“Bli Ted, kira-kira mau jadi pembedah buku Kebajikan Universal Bali yang diterbitin Media Hindu?”
“Iya, boleh.”
Sebagai orang yang selalu antusias dengan pengalaman baru, saya menerima tawaran tersebut. Buku berjudul “Kebajikan Universal Bali” yang ditulis oleh Ngakan Putu Putra ini merupakan esai-esai yang dikumpulkan dari rubrik “Etika Sehari-Hari” di Media Hindu. Rubrik yang terbit dari April 2016 sampai dengan Juni 2019, atau bisa dikatakan esai ini merupakan sekumpulan kontemplasi penulis selama kurang lebih tiga tahun.
Don’t Judge Book by The Cover
Tentu istilah yang saya jadikan sub judul tidak asing, bahkan sangat sering kita dengar. Istilah tersebut sering digunakan untuk menegaskan bahwa hal yang lebih penting dari penampilan adalah isi/substansi. Namun jika bicara soal buku, tentu perwajahan sampul sangatlah penting diperhitungkan—khususnya soal pemasaran buku. Oleh karenanya istilah “don’t judge book by the cover” tidak relevan karena alasan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dari segi penampilan, buku ini memiliki daya tarik tersendiri, apalagi sebagai buku yang membahas tentang Hindu. Penggunaan warna merah muda dan hijau dalam sampul memberi kesan bahwa buku ini ditujukan untuk generasi muda—ditambah ilustrasi gadis Bali lengkap dengan hiasannya memberi penegasan bahwa buku ini akan membahas hal-hal yang lekat kaitannya dengan Bali.
Tidak hanya bagian depan, bagian belakang sampul pun sekiranya perlu diperhatikan. Bagian belakang buku ini berisi blurb yang terdiri dari 5 paragraf. Masing-masing paragraf menyuguhkan pokok bahasan yang padat dan cukup jelas, seperti: 1) berisi inti sari tentang slokantara, 2) menjelaskan secara ringkas apa yang akan dibahas dalam buku, 3) berisi definisi dari universal, 4) berisi penjelasan mengapa buku ini mengambil segmentasi anak muda, dan 5) menjelaskan relevansi slokantara dengan kehidupan sehari-hari.
Tentang Penulis
Setelah menerima buku ini, saya langsung beranjak ke halaman akhir. Ya, biasanya halaman terakhir buku memberikan ruang kepada pembaca untuk mengenal penulis secara singkat. Sayangnya, buku ini tidak demikian. Mengetahui riwayat hidup sekiranya penting untuk mengetahui seperti apa caranya berpikir, dan kita bisa menerka ke arah mana pembahasan akan dibawa oleh penulis. Karena tidak ada, akhirnya saya mencoba mencari di mesin pencarian google, hasilnya: Ngakan Putu Putra adalah seorang penulis yang sudah melahirkan beberapa karya bernafaskan Hindu di Media Hindu. Adapun buku yang sudah dituliskannya, antara lain: Tuhan Upanisad: Menyelamatkan Masa Depan Manusia (2008), Himpunan Doa Agama Hindu (Mantra Samhita) (2011), Kebijaksanaan Weda untuk Hidup Bahagia (2015), dan Membangun Karakter dengan Keutamaan Bhagawad Gita (2016).
Tidak hanya aktif menulis, Ngakan Putu Putra juga aktif dalam organisasi. Ngakan Putu Putra kini tercatat menjadi Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia (ICHI) dan menjadi Dewan Pertimbangan Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah Indonesia).
Ujung Tombak Hindu Adalah Generasi Mudanya
Dalam pengantar setebal 11 halaman ini, penulis memaparkan alasan mengapa ia berfokus pada pembahasan slokantara, juga menyebutkan beberapa sloka yang tidak relevan terhadap perkembangan zaman serta asas yang diterapkan hari ini. Penulis juga menegaskan bahwa slokantara hanya membicarakan pada tataran etika, hubungan manusia dengan manusia. Hal tersebut disampaikan secara jelas oleh penulis, seperti:
“Ada sloka yang merendahkan dan membenci perempuan (misogini) seperti sloka 23, yang mengatakan perempuan memang tidak ada yang lurus, dan “jika ada perempuan menjadi setia, bunga seroja akan tumbuh di batu padas.”” (hal. iv, v).
“Atau sloka 29 yang menghina beberapa jenis pekerjaan seperti “Orang yang membuat kapur, membuat arak dan minuman keras lainnya, tukang celup (pakaian), tukang cuci, pembuat periuk, jagal, tukang emas, tukang celup benang, ini termasuk golongan delapan chandala.”” (hal. v).
“Hampir tidak ada sloka yang bicara tentang metafisika, hubungan dengan Tuhan. Saya tidak menemukan satu teks atau kata yang menyebut yoga atau moksa. Ada kata sorga dan neraka tetapi dalam kaitan kelahiran seseorang dengan kondisinya yang berbeda, bahagia atau menderita.” (hal. v).
Penulis juga menyampaikan kritik terhadap gaya hidup yang dijalani oleh generasi muda Hindu secara umum. Menurutnya, generasi muda Hindu terkesan berfoya-foya tanpa memiliki kesadaran untuk meningkatkan kualitas diri sebagai penerus Hindu di masa mendatang.
“Anak-anak muda Hindu di Bali tidak diasah kepekaan sosialnya, atau bela rasanya, sebaliknya mereka cenderung beraktivitas untuk hiburan, kadang-kadang hura-hura yang melampiaskan emosi. Misalnya yang paling terkenal adalah membuat ogoh-ogoh dengan biaya puluhan milyar rupiah yang dibakar hangus sehabis upakara Tawur Kesanga.” (hal. vii).
