Saya ikut-ikutan main teater bersama Komunitas Mahima dengan judul “Raya-Raya Cinta” untuk dipentaskan dalam Festival Seni Bali Jani di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, 29 Oktober 2021 malam. Saya dapat peran kecil dan singkat, tapi dari peran itu saya mendapat pelajaran besar, bukan hanya soal teater, melainkan juga soal filosofi cinta dan kehidupan.
Dalam teater ini saya berperan sebagai sosok ayah dari Raya. Raya sendiri adalah tokoh utama dalam pagelaran teater ini, sosok yang digambarkan dengan karakter yang sangat tegas dan selalu berusaha memperjuangkan apa yang menjadi keinginannya.
Raya terlahir dari keluarga yang sangat kaya, berpendidikan dan sangat ambisius. Berbeda dengan Cinta, di mana dia merupakan sosok yang sangat welas asih, selalu bekorban untuk kepentingan orang lain dan menjadi tulang punggung di keluarganya.
Cinta adalah anak sulung dari lima bersaudara, yang semuanya adalah perempuan. Tokoh Cinta dalam pagelaran ini diperankan oleh Santidewi yang akrab dipanggil Gek Santi, seorang mahasiswa Undiksha yang selama ini aktif berkarya di Komunitas Mahima.
Konflik dalam pementasan teater ini dimulai ketika Raya yang diusianya sudah mencapai 33 tahun, ingin segera mengakhiri masa lajangnya, sementara Cinta yang sedang menyelesaikan pendidikannya mesti berjuang untuk menuntaskan semua kewajibannya, termasuk menafkahi keluarga akibat dari sang ayah yang sudah dipecat lantaran tempat bekerjanya terdampak karena pendemi Covid-19.
Kisah menjadi semakin sengit, manakala sang ayah merasa Raya sudah berusaha merebut Cinta dari keluarganya, dia tidak terima karena Cinta adalah tulang punggung keluarganya, sementara Raya bersikukuh bahwa apa yang dia perjuangkan adalah perasaaan cinta yang begitu besar kepada Cinta.
Cerita semakin sengit, manakala Cinta merasa bahwa perjuangan untuk menyatukan cinta dengan Raya hanya sebuah kesia-siaan, tentu hal ini dikarenakan kondisi mereka yang sama-sama berada dalam posisi yang sangat sulit secara adat dan tradisi.
Cinta tidak punya saudara perempuan, sementara dalam kebiasaan keluarga mereka, apabila tidak ada anak laki-laki yang terlahir dari keluarga itu, maka wajib hukumnya sang keluarga mencari “sentana” untuk kemudian mereka angkat menjadi penerus “purusa” di keluarga itu.
Sementara Raya, dia sendiri tumbuh hanya seorang diri. Tentu kondisi ini membuat Raya sangat berat untuk bisa menerima tawaran “nyentana” dari Cinta dan keluarganya.
Mereka berdua bergulat dalam konflik yang tak berkesudahan, berusaha mencari solusi namun tak kunjung mendapatkan jalan keluar. Konflik memuncak ketika ada sosok Gita yang juga merupakan sahabat dari Raya dan Cinta hadir di tengah mereka. Gita sudah dari lama menaruh perasaan kepada Raya, tapi kesempatan untuk mengutarakannya baru terjadi ketika dia melihat ada konflik diantara Raya dan Cinta.
Nah, dari konflik cinta anak muda yang berlindan dengan persoalan orang tua, adat, dan keluarga ini saya belajar tentang betapa rumitnya cinta. Bahwa cinta tak bisa berdiri sendiri, bahwa cinta bukan hanya soal hubungan antara remaja putri dan remaja putra. Cinta punya hubungan, kadang harmonis, kadang sangat tidak harmonis, dengan hal-hal yang ada di sekitarnya, seperti adat, tradisi dan budaya.
Tapi atas nama cinta, semua hal bisa diselesaikan juga.
“Aku sudah mendengar semuanya, aku sudah punya semua jalan keluarnya, tak ada yang tak mungkin jika dibicarakan”.
Itulah kalimat yang saya ucapkan, mengucapkannya sungguh sangat berat, terutama bagi saya yang pertama kali mengalami proses kreatif dalam sebuah pagelaran tearer seperti ini.
Menghayati dan larut dalam isi dari cerita adalah prasyarat yang mesti saya penuhi. Pemahaman terhadap karakter bisa tersirat dari karakter yang dimiliki oleh Raya. Karena untuk bisa menjadi ayah Raya yang diperankan oleh Agus Wiratama, saya perlu memahami proses tumbuh kembang seorang anak, mulai dari cara mendidik dan lingkungan yang mempengaruhinya, sehingga Raya menjadi pribadi yang digambarkan dalam cerita ini.
Peran ini sangat saya nikmati, sebab ini menjadi pintu masuk bagi saya untuk bisa memahami hal-hal yang tak pernah saya bisa dapatkan, ketika harus berperan dan mengamati sebuah pertunjukan dari sudut pandang penonton.
Berbicara soal pementasan teater, tentu hal ini sangat begitu kompleks. Saya bisa membayangkan bagaimana seorang sutradara Kadek Sonia Piscayanti mengegelola imajinasi sehingga melahirkan puluhan lembar naskah yang harus dihapal dan dihayati oleh aktor yang terlibat. Belum lagi koreografi, blocking stage, jenis pakaian, musik, tata pencahayaan yang harus disiapkan dengan detail, untuk memperkuat alur dari cerita.
Terlibat dalam pementasan teater Raya Raya Cinta, bagi saya tidak hanya berbicara soal menghapal kalimat dan menghayati peran yang ada, tapi jauh lebih dari itu adalah berusaha masuk dan berada dalam ruang-ruang kesadaran penuh dalam proses kreatif itu sendiri. [T]