(Esai kuratorial pameran kelompok Artheist, peserta pameran: I Gede Wahyu Simbrana, I Made Adi Udyana, I Kadek Dwiki Eri Semara, I Kadek Sangging Adi Apreliana, Si Ngurah Teguh Yuliartha, I Gusti Kade Dwi Kartika, Ida Bagus Rekha Bayutha, I Wayan Ega Arsana, I Made Adi Sumarjaya, dan I Made Arsad Tri Gunawan)
_____
Berkumpulnya 9 Anak Muda
Kemunculan kelompok-kelompok dalam perjalanan seni rupa di Bali paling tidak dapat diidentifikasi menjadi beberapa modus. Satu, yang beberapa kali berpameran bersama karena kebetulan saling mengenal lalu bubar setelahnya. Kedua, yang bergerak dan bertahan karena membawa ideologi yang sama untuk diperjuangkan lalu selesai/tuntas tercatat sebagai sebuah gerakan. Yang satu murni menunjukkan pencapaian artistik masing-masing anggota kelompok, yang lainnya menempatkan wacana yang diusung sebagai satu kekuatan kolektif.
Dua hal ini kemudian lebih banyak kita sebut sebagai persoalan bentuk dan isi, dua kualitas yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan baik dalam karya personal maupun gerakan kolektif. Sayangnya dewasa ini wacana dalam kelompok seolah disubordinasi, ia bertebaran dan terkaburkan oleh pernyataan-pernyataan pragmatis tentang kebutuhan dunia.
Ketika memutuskan untuk berkelompok, merawat sekaligus mempertanggungjawabkan ideologi adalah sebuah keharusan. Saya garisbawahi karena bisa jadi lain menurut pendapat orang lain. Menurut hemat saya sendiri, ideologi-lah yang menjadi semacam alasan mengapa kelompok itu harus ada, yang sekaligus menjelaskan apa diperjuangkan oleh kelompok tersebut. Ideologi yang dibicarakan pun sesungguhnya tidak melulu soal mengklaim diri atau menjustifikasi kelompok lain sebagai suatu kebenaran universal.
Mereka seringkali dicampuradukkan, padahal ideologi bisa dimaknai sebagai sebuah proyeksi pikiran atas sesuatu bukannya kebenaran objektif yang tak terbantahkan. Atas dasar pemikiran itu, saya melontarkan pertanyaan kepada 9 anak muda yang tiba-tiba datang bergerombol dan mengenalkan dirinya kepada saya pada satu malam di bulan November 2020 lalu:
“Apa yang ingin ditawarkan oleh kelompok mahasiswa ini?”
Kelompok yang menamai diri mereka ‘Artheis’ ini sepenuhnya beranggotakan mahasiswa seni lukis dari dua angkatan (2018-2019) di ISI Denpasar. Diantaranya yaitu I Gede Wahyu Simbrana, I Made Adi Udyana, I Kadek Sangging Adi Apreliana, Si Ngurah Teguh Yuliartha, I Gusti Kade Dwi Kartika, Ida Bagus Rekha Bayutha, I Wayan Ega Arsana, I Made Adi Sumarjaya, dan I Made Arsad Tri Gunawan.
Singkatnya, pertanyaan tadi dijawab dengan alasan yang amat eksistensialis. Namun setelah cukup sering berinteraksi dengan kawan-kawan Artheist, saya menyadari bahwa kelompok mahasiswa yang baru terbentuk sekitar akhir tahun 2020 lalu ini memang menunjukkan antusias yang besar dan positif untuk mendalami medan sosial seni rupa khususnya di Bali—selain karena itu adalah proyeksi mimpi-mimpi yang disuntikkan oleh semua kampus seni.
Mereka kerap berkumpul untuk berdiskusi, bertukar pikiran, membahas karya masing-masing, melakukan berbagai aktivitas kesenian bersama, seperti live painting/ on the spot secara berkala dan mengunjungi pameran bersama-sama. Hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah keputusan untuk menggelar sebuah pameran sebagai upaya menampilkan hasil eksplorasi serta gagasan mereka secara berkelompok. Selain untuk merawat bara semangat kelompok, mereka juga berkeinginan menguatkan akar berkesenian mereka dengan merumuskan sebuah tema khusus untuk membangun keterbacaan mereka sebagai sebuah kelompok.