Dalam artikelnya yang berjudul “Eksistensi Pariwisata Budaya Bali Dalam Konsep Tri Hita Karana”, I Gusti Agung Made Gede Mudana menyampaikan bahwa pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dikembangkan di Bali dan dijiwai oleh agama Hindu. Konsep ini mengedepankan eksistensi masyarakat lokal dengan mengembangkan kearifan lokal yang sudah menjadi warisan leluhur. Hal tersebut dapat memberikan manfaat dari segi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan.
Budaya adalah hal yang berbeda dengan agama. Namun, di Bali dua hal tersebut saling mendukung satu sama lain sehingga melahirkan keunikan tersendiri, termasuk Ogoh-Ogoh di dalamnya. Perlu disadari bahwa konsep pariwisata budaya telah menjadi panglima dalam pemenuhan hajat masyarakat Bali hingga kini. Eksistensinya pun sudah mendunia, sehingga untuk menghakimi bahwa aktivitas budaya adalah bentuk hura-hura atau pelampiasan emosi perlu dipikirkan kembali.
Slokantara: Etika dan Kebajikan
Dalam buku ini, slokantara menjadi objek utama dalam tulisan yang kemudian dikorelasikan dengan kehidupan sehari-hari. Bagaimana nilai-nilai adiluhung leluhur yang masih relevan hingga kini, seolah mampu meneropong kehidupan yang jauh berada di depannya. Membicarakan soal etika, hukum, hingga kebajikan yang baiknya diterapkan oleh generasi muda Hindu. Tidak hanya penting untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, tetapi juga penting guna meningkatkan kualitas Hindu Dharma di Indonesia.
Esai-esai yang berjumlah 37 ini dituliskan dengan bahasa yang sederhana. Menjadikan pengalaman maupun peristiwa sebagai ilustrasi yang memudahkan pembaca dalam memahami maksud penulis.
“Pelajaran yang saya ambil dari hal ini adalah bahwa bila kita ingin mendidik anak kita disiplin kita harus belajar dan menerapkan disiplin pada diri sendiri terlebih dahulu. Kalau kita ingin anak kita bangun pagi-pagi, kita harus bangun lebih pagi.” (hal. 92).
“Kekayaan atau uang itu dapat membeli kebahagiaan bila diberikan kepada orang lain yang sedang membutuhkan. Misalnya seorang yang sedang sakit keras tetapi tidak punya uang untuk ke dokter atau membeli obat, bila diberi uang pasti ida akan gembira sekali, apalagi kalau dia sembuh.” (hal. 165).
Seperti halnya kata pepatah “Tiada Gading yang tak retak”, dalam kumpulan esai ini terdapat beberapa kesalahan ketik seperti:
“Kesetiaan adalah keutamaan atau kebajikan yang sangat penting bagi manusia, bila ia ingin menjadi manusia yang dipercayai adn dihormati.” (hal. 11).
“Masing-masing seperti berdiri pada kutub yang berbeda dan berlawnan.” (hal. 105).
“Yang penting mereka tidak menyalahgunakan pekerjaan mereka, misalnya tidak melakukan pungutan liar, tidak menjual izasah, skripsi, thesis atau disertasi.” (hal. 153).
Kesalahan ketik dalam proses penulisan bukanlah hal yang asing. Namun, dalam penulisan karya seperti buku tentu meminimalisir kesalahan adalah hal yang penting dilakukan. Semakin banyak kesalahan ketik dalam satu karya, semakin menurunkan animo pembaca untuk menyelesaikan pembacaan buku ini. Tidak hanya soal kesalahan ketik, dalam buku ini, hal yang saya soroti adalah penggunaan Wikipedia sebagai referensi. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa esai seperti:
“Frasa ini diambil dari, a.l. Imamat 24:19-21 yang berbicara perihal berbagai hukuman: «Apabila seseorang membuat orang sesamanya bercacat, maka seperti yang telah dilakukannya, begitulah harus dilakukan kepadanya: patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi; seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya.» (Wikipedia)” (hal. 26).
“Para pengring Muslim itu kemudian bertindak sebagai abdi dalam Kerajaan Gelgel. (Wikipedia)” (hal. 124).
“Metode ini dinamai sesuai dengan filsuf Yunani Klasik Sokrates dan diperkenalkan oleh Plato. (Wikipedia)” (hal. 185).
Dilansir dari Tirto.id, Massachusetts Institute of Technology (MIT), dalam aturan soal kutipan karya ilmiah bagi mahasiswanya, tegas menyebut bahwa “Wikipedia bukanlah sumber yang dapat dipercaya meskipun banyak di antara kita menggunakannya untuk mencari informasi cepat […] Sebaiknya Wikipedia tidak dijadikan rujukan ilmiah.”. Tidak hanya itu, dalam “Internet Encyclopedias Go Head to Head” yang terbit pada Nature Vol 438, disebutkan bahwa cukup banyak temuan konten di Wikipedia yang keliru menghadirkan informasi.
Sebagai karya yang bisa dikatakan ilmiah (karena menampilkan data berupa kutipan-kutipan sloka dan berbagai fakta), tidak seharusnya penulis merujuk Wikipedia sebagai referensi dalam memperkuat argumentasi dalam esainya. Hal tersebut tentu dapat mendegradasi kualitas tulisan dalam buku-buku ini. Tentu ke depan, referensi-referensi yang dirujuk oleh penulis dapat lebih dipercaya kualitas dan keakuratannya. Karena, seperti yang dikatakan Syarif Hidayatullah dalam artikelnya yang berjudul “Agama dan Sains: Sebuah Kajian Tentang Relasi dan Metodologi”, bahwa agama dan sains perlu meniscayakan diri untuk sama-sama mengabdi untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran manusia.