Perbincangan kain tenun ikat (endek) di Bali kembali menghangat setelah Gubernur Bali Wayan Koster mengutarakan kekecewaannya soal endek asli Bali yang ternyata diproduksi di Jawa Tengah.
Dalam suatu kesempatan Gubernur Koster menyatakan bahwa peredaran endek di pasaran Pulau Dewata tidak dikuasai oleh endek yang berasal dari Bali. Namun, justru didominasi oleh endek motif Bali yang berasal dari Desa Troso, Kecamatan Pencangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Gubernur Bali memang sudah sangat getol memperjuangkan endek agar menjadi tuan rumah di Bali. Salah satu upayanya adalah mengeluarkan kebijakan berupa Surat Edaran (SE) No 4 Tahun 2021 tentang endek pada awal tahun ini.
Meskipun SE telah dikeluarkan, namun kebijakannya belum cukup untuk mengangkat citra kain endek di Bali. Serta, belum menjadi primadona bagi masyarakat Bali.
Ternyata kebijakan itu belum juga menjadi katalisator untuk menguasai pasar endek di pulau dewata, padahal banyak memiliki sentra pengerajin endek di daerah kabupaten/kota di Bali.
Kondisi tersebut membuatnya jengkel karena merugikan perekonomian Bali. “Ini sudah menjengkelkan, produk budaya kita diambil, warisan budaya kita diambil, dikembangkan sebagai suatu perekonomian di luar, kemudian produknya dijual ke kita, lantas kita beli pula, jadi hilang berapa kita,” kata Gubernur Koster, dikutip dari siaran YouTube Pemerintah Provinsi Bali, Selasa (28/9/2021).
Ia mengatakan bahwa fenomena endek Bali dibuat di Jawa Tengah kemudian kembali ke Bali tidak boleh terjadi terus menerus karena akan merugikan Bali.
Pernyataan kekecewaan Gubernur Koster terkait eksistensi endek motif Bali merupakan strategi komunikasi untuk menyampaikan kebijakan endek kepada rakyat Bali. Memberikan pesan kepada masyarakat Bali agar lebih mencintai endek yang diproduksi di Bali ketimbang menggunakan endek produksi luar Bali.
Harapannya, citra kain tenun ikat (endek Bali) kembali meningkat, persepsi masyarakat Bali terhadap endek Bali menjadi positif hingga akhirnya membeli dan menggunakan pakaian dari bahan endek Bali.
Hanya saja, strategi komunikasi Koster tersebut bisa berpotensi menjadi tidak efektif karena ia memilih untuk menyampaikan narasi yang seolah berseberangan dengan daerah yang memiliki sentra kain tenun ikat, yaitu Jawa Tengah.
Seperti yang disampaikan Koster sebagai berikut: “Kalau wilayah kita yang kecil ini cuman sedikit dibombardir dengan produk impor (dari luar daeah), pasar kita ini habis. Akhirