Berjarak kurang setahun dari wafatnya Bung Umbu Landu Paranggi, dua orang sahabatnya menyusul pergi. Pertama Bang Ketut Syahruwardi Abbas, dan kini Bang DS Putra. Keduanya tak dapat dikatakan pergi mendadak jika dilihat bahwa mereka menghembuskan nafas terakhir setelah lebih dulu masuk rumah sakit meski sebentar.
Namun terasa tetap mendadak karena sebelumnya mereka baik-baik saja. Setidaknya dalam perjumpaan terakhir saya, mereka masih sehat walafiat. Bang Abbas, masih penuh semangat bicara puisi dan kepenyairan. Ia juga semangat bercerita tentang kasih keluarga dan rumah tangga. Begitu pula Bang DS, sekitar Juli lalu, masih ketemu di Rompoyok Kopi dan seperti biasa, lancar bercerita ngalur-ngidul.
Awal Januari, Bang DS terkabar masuk rumah sakit Sanglah. Saya segera kontak Nanoq da Kansas menanyakan keadaannya. Benar, kata Nanoq, ia jatuh tak sadarkan diri dan perlu operasi mengeluarkan cairan di otaknya. Saya berdoa untuk kesembuhannya. Berapa waktu kemudian saya bertanya kembali. Jawab Nanoq: masih belum sadar diri.
Untuk ketiga kalinya saya akan bertanya lagi. Namun, saat malam berhujan, Jumat, 21 Januari sekitar pkl. 20.29, Mas Nuryana Asmaudi lebih dulu mengabarkan: Bang DS sudah tiada. Saya terperangah, dan mendadak merasa kosong, hampa.
“Abang” Semua Kalangan
Di kalangan anak muda pecinta seni di kota Negara, ia biasa dipanggil “Abang”, atau “Bang DS”—dari nama lengkap Ida Bagus Ketut Dharma Santika Putra. Selain menandai usia lebih tua dibanding “gerombolan gradag-grudug” itu—lahir 22 Juli 1964—panggilan tersebut menyiratkan penghormatan di satu sisi, dan pengayoman di sisi lain.
Ya, kawan-kawan muda menghormatinya selayaknya seorang “abang”, kakak, atau orang yang dituakan; sebab dengan sikap seorang abang pula ia mengayomi mereka (yang kerap ia sebut “saudara muda” itu) untuk menjalani minatnya masing-masing. Ada di dunia seni budaya, jurnalistik, lembaga swadaya, pegawai, petani dan seterusnya. Di Jembrana ia membangun ruang bersama. Karena itu, panggilan “Abang” yang melekat pada hakikatnya bukan sebatas buat “saudara muda”, tapi dalam makna harfiah dan simbolik berlaku bagi semua kalangan.
Awalnya, secara fisik, ruang tersebut ia bangun melalui Pondok Seni Praba Gita, sebuah komunitas seni yang bertempat di rumahnya sendiri, Jalan Salya 16, Negara. Nama itu diambil dari nama dua putrinya, Gayatri Praba Putra dan Gita Prati Putra. Anak ketiganya laki-laki, Yudistira Prama Putra
Rumahnya sebenarnya tak terlalu besar dan tanahnya juga tak luas. Tapi penataan dan penempatan sejumlah bangunan terasa pas. Sisa ruang ditanami aneka bunga, dirawat oleh istrinya, Mbok Ketut Mahendri yang tampaknya suka berkebun. Di rumah yang asri dan nyeni itulah tempat ngumpul dan berdialog para pecinta seni budaya Jembrana. Namun yang datang dan meramaikan bukan hanya kalangan seni, melainkan lintas kalangan. Mulai petani, tokoh politik lokal, pejabat dan anggota dewan, dan seterusnya. Pembicaraan pun bukan hanya soal-soal seni dan kebudayaan, tapi meluas pada kebangsaan, pendidikan, Bali dan isu-isu terkini. Bung Umbu Landu Paranggi, jika melawat ke barat, punya satu kamar khusus di sini.
