Rabu sore, 15 Desember 2021 cuaca lagi cerah karena hujan mengambil waktu jeda. Seperti biasa, sore hari paling asyik menikmati senja menuju malam di tepian pantai. Saya bersantai di salah satu hamparan pantai Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Di pantai itu, banyak orang di desa menghabiskan waktu dengan cara sederhana seperti itu, termasuk saya.
Memang tak asyik rasanya jika bersantai tanpa ditemani camilan. Tapi pantai ini sepi., masih perawan. Jangankan restoran atau kafe, pedagang kecil pun tidak ada.
Namun pada sore hari itu saya seperti diberkati. Dari ujung timur jalan kecil di kebun tepi pantai ada seorang anak baru gede (ABG) mengendarai sepeda. Pada boncengan sepeda itu terdapat semacam lapak. Di dalam lapak itu terdapat bermacam-macam camilan khas desa.
ABG itu ternyata pedagang keliling dengan membawa sepeda. Saya tentu saja memberhentikannya dengan maksud untuk membeli camilan khas desa yang tampak mengundang selera di lapak boncengan belakang. Ada jagung rebus, kacang rebus, ubi rebus dan lain-lain. Sambil mengunyah jagung, saya bercakap-cakap dengan anak itu.
Anak itu bernama Ketut Lanang Perdana Putra. Umur empat belas tahun, dari Dusun Tegal Sumaga, Desa Tejakula . Wajahnya polos, tampak agak letih, mungkin sudah beberapa jam mengayuh sepeda dengan menggandeng dagangan.
Lanang adalah anak ke empat dari empat bersaudara. Sore itu ia sudah berjualan pada paruh kedua dari pukul 13.00 dan akan kembali pulang kerumah pukul 18.00 WITA. Ia memang biasa berjualan dalam dua paruh waktu yaitu pagi jam 07.30 – 11.30 kembali ke rumah untuk makan siang dan lanjut untuk paruh kedua sore jam 13.00 – 18.00.
Lanang memang anak yang sudah terbiasa berjualan sejak usia belia. Awalnya hanya membantu ibunya berjualan di rumah. Semenjak pandemi , bocah kelas 7 SMP Negeri 1 Tejakula ini mempunyai ide untuk berjualan menggunakan sepeda bekasnya seraya memanfaatkan lowongnya jam sekolah. Ayahnya bekerja sebagai seorang kuli bangunan dan ibunya memang pedagang.
Pedagang keliling ini setiap hari berjualan camilan khas desa atau bisa juga disebut olahan pangan seperti jagung rebus, kacang rebus, ubi rebus dan lain-lain. Bahan-bahan dagangannya itu dibuat oleh ibunya.
Banyak hal yang membuat kita setidaknya belajar dari anak ini. Konsistensi berjualan anak ini dari usia sepuluh tahun sudah membuktikan bahwa Lanang bukan pedagang musiman. Pun dengan rute jualan cukup panjang.
Dari tempat tinggalnya di Dusun Tukad Sumaga Desa Tejakula ia mengayuh sepeda kea rah timur, hingga di Desa Les sampai di wilayah Pura Pegonjongan, Sambirenteng. Jaraknya kurang lebih 9 kilometer. Artinya, dengan dua kali berjualan sehari, ia mengayuh sepeda dua kali bolak balik 9 kilometer. Artinya lagi, setidaknya sehari ia mengayuh sepeda sepanjang 36 kilometer sehari.
Itu bukan jarak yang dekat untuk hitungan berdagang dengan sepeda, apalagi sesekali ia harus lewat jalur tepi pantai dan kadang dengan mendorong sepeda karena jalanan menanjak.
Mental anak ini juga bisa diuji, bayangkan saja tak jarang sesama anak sebayanya mengolok-oloknya. “Saya ketika berjualan bahkan pernah dilempari batu,” tuturnya.
Bagaimana dengan pelajaran di sekolah? Tentu saja tak ia abaikan. Pelajaran masih berlangsung daring. Jika harus mengikuti pelajaran, ia bisa istirahat dari pekerjaan berjualan. Dan malam hari ia sudah pasti mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Ketika saya tanya berapa dapat jualan setiap hari, Lanang hanya menjawab, “Tidak pernah menghitung dan masuk-masukin saja di rumah baru di kasi ibu!”
Melihat dan mendengar cerita Lanang, ternyata memang masih ada anak yang dengan daya juang tinggi untuk membantu kehidupan orang tua dengan bekerja keras tanpa mengharapkan ke-viralan tanpa makna. Begitulah kira-kira si Lanang ini.[T]