Kehadiran kelompok-kelompok angkatan baru seperti Artheis ini tentu perlu diapresiasi, selain karena dibentuk oleh kesadaran pelukis muda yang masih menyandang status mahasiswa juga sebagai harapan mereka akan menjadi kelompok yang membawa spirit baru dan memberi angin segar kepada medan seni rupa Bali hari ini melalui gagasan-gagasan mereka. Seiring proses, mereka juga akan menemui persoalan-persoalan khas yang dialami tiap kolektif, menyoal manajerial misalnya.
Mulai dari mengatur program, menata jadwal, bagaimana merawat komunikasi dan hubungan, menjaga attitude, berkompromi dalam kolaborasi, hingga mempertimbangkan berbagai aspek di tiap pengambilan keputusannya secara inklusif. Saya percaya model pembelajaran organik seperti inilah yang akan memberi efek positif dan membangun karakter mereka masing-masing di hari esok, baik bagi yang kemudian meneguhkan tekat melanjutkan karir kesenimanannya secara profesional, maupun bagi yang lebih memilih berproses sebagai tenaga pengajar seni di sekolah-sekolah.
Pertemuan Kuta dan Mereka
Penetapan tema ‘Kuta Kita Kini’ sebagai jangkar kurasi merupakan hasil diskusi antara kurator bersama anggota kelompok Artheis yang berkeinginan menajamkan fokus pameran pada satu fenomena terkini, yang kemudian akan dijadikan sebagai titik berangkat dalam karya-karya yang dihadirkan. Dalam pameran ini, kawasan Kuta—dalam proses selanjutnya dipersempit menjadi objek wisata Legian—dipilih dan dipinjam sebagai wilayah pengamatan para anggota kelompok.
Kuta dipilih setelah mereduksi berbagai alternatif wilayah di Bali yang terdampak oleh wabah pandemi seperti Ubud, Sanur, Lovina, dan banyak lainnya. Proses mereduksi ini dimaksudkan untuk memudahkan penetapan tema serta pola kerja bertimbang pada kesesuaian dan efektivitas dari tujuan awal diinisiasinya pameran ini, yakni sebagai upaya awal dalam membangun kebiasaan berkarya lewat mengamati persoalan-persoalan pada locus yang dipilih secara sadar.
Kendati pun demikian, dipilihnya Kuta sendiri bukan hal yang paling utama dalam pameran perdana kelompok ini. Mereka bahkan tidak punya hubungan lahir-batin dengan Kuta. Wilayah Kuta sebagaimana disinggung di awal hanya dipinjam dan diposisikan oleh mereka sebagai ruang belajar alternatif, PR mereka yaitu menerjemahkan kondisi Kuta hari ini kedalam bentuk painting dengan pendekatan realistic.
Kondisi yang dimaksud adalah kondisi yang dapat sama-sama kita lihat pergeserannya seperti dalam pernyataan Hugh Mabbet dalam bukunya “In Prasi of Kuta”. Kuta bergeser… “dari Pelabuhan budak ke kampung nelayan lalu menjadi resort paling popular di Bali”. Saya hendak menambahkan, dari resort paling popular di Bali menjadi kota paling mati suri di Bali. Ia tampak jauh berbeda ketimbang kondisi “normal” sebelumnya. Inilah tantangan utama untuk para peserta pameran, selain perlu menjajagi dan mendalami wilayah pengamatan mereka juga dituntut peka dalam memilih angle yang akan dipakai untuk membahasakan hasil pengamatan masing-masing.
Tentang Kuta sendiri, lebih banyak mereka ketahui lewat mendengarkan pengalaman orang lain. Kalaupun akhirnya kesana adalah untuk urusan pekerjaan yang singkat, tidak banyak interaksi yang terjadi antara mereka dengan ruang Kuta yang penuh hingar bingar. Bahkan sempat muncul desas-desus dikalangan anak muda bahwa “tamu lokal tidak diterima di Kuta (karena beberapa alasan)”.