Dan di sana pula pertama kali saya berjumpa dengan Bang DS, entah kapan persisnya tak saya ingat benar. Sebab setelahnya cukup sering saya datang bertandang, termasuk setelah saya tinggal di Yogya. Setiap kali pulang ke Negara, kunjungan ke Pondok Seni selalu diagendakan. Ia akan menyambut hangat. Dengan kopi dan kepulan asap rokok, tentu saja. Sosoknya elegan, selalu berinisiatif membuka percakapan dan tak segan bertanya jika ada satu dan lain hal yang perlu ia ketahui. Sebaliknya, ia juga akan menyampaikan info-info terbaru, yang biasanya sudah ia olah dalam suatu gagasan. Ini membuka ruang dialog, dan diskusi pun terjadilah.
Pondok Seni Praba Gita, partner bagi komunitas seni lain di Negara. Jumlahnya cukup banyak untuk ukuran kota kecil ujung pulau itu. Bang DS beruntung punya tandem seperjuangan, Nanoq da Kansas. Sejumlah komunitas dengan kegiatan yang dijalankan dan dirawat Nanoq, tak lepas dari peran dan inisiasi Bang DS. Tanpa mengabaikan upaya-upaya personal Nanoq, boleh dikata Bang DS orang yang selalu berada di belakang layar. Maka melalui duet-duel pasangan ini, dunia seni Jembrana bergerak dengan caranya sendiri. Komunikasinya dengan kawan-kawan Denpasar—juga lintas kalangan—terawat baik dan silaturahim berlangsung timbal-balik via sapaan dan berbagi gagasan.
Jurnalisme Kampung-Halaman
Bang DS juga membuka ruang dalam ranah jurnalistik. Masih bersama Nanoq dan “pasukannya”, ia dirikan tabloid mingguan J-Post (Jembrana Post), disokong investasi “kecil-kecilan” dari Pak Ketut Sudenia. Tabloid ini bertahan cukup lama dan menjadi model bagi pengembangan jurnalistik kampung-halaman. Saya sempat ikut berpartisipasi mengisinya dengan esei-esei seni budaya.
Setelah itu, berganti GM (Gema Mebarung), sebuah media internal Pemkab Jembrana yang dikembangkan Bang DS dan Nanoq Cs menjadi mingguan umum. Bahkan terbit pula versi majalahnya, GM-Magazine, full-color, terbit sebulan sekali. Ada juga radio dan televisi daerah tapi saya tidak tahu apakah Bang DS juga terlibat langsung di sini. Meski begitu, saya yakin setidaknya ia terlibat secara “tak langsung” melalui sharing gagasan dan lain-lain hal yang ia sampaikan.
Pendek cerita, banyak buah kerja dan karya Bang DS di Jembrana. Pengalaman dan gagasannya kerap dibagikan di forum-forum publik, dan sebagai abdi masyarakat di Pemkab Jembrana (terakhir sebagai Kabid Politik dalam Negeri dan Ormas Kesbangpol) ia juga menyampaikan visinya. Untuk semua kiprahnya tersebut, ia menerima Penghargaan Bali Jani Nugraha tahun 2020. Meski disebut untuk kategori sastrawan, bagi saya mungkin lebih tepat sebagai budayawan yang penuh dedikasi.
Di mata Sutoro Eko, seorang pakar desa dari Yogyakarta, Bang DS itu orang yang unik sekaligus orang kuat di Jembrana. Ia seorang ASN tetapi cara berpikir dan bertindaknya beyond ASN. Ia budayawan, jurnalis, brahmana dan cendekiawan yang berpengaruh terhadap semua lapisan di Jembrana. Itu antara lain ditulis Sutoro Eko, di akun facebook-nya, 23 Januari, saat mendengar sahabatnya tersebut sudah tiada.
Jembrana-Yogya
Selain menarik mencermati jejak langkah Bang DS di dunia seni-budaya, tak kalah menarik dalam politik lokal Jembrana. Statusnya sebagai ASN tak menghalanginya untuk ikut “berpolitik”. Bukan politik praktis atau partisan. Ia lebih bermain di level gagasan, sehingga kadang terkesan ia sebagai think-tank partikelir yang perlu didengar. Dalam Pilkada misalnya, ia dekat dengan semua pasangan calon bupati, mungkin sekali sebagian memakai konsepnya untuk maju. Kedekatan ini, kadang bagi sebagian pihak dianggap kemungkinan ia “berdiri di dua kaki”, namun bagi saya lebih pada tanggung jawab moral untuk “mengawal” siapa pun yang terpilih.
