Fenomena riil negeri ini hingga pada era industri 4.0 atau abad 21 atau era milenial dan kemajuan revolusi industri dewasa ini ternyata masih ada warga atau masyarakat yang kurang respek terhadap literasi atau bahkan tuna aksara. Warga yang tak melek membaca itu pun tidak sedikit jika ditakar secara kuantitas atau dapat dikatakan hampir separuh bahkan lebih dari jumlah warga kita.
Yang lebih menyedihkan adalah usia-usia yang masih produktif atau para generasi muda penerus dan garda bangsa ini yang sangat lemah kualitas membacanya. Problem ini sesungguhnya menguak mata hati nurani kita, terutama yang merasa lebih intelek, terlebih lagi selaku pendidik atau guru. Ironis memang, bila kondisi warga ini ditengarai oleh faktor ekonomi atau kemiskinan sehingga mereka lebih mementingkan upaya menyambung hidup ketimbang melakukan kegiatan literasi.
Berpijak pada fenomena tersebut, tugas kita selaku warga yang memiliki kemampuan lebih dalam hal literasasi adalah membantu mereka, menyadarkan dan membangun budaya literat dengan penuh kesungguhan. Sudah tentu bantuan yang diberikan dalam hal ini berupa jasa yakni mengubah paradigma mereka agar melek huruf, melek baca-tulis untuk pencerdasan kehidupan mereka tentunya sesuai dengan hak dalam memperoleh pendidikan yang layak.
Untuk mengejawantahkan kondisi itu perlu komitmen, kesukarelaan, dan pengabdian tanpa batas. Namun dibalik itu, ada pertanyaan mendasar muncul, apakah perlu sentuhan guru untuk upaya menjadikan anak-anak dalam berliterasi? Jika dijawab tidak, mungkin terlalu naif, mengingat di masyarakat tidak terlalu responsif terhadap pola asuh membaca, sekaligus tidak ada agenda-agenda khusus yang berani mengelola masyarakat untuk sebuah misi literasi akhir-akhir ini. Oleh karena itu, bagaimana solusi yang bisa diwujudkan untuk hal ini?
Tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara pernah berseru bahwa perlu adanya mobilisasi intelektual. Sebuah ajakan yang bersifat brilian untuk seluruh intelekual Indonesia yang pada saat itu (tahun 1936) juga melakukan wajib belajar. Semua orang yang melek huruf (bisa membaca menulis, berbicara dengan baik) diminta menularkan kemampuannya kepada semua orang yang ada di sekitarnya.
Dengan semboyan “semua rumah menjadi tempat kegiatan belajar-mengajar dan semua intelektual menjadi guru”. Pada esensinya kini, kegiatan ini secara realistis sangat memungkinkan dilakukan mengingat pentingnya kecakapan literasi baca-tulis pada abad 21 atau jaman milenial ini. Dengan ini diharapkan tidak ada lagi saudara sebangsa yang tidak melek membaca apalagi tuna aksara.
Seandainya anjuran Ki Hadjar Dewantara yang begitu brilian dan bijasana, dengan tujuan agar semua orang yang memiliki kemampuan literasi mau dan mampu mengimplementasikan kemampuannya itu kepada warga masyarakat yang memiliki daya literasi rendah, maka bangsa ini secara perlahan dengan penuh keyakinan akan memiliki warga yang melek baca, cerdas, dan mampu bersaing sesuai tuntutan jaman.
Di sisi lain, pemerintah sebagai penentu kebijakan tidak perlu beban memuat regulasi untuk program literasi, biaya banyak, mencari atau membentuk fasilitator untuk memberdayakan warga agar memiliki budaya literat. Jika saja semu rumah bisa dijadadikan tempat belajar membaca dan menulis, pemerintah pun tidak terlalu payah merancang biaya untuk sekadar membangun areal belajar untuk membangun warga yang memiliki kesadaran literasi. Waktu belajar membaca-menulis pun tidak mesti terlalu padat. Kegiatan belajar-mengajar yang bernuansa literasi dapat dilakukan secara rileks, misalnya dilakukan satu atau dua kali pertemuan dalam seminggu dan setiap pertemuan paling lama dua jam.
Kondisi ini dilakukan secara konsisten dan kontinyu dengan target indikator yang telah direncanakan yakni melatihkan, membudayakan, mencintai, dan membentuk mental-mental yang literat. Bukan tidak mungkin dalam jangka waktu setahun ke depan warga kita, anak-anak bangsa ini akan memiliki kesadaran terhadap literasi dan akan memahami dengan sepenuh hati terhadap arti penting membaca bagi kehidupan.
Masalahnya sekarang, tinggal bagaimana memobilisasi guru dan para intelektual turut serta dalam memberdayakan budaya literasi di kalangan warga anak-anak saat ini. Mobilisasi ini bukan hal yang muluk-muluk atau mustahil sekalipun. Para penentu kebijakan bisa menghemat biaya negara, misalnya dengan mengajak semua para intelektual yang ada di masyarakat dengan penuh kesadaran untuk mau menjadi guru yang memiliki misi membangun kesadaran literat untuk anak-anak saat ini. Memang persoalan di lapangan tentu tidak sesederhana itu. Akan tetapi, paling tidak jika anjuran Ki Hadjar Dewantara tersebut dapat dijadikan bahan perenungan bersama, apalagi dijadikan sebagai sebuah gerakan pembelajaran yang bersifat nasional. Dengan begitu negara ini akan menghemat anggaran yang tidak sedikit hanya untuk program literasi.
Supaya tidak sekadar wacana, yang paling urgen adalah pengimplementasian program secara realistis dengan metode apa saja yang akan digunakan untuk membangun kesadaran budaya literasi secara merata sehingga tidak ada ketimpangan. Harus terbukti secara riil, yang tentu saja tidak bisa dengan mudah diwujudkan. Perlu kerja keras, komitmen, saling koordinasi, dan kesungguhan hati dari semua stick holder sehingga tidak sekadar seni retorika yang pada akhirnya hanya meninggalkan jejak tipis. Begitu pula dengan warga anak-anak yang akan disasar, tidak usah merasa beban apalagi risau. Usaha yang diupayakan oleh pemerintah untuk pendidikan bagi seluruh warga negara patut disambut dengan semangat dan dilakoni demi kecakapan masyarakat itu sendiri.
Pada akhirnya sepakat, dengan meminjam istilah Bapak Fuad Hasan, kita tidak terlalu memerlukan guru yang pintar, tetapi sangat dibutuhkan guru yang mampu menghidupkan dan menggerakkan “generator” pemikiran anak bangsa ini.
Selamat hari guru untuk para guru tercinta! [T]