Ini adalah salah satu stigma yang mereka amini secara tidak sadar, yang juga akan diuji kembali secara bersama kevalidannya didalam proses penyiapan pameran ini. Terbatasnya pengalaman personal dan gambaran tentang Kuta oleh sebagian besar anggota, mendorong saya sebagai partner ngobrol kelompok ini mengajak semua anggota kelompok untuk lebih intens terlibat dalam ruang-waktu Kuta dan mengamati secara langsung bagaimana wajah Kuta kita kini yang telah dibentuk melalui perjalanan historisnya yang panjang.
Ketika seluruh peserta pameran bersama-sama untuk kali pertamanya datang ke Legian, yang dirasakan paling awal adalah perasaan berjarak, disusul canggung dan perasaan teror tak beralasan. Di hari-minggu-bulan selanjutnya, seiring dengan bertambahnya intensitas interaksi mereka, maka bermunculan pula pengalaman-pengalaman yang lebih baru.
Semua pengalaman ini kemudian dikonversikan menjadi semacam alternatif ide-gagasan yang akan divisualisasi oleh peserta pameran. Karena mengandalkan pengamatan serta pengalaman pribadi, maka metode ini tentu tidak terhindarkan dari hadirnya makna bebas. Ia menjadi semacam pembacaan baru yang validitas dan relibialitasnya bertimbang/merujuk pada si seniman sendiri.
Kecenderungan ini tampak pada karya I Gede Wahyu Simbrana, I Made Arsad Tri Gunawan, I Made Adi Udyana, dan Si Ngurah Teguh Yuliartha. Mereka membingkai kondisi Kuta hari ini yang seperti sedang mati suri ditengah kondisi pandemi. Lewat amatan mereka, terungkap tidak banyak ada aktivitas pariwisata yang dapat ditemui di kawasan Kuta. Industri pariwisata yang sejak lama dianggap sebagai salah satu sektor utama yang menopang perekonomian masyarakat Bali, kini hampir tidak berkutik sama sekali.
Kuta, yang selama ini pun mengandalkan tamu asing untuk menggerakkan perekonomiannya seolah sedang kehilangan arti pentingnya. Yang oleh Wahyu kemudian diterjemahkan kedalam karya dengan bentuk presentasi puzzle, ia mengajak para audiens untuk ikut masuk kedalam karyanya, ikut Menyusun-merangkai-memaknai ulang ‘Kuta’ yang ia analogikan dengan sosok Singa yang tengah berhibernasi. Kondisi Kuta hari ini juga tampak seperti dalam pernyataan Geertz yang ditegaskan ulang oleh Karya Adi Udyana,1 “Kuta adalah puting susu sumber zat-zat pedalaman untuk disedot”. Ia mengibaratkan kondisi Kuta hari ini seperti satu sisi payudara yang telah layu karena terus-menerus dieksploitasi, menyisakan satu sisi lainnya yang belum tersentuh.
Selain menilik persoalan Kuta sebagai destinasi pariwisata, karya-karya Wayan Ega Arsana, I Gusti Kade Dwi Kartika, dan I Kadek Sangging Adi Apreliana, juga mengungkap bagaimana aktivitas di pesisir Kuta lebih meningkat saat pandemi akibat banyak pelaku pariwisata yang kemudian banting setir menjadi nelayan (kembali). Lihat semisal karya Sangging Adi, potret-potret para nelayan digambarkan diatas permukaan kanvas berbentuk siluet kursi malas yang biasanya disandari oleh para pelancong.
Konteks serupa juga tampak pada karya I Made Adi Sumarjaya. Dalam lukisan Adi kita akan mengenali beberapa tokoh seni rupa Bali seperti Wayan Suteja Neka dan Agung Rai yang mengawali karir sebagai pedagang acung barang-barang seni yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai pemilik museum-museum berpengaruh sekaligus corong budaya di Bali.