Kedekatannya dengan mantan bupati Winasa, sebagai contoh, jelas terasa, terutama dengan walcome-nya sang bupati dengan program-program jurnalistiknya di lingkungan Pemkab Jembrana. Sejumlah diksi, istilah atau konsep yang pernah disampaikan Winasa, sedikit-banyak pernah saya dengar sebelumnya dari Bang DS. Sangat mungkin sudah terjadi dialog dan tukar pikiran di antara mereka. Bahkan tagline “Bali Harmoni” yang diusung Winasa saat maju sebagai Cagub Bali, tak asing di telinga saya sejak jauh hari.
Gagasan-gagasannya tentang kepemimpinan, lantas ia amflikasi melalui media Pemkab, kadang beresiko “pembesaran citra’ Winasa. Misalnya sang bupati selalu ditulis sebagai “Prof.” Kesan puja-puji itu pernah saya tanyai. “Itu hanya strategi, Dik,” jawabnya santai. Tujuannya lebih memaksimalkan program Pemkab Jembrana, memberi rasa bangga masyarakat pada sosok pimpinannya dan memberi spirit pada si pemimpin.
Dan sebutan “Prof.” itu, menurutnya bisa “guru besar”—yang secara akademik memang disandang Winasa—tapi bisa juga “profesional” menangani setiap program. Hanya saja, dalam masa akhir Winasa, sebutan itu menghilang dan jurnalismenya terkesan mendadak “oposan”. Apa yang terjadi? Ini yang belum sempat saya konfirmasi.
Meski demikian, ia sejak awal sebenarnya kritis terhadap Winasa. Sebagai bukti, Sutoro Eko di akun facebooknya lebih lanjut menyatakan bahwa saat memulai penelitian lapangan di Jembrana, 29 Oktober 2009, DS Putra berkata padanya:
“Bupati Winasa mempunyai dua sisi menarik. Anda pasti akan kecewa jika melihatnya hanya dari sisi reformasi, sebab di balik reformasi ada hasrat kekuasaan yang besar. Sebaliknya juga tidak tepat kalau melihatnya hanya dari sisi kekuasaan sebab Winasa telah terbukti melakukan reformasi.”
Selanjutnya bagaimana Bang DS “bermain politik” di Jembrana atau di Bali, saya tak banyak tahu sebab memang bukan minat saya. Saya hanya tahu bahwa ia punya ruang gerak tersendiri dalam dunia politik lokal ini, meski tampaknya siapa pun yang menang, toh tak mengubah posisinya. Misalnya saja dari segi jabatan dan pendapatan.
Sebagai ASN, jabatannya termasuk lamban naiknya, boro-boro kepala dinas; paling tinggi kepala bidang. Akan tetapi, sosoknya seolah wara-wiri di semua instansi, dan namanya jauh lebih populer dibanding para pejabat dan kepala dinas.
Dari sisi pendapatan, tetap saja ia mengandalkan gajinya sebagai ASN dan ia hidup dengan sederhana. Meski berhasil menguliahkan tiga anaknya di Yogyakarta, tapi saya tahu itu tak mudah. Ia sering ke Yogya sejak dulu karena mencintai atmosfir seni-budaya kota ini, dan ia akan menambah energi ke sini jika sudah merasa low di Jembrana.
Ia makin sering ke Yogya ketika anak-anaknya kuliah di kota ini. Ia sering berdua dengan istrinya, dan selalu naik bus. Ia punya langganan penginapan murah standar rumahan di bilangan Sosrowijayan; dan sesekali saja di Hotel Batik yang ada kolam renangnya. Setelah anaknya di Yogya, ia merasa nyaman tinggal di kontrakan mereka di pinggiran kota. Ia mengapresiasi kesahajaan hidup sebagian warga Yogya, dan mengkritik pembangunan hotelnya yang jor-joran, termasuk keberadaan becak mesin.
