Dua orang penari meliak-liuk di atas panggung, penari perempuan tampak mendominasi gerakan. Bekal tubuhnya tidak tampak seperti penari Bali, perempuan yang mengenakan pakaian dari rangkaian pis bolong itu berulang kali menyusur bagian-bagian panggung yang kosong.
Sementara penari laki-laki, hanya mengenakan kulot masuk ke panggung, menari seperti menghempaskan udara sekitarnya, perlahan, senapas dengan senandung yang dilafalkan seorang penyanyi yang mengenakan pakaian serba hitam.
Adegan-adegan sembrautan, menelisik pendaran lampu-lampu yang jatuh di lantai. Dentuman musik semakin keras tak berarah, kadang kepala saya ikut bergoyang, kadang diam begitu saja, membiarkan pekaknya menggempur telinga.
Semakin pekak, semakin cepat dua penari bergerak, tubuhnya dipaksa menyentuh batas maksimal, akhirnya penari perempuan berteriak kencang – berulang kali.
Sekiranya begitulah tangkapan visual mata saya atas performing art Murka garapan Tisha Sara dan Aga di Ubud Performing Art Moving II, Taman Dedari – The Royal Pitamaha, Ubud, pada Jumat 17 Desember 2021.
Garapan tersebut mengisahkan Dewi Durga yang murka. Pada premis awal pembawa acara menanyakan kepada penonton, apakah kemarahan Dewi Durga mampu mengalahkan seluruh dimensi ego para laki-laki ?
Performing Art biasanya akan mengacu pada suatu wacana tertentu, lebih banyak akan bermain pada kilasan simbol, makna sebagai rentang daya ungkap penciptanya. Saya pun menangkap sejumlah simbol, baik benda, adegan atau ruang yang diperkosa oleh Tisha dan Agha.
Panggung yang disediakan panitia di Taman Dedari itu, berukiran Boma di atas pintu utama, ukiran khas Bali di sejumlah sisinya, serta beberapa meja bundar yang saya rasa diperuntukan untuk menyantap hidangan bersama keluarga. Ruang mapan tersebut justru bertolak belakang dengan nomor pendek yang mereka sajikan.
Ketegangan visual itu sangat terasa, setidaknya untuk saya pribadi dalam kacamata penonton yang ingin meminta lebih pada pencipta. Alur dramatik sengaja dibuat acak-acakan, mesti samar-samar dapat terbaca dari pola aksi reaksi gerak penari. Pada bagian menuju klimaks justru mereka tampak menghanyutkan, ini sangat terbantu dari komposisi musik yang saya rasa, memberi warna lain pada panggung mapan itu.
Selain itu saya tertarik dengan pakaian yang dikenakan oleh penari perempuan, rangkaian dari pis bolong (uang berlubang). Pis Bolong kita kenal sebagai alat tukar pada zaman dahulu, merupakan satu jejak alkulturasi dari bangsa tionghoa yang datang ke Bali untuk berdagang. Bahkan alkulturasi ini berlanjut pada ritus ritual yang orang Bali saat itu.
Konteks kebudayaan itu hadir sebagai pakaian, didesain menyerupai bikini berumbai-rumbai. Yang mungkin saja jika didengarkan secara teliti, menghasilkan bunyi gesek – kecil. Pis bolong yang kita kenal berwarna hitam, atau keperakan direkonstruksi menjadi warna emas, salah satu warna Bali untuk meneguhkan kemegahan.
Ada semacam simbol sejarah dialihwanahakan ke bentuk oleh Tisha Sara yang berprofesi sebagai fashion design. Namun sayang garapan tubuhnya belum matang, sehingga terkesan urakan, menihilkan pemaknaan secara keseluruhan. Simbol-simbol harus dibaca ulang lagi, tidak menyatu dalam kesatuan sajian pertunjukan. Tidak sebagai informasi terang dalam teks pementasan.
Tentu ruang menjadi pertimbangan saya untuk menelisik pementasan tersebut, di Taman Dedari yang sejumlah sudutnya dipenuhi dengan patung bidadari, cantik, gigantik, dan penuh estetika keindahan. Tiba-tiba nyempil, ada Dewi Durga menari dalam kemarahannya.
Pertanyaannya, apa yang membuat Dewi Durga marah di tempat yang indah seperti itu? Dalam pementasan ini tidak terjawab dalam teks adegan, terjawabnya lebih dulu oleh pembawa acara yang membacakan sinopsis, sebelum murka dipentaskan.
Saya sungguh mengimajinasikan pementasan Murka ditonton dalam sebuah lingkaran kecil yang dipenuhi oleh penonton. Penonton sebagai ulak alik teks kini, bersanding dengan cerita maha Dewi Surga yang menyeruak di kerumunan. Semacam menonton tajen, yang setiap orangnya bertaruh. Kemudian penari meliuk jatuh mendorong barisan penonton, lalu penari lainnya berlarian di tengah kerumunan. Tapi sekali lagi ini hanya saran dari penonton yang ingin lebih.
Murka hadir sebagai pentas pembuka Ubud Performing Art Moving II. Tidak hanya nomor pertunjukan pendek yang dihadirkan di sana, ada pula pemutaran film, diskusi gagasan, karya musik, pameran dan lain sebagainya. Sebagian besar yang mengikuti ialah kawan-kawan yang berkesenian di Ubud.
Ajang ini menjadi penting dalam melihat geliat anak muda Ubud, serta hadir pula kawan-kawan di luar Ubud untuk memeriahkan acara. Tapi lebih jauh dari pada itu sebenarnya terjadi pertukaran ilmu pengatahuan, estetika berkesenian serta kerja-kerja artistik seniman antar daerah di Bali.
“Ya bener, biar semua kawan-kawan muda di Ubud dapat berpartisipasi, ini menjadi ajang unjuk lah, sebagai ruang yang bisa direspon bagaimanapun bentuknya” ujar Putu Septa Adi, kawan saya yang terlibat langsung dalam perhelatan tersebut.
Setelah pementasan Murka ada pementasan yang lain seperti Titi Indrayanti membawakan fashion show, Swaradanta, Putu Septa, Kerta Art, Napak Tuju, Ryan, Taru Art, Reindra, Devi and Friend.
Pertunjukan akan berlanjut pada Minggu, 19 Desember 2021, di waktu dan tempat yang sama Adapun penampilnya ialah Vinaya Boutique Ft. Artha Meru With Mariani Oelong, Tudi by Dyah Pradnya, Janurangga, Dewa Ayu Eka Putri dan Komang Sraya, Juliantara, SMK N 3 Sukawati, Mang Werdi, Oming Sri, Jodi, Pengangge Art dan Teater Kalangan.
Jika berluang mari menonton ke Ubud. [T]