Tanggal 14 November ini diperingati sebagai Hari Diabetes Internasional. Berdasarkan data Internnational Diabetes Federation (IDF), Indonesia berstatus waspada diabetes karena menempati urutan ke-7 dari 10 negara dengan jumlah pasien diabetes tertinggi. Prevalensi pasien diabetes di tanah air mencapai 6.2 % yang artinya ada lebih dari 10.8 juta orang Indonesia menderita diabetes per tahun 2020. Memang ada kecenderungan kasus diabetes bergeser ke negara-negara di benua Asia dan Afrika.
Masalah lain yang tak kalah genting dan juga berstatus waspada adalah kenyataan bahwa, baru 25% pasien diabetes menyadari penyakitnya. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa tidak sedikit penderita diabetes baru menyadari dirinya mengidap penyakit gula saat telah mengalami komplikasi serius seperti luka kaki tak kunjung sembuh, kebutaan, stroke atau serangan jantung bahkan gagal ginjal.
Padahal jika diketahui sejak dini dan diterapi dengan optimal, segala komplikasi tersebut dapat dicegah secara signifikan. Harus ada ketaatan dan kemauan kuat penderita diabetes untuk menerapkan terapi terbaik agar pengendalian penyakit diabetes menjadi optimal. Namun jangan pernah lupa, terapi sebaik apapun yang siap kita lakukan, pencegahan selalu merupakan strategi terbaik.
Bicara soal pencegahan, sudah pernah saya uraikan dalam beberapa tulisan yang berbeda pada kolom ini. Penyakit diabetes adalah penyakit yang ditentukan oleh berbagai faktor risiko meliputi genetik, tekanan darah, kadar kolesterol, obesitas, emosional, gaya hidup sedentary atau kurang aktif berolahraga dan diet berlebih.
Dengan mengontrol semaksimal mungkin faktor-faktor risiko tersebut, tentu saja selain genetik, maka risiko terkena diabetes akan semakin kecil. Hanya faktor genetik saja tanpa disertai faktor pemicu yang memadai, aspek genetik hanya berhenti pada tataran genotip semata. Sebaliknya, kendatipun tanpa ada faktor bawaan, namun jika ada berbagai faktor risiko lain pada seorang individu, maka risiko akan mengidap penyakit kencing manis bisa menjadi sangat besar. Itulah kemudian penyakit diabetes ini dikenal dengan istilah “didapat”.
Namun saat penyakit diabetes tetap tak dapat dihindarkan, maka pilihan menjalankan terapi sesuai standar adalah pilihan terbaik. Harus selalu dipahami, terapi diabetes bukanlah hanya obat-obatan, namun aspek non medikamentosa pun tak kalah pentingnya. Berbagai aspek non medikamentosa atau non obat-obatan itu mencakup edukasi terkait penyakit diabetes, pola makan, olah raga serta pencegahan kaki luka. Terkait obat-obatan, di era modern ini ada begitu banyak pilihan untuk pasien diabetes. Mulai dari berbagai obat-obatan yang diminum hingga tentu saja insulin.
Pilihan obat minum cukup popular di kalangan masyarakat pengidap diabetes. Namun, kita ketahui bersama, tak sedikit pasien diabetes yang masih resisten atau sulit menerima pemakaian insulin. Harus dipahami, memang ada beberapa keadaan pasien yang disarankan memakai insulin seperti dengan obat minum setelah dosis maksimal kadar gula belum terkontrol.
Keadaan-keadaan lain yang juga sangat tepat menggunakan insulin antara lain penderita diabetes disertai infeksi berat, gangguan fungsi ginjal, diabetes pada kehamilan atau pada kasus diabetes tipe 1 yaitu diabetes sejak anak-anak akibat tubuhnya memang tak bisa menghasilkan insulin. Demikian pula pada penderita diabetes yang mengalami stroke atau serangan jantung sangat baik jika menggunakan insulin.
Efek insulin pada keadaan ini tidak cuma untuk menormalkan kadar gula darah pasien diabetes namun juga dapat memberi efek anti radang yang sangat bermanfaat. Berbagai data telah menunjukkan, pasien-pasien yang diberikan insulin tersebut lebih cepat keluar rumah sakit. Namun mengapa masih banyak yang takut dengan insulin?
Ada berbagai mitos terkait insulin, misalnya insulin menyebabkan ketagihan atau insulin menyebabkan kerusakan ginjal. Namun memang ada satu alasan obyektif pasien kurang nyaman menggunakan insulin, yaitu karena harus disuntikkan. Jarum dan suntikan memang masih menjadi isu yang menakutkan masyarakat. Maka mitos-mitos demikian mesti diluruskan.
Insulin adalah hormon yang secara alami dihasilkan oleh organ pankreas manusia. Tubuh kita semua menghasilkan insulin yang berguna untuk mengolah makanan yang kita cerna menjadi energi dan cadangan energi untuk hidup kita menjadi sehat dan normal.
Nah, pada pengidap diabetes, tubuhnya tak lagi mampu menghasilkan insulin yang cukup, bahkan ada yang betul-betul gagal. Maka zat gula yang didapatnya dari makanan yang dicerna berhenti hanya sebagai zat gula dalam darahnya. Tak mampu diolah menjadi energi dan cadangan energi. Akibatnya kadar gula darahnya selalu tinggi, badannya lemas tak bertenaga, selalu lapar namun badannya tambah kurus. Karena itulah pasien tersebut butuh insulin buatan dari luar untuk menggantikan insulin yang gagal dihasilkan tubuhnya.
Boleh dikatakan, insulin itu sama seperti kaki kita. Jika kaki kita buntung, maka tentu saja kita perlu bantuan kaki palsu untuk dapat berjalan kembali. Kaki palsu itulah insulin.
Apakah insulin menyebabkan kerusakan ginjal? Tentu saja tidak. Justru diabetes-lah yang merusak ginjal dan menyebabkan gagal ginjal sampai perlu cuci darah. Maka sudah sangat jelas, dengan semua terapi diabetes termasuk insulin, itu dapat melindungi ginjal.
Lalu, jika dengan manfaat yang sedemikian besar dapat mencegah gagal ginjal, amputasi kaki atau stroke dan serangan jantung, maka nyeri suntikan jarum yang sangat kecil dan dangkal saat penyuntikan insulin menjadi tak sebanding dengan manfaatnya. Apalagi saat ini metode penyuntikan insulin sudah dibuat menjadi sangat praktis dan sederhana yang dikemas menyerupai pulpen yang bisa dibawa kemana-mana untuk disuntikkan sesaat sebelum makan. Tak perlu lagi ragu-ragu menggunakan insulin jika disarankan dokter untuk mendapatkan kotrol diabetes yang optimal apalagi insulin sudah dijamin oleh negara melalui pelayanan BPJS kesehatan. Salam sehat! [T]