Baginya, becak mesin selain menyingkirkan becak konvensional, juga akan menambah semrawut jalanan kota. Suatu waktu saat mau naik becak, tukang becak memintanya menunggu sebentar. Tukang becak itu sedang menyelesaikan koran yang sedang dibacanya. Ia takjub akan hal itu, dan hal-hal kecil semacam itu. Baginya, itu memuat nilai pembelajaran dan humanistik. Sebagaimana ia tertarik pada sosok Mbah Lindu, yang diusia seabad masih bertahan menjual gudeg olahannya. Bukan hanya menyiratkan perjuangan keras, tapi tak kalah penting nilai pengabdian pada hidup.
Ini analog dengan bagaimana ia gelisah memikirkan kemungkinan langkanya air di Bali yang ekologinya makin tergasak pembangunan. Ia luaskan ke dalam persfektif spritual: berharap peran umat Hindu, sebab, katanya, bukankah ini “agama air”, tirta? Terasa sekali ulang-aliknya Jembrana-Yogya, menambah energi kreatifnya. Selain tentu menyenangkan orang-orang yang ia cintai, istri dan anak-anaknya.
Di Yogya, ia blusukan bersama mereka, bukan hanya ke tempat-tempat ikonik, juga tempat yang tak terlalu populer di mata publik. Ia misalnya, berkunjung ke Desa Kemusuk, kampung halaman Soeharto, dan sepulang dari situ menceritakan sejumlah pandangannya kepada saya. Saya sempat mengajaknya keliling ke Gunung Kidul, Candi Ratu Boko, Plered, dan lain-lain. Ia pun biasa bertemu tokoh-tokoh publik di Yogya, baik di kantor bersangkutan, di ruang galeri, angkringan atau dolan ke rumahnya.
Bali Kauh, Bali Lain?
Sangat menarik pula gagasannya tentang penempatan Jembrana dalam konstelasi sosial-budaya dan politik di Bali. Ia menyebut “Bali lain” untuk Bali Barat atau Bali Kauh, yang ia artikan berbeda karakteristiknya dengan kawasan lain di Bali. Bahkan sebutan Bali Barat itu sendiri sengaja dengan gencar dan konsisten ia terapkan, sebentuk upaya merebut titik-ekonomi-politis dalam peta geo-politik Bali yang memusat di tengah dan selatan. Sementara dalam ranah kultural, ia menyebutnya dengan lebih landai, yakni Bali Kauh. Saya sebut landai, sebab menyentuh wilayah historis yang bebas beban politis.
Penegasan Bali Barat atawa Bali Kauh ini, tatkala terkoneksi dengan konsep “Bali lain”, dapat dibaca sebagai upayanya “mengubah kiblat” dari satu orientasi utama, ke orientasi lain yang berbau alternatif. Salah satu penanda utama “Bali lain” adalah industri pariwisata. Jembrana, sedari dulu hidup dengan pertanian, perkebunan dan perikanan. Maka, Bali Barat tak bisa “berkiblat” sepenuhnya pada model pembangunan pariwisata di selatan. Jembrana harus membangun kiblat sendiri yang sesuai dengan sumber dayanya.
Namun ia juga melihat sektor tersebut belum maksimal digarap, bahkan terkesan setengah hati. Godaan pariwisata bagaimana pun tetap kuat. Padahal sektor itu mesti jadi andalan, dan jika muncul destinasi yang layak “dijual”, itu konsekwensi logis saja, bukan tujuan. Atau, jika mau masuk ke arena pariwisata, bisa dimulai dengan “menjual” secara kreatif seni-budaya Jembrana yang ia pandang memiliki kekhasannya sendiri.
Tegasnya, bagi dia, Bali Kauh tak bisa hidup dari pariwisata, dan dalam konteks Bali keseluruhan, janganlah sumber-sumber hidup dan pendapatan itu diseragamkan. Tiap daerah baginya punya potensi unggulan, dan itu mesti jadi skala prioritas. Jelas, Jembrana tak bisa mengelak dari perkebunan, pertanian dan perikanan. Termasuk sektor jasa, seperti transportasi ekspedisi karena posisinya di jalur lintas.