Oleh Adi, mereka dihadirkan bersama dengan para pedagang acung lain yang ia temui di Kuta yang menjajakan varian barang mulai dari gelang, kalung masker, tato temporer, dan lainnya. Atau pada karya Gusti Kade (Gus Ade) yang mengubah para pelacong kedalam bentuk souvenir menggunakan medium cat air. Gus Ade melirik kesetiaan toko-toko artshop yang masih membuka gerai mereka meski belum tentu ada pengunjung yang akan mampir. Selain bentuk kesetiaan, itu adalah bentuk optimisme lain yang barangkali menjadi cara para pelaku pariwisata untuk melewati kekalutan ini.
Sementara itu Ida Bagus Rekha Bayutha (Gus Tut) lebih tertarik memberi pengayaan terhadap pengamatannya dengan mengaitkannya kepada beban historis yang dibawa Kuta. Lewat menimbang beberapa catatan tentang Kuta, kita mengetahui bagaimana Kuta telah menjadi tujuan wisata jauh sebelum Bali dikenal dunia Barat. Pada tahun 1336M misalnya pesisir Kuta yang kini dinamai Tuban telah dikunjungi berulang kali oleh pasukan Majapahit, dan sebaliknya masyarakat Bali yang berangkat ke Jawa bagian timur yang merupakan salah satu poros maritim Kerajaan Majapahit.
Gus Tut menyadari bahwa aktivitas hulu-hilir ini membawa pengaruh besar terhadap banyak aspek kehidupan masyarakat Bali khususnya Kuta kita kini. Oleh Gustut narasi tersebut diilustrasikan secara panoramic kedalam 3 panel kanvas yang disusun secara berurutan, menggambarkan 3 sekuen garis waktu, yakni kedatangan Kerajaan Majapahit, kedatangan bangsa Belanda, serta keadaan Kuta kita kini.
Secara keseluruhan, pada karya-karya yang ditampilkan dalam pameran ini terlihat kecenderungan gaya yang sama. Hampir seluruh peserta pameran menunjukkan indikasi menuju realisme berdimensi sosial yang hadir dengan pendekatan kritis terhadap fenomena Kuta kita kini. Kecenderungan ini di tengah ramainya corak seni lukis Bali belakangan—yang cenderung lebih dekoratif, naif, mengutamakan spirit menjadi yang paling “aneh=beda”—menjadi sangat menarik untuk kita simak bersama. Pasalnya seni lukis bernafaskan realisme dalam perkembangannya hari ini walaupun terus ada dan tampak ramai digeluti, mereka sesungguhnya tidak lagi banyak ditempatkan sebagai sebuah wacana yang kekinian, ia lebih terkesan sebagai yang klasik dan tertinggal dalam konteks seni rupa dan budaya kontemporer terlepas dari peranannya yang tergeser oleh teknologi fotografi, grafis komputer, dan lain sebagainya.
Karya-karya yang dihadirkan melalui pengamatan serta pendalaman yang terbilang cukup singkat yakni 4-5 bulan terakhir terhadap fenomena Kuta ini pun tidak bermaksud menjustifikasi Kuta. Terlepas dari pembacaan audiens yang hadir setelah melihat karya ini, saya lebih tertarik mengapresiasi karya-karya dari kawan-kawan muda ini sebagai salah satu bentuk kreativitas untuk merespon kondisi pandemi.
Seperti halnya yang dilakukan oleh para pelukis seperti John Singer Sargent pada tahun 1918 yang merekam kondisi flu spanyol dan kondisi eropa pada masa perang dunia pertama lewat karya-karya lukis cat airnya, Edward Munch yang melukiskan kondisi dirinya setelah terjangkit wabah flu spanyol, ataupun Pieter Bruegel yang melukiskan wabah Black Death di eropa pada abad ke-15. Demikian pula karya-karya mereka, adalah catatan yang merekam dan mengkristalkan momen Kuta kita hari ini yang larut ditengah pandemi serta merefleksikan segala kompleksitas kosmiknya.[T]
November 2021