasa Bali, apa harapannya ke depan?
“Harapan saya ke depannya bisa lebih fasih berbahasa Bali, terutama bahasa Bali alus. Karena sekarang menjadi guru dan anak-anak aktif bertanya. Jadi harus belajar, belajar, belajar lagi,” katanya.
Harapan lainnya, ia bisa membina siswa-siswa untuk ikut kegiatan dan lomba yang bersinggungan dengan bahasa dan sastra Bali. Ini tentu harapan yang mulia. Dengan pembinaan yang rutin, akan lahir anak-anak yang mencintai bahasa Bali, bukan hanya dalam lomba, melainkan juga dalam kehidupan keseharian mereka. [T]