Dan itu terbukti, sejak pandemi Covid-19, pariwisata Bali mati suri, Jembrana sedikit lebih baik keadaannya dibanding daerah pusat wisata. Mungkin benar, dalam masa normal, daerah tujuan wisata di Bali akan hidup dengan pendapatan berlebih, sementara Jembrana tetap dengan pendapatan standar, akan tetapi ia lebih aman. Jika pun ada pariwisata, maka itu pariwisata budaya yang memberi tempat pada capaian local genius. Maka ia akan dengan fasih menyebut jegog mebarung, bungbung, hadrah, dan mekepung. Untuk makepung, ia sudah menerbitkan tulisannya dalam sebuah buku, Merangkai Tutur: Tradisi Mekepung sebagai Tradisi Warisan Budaya Nusantara (2014).
Pikiran di seputar “Bali lain”, kerap ia sampaikan dalam forum resmi dan diskusi ringan. Tapi sebagai penulis, ia juga menuliskannya dalam kolom “Lubang Kunci” di J-Post dan GM. “Lubang Kunci” semacam platform yang membuatnya mengintip segala sesuatu, dan selanjutnya ia kembangkan dengan imajinasi dan gagasannya sendiri. Mungkin ini satu “PR” bagi kawan-kawan Jembrana untuk menghimpun, menyunting dan menerbitkan tulisan-tulisan Bang DS, utamanya di Lubang Kunci.
Apakah gagasan “Bali lain” itu membuat efek liyan bagi orang Bali sendiri, khususnya yang tinggal di Jembrana? Tentu tidak. Sebab pikiran tersebut bukan ruang kosong, tapi berangkat dari ruang-ruang historis kultural Jembrana yang ia lihat dengan persfektif unik. Ia tak segan menyebut dan mengakui bahwa Jembrana ini dulunya adalah kawasan hutan dan menjadi tempat “buangan” para oposan atau penentang raja dari pusat-pusat kekuasaan di Bali. Oleh karena itu, ia punya keberagaman watak dan daya hidup (survive) yang tinggi. Dan juga daya kritis untuk melihat sesuatu yang mainstream.
Bang DS terkesan dengan ungkapan Umbu yang menyebut “Kota Negara itu bagai sepotong Yogya.” Maksudnya, atmosfir berkesenian dan kesetaraannya. Maka ia berusaha menjaganya. Rajerbabat dan Gradag-grudug Budaya, yang pernah ia gerakkan bersama Bung Umbu tahun 90 hingga 2000-an, dapat dibaca sebagai cara menjaga atmosfir itu. Termasuk Kongres Cerpen Indonesia, yang sukses terselenggara di Negara. Dalam keseharian, ia pegang konsep keberagaman alias pluralitas. Jembrana beragam secara adat, budaya dan agama. Ia menempatkan itu sebagai realitas tanah kelahirannya. Titik-titik kultural-komunal semacam kampung Loloan, Palasari, Ekasari, Gilimanuk dan seterusnya selalu ia sebut sebagai modal dan model akluturasi budaya yang perlu terus dipelajari.
Hubungannya dengan “nyama Islam” di Loloan berlangsung baik. Ia terlibat dan dilibatkan dalam sejumlah kegiatan. Bersama Bang Musadat Djohar, pendiri Sanggar Pilot, dan tokoh-tokoh Islam Loloan hubungannya cukup dekat. Dalam hal ini ada pengalaman personal saya yang tak akan terlupa. Waktu saya meminang dara Loloan, sebagai perantau saya tak punya keluarga. Maka saya minta Bang DS dan pasukan J-Post mengantar dan mendampingi saya sebagai keluarga mempelai. Itu sudah lebih dua puluh tahun lalu. Tapi ingatan itu tak lekang, dan terkenang sebagai budi baik yang tak terbalaskan.
Selamat jalan Bang DS, amor ing acyintia, bahagia di nirwana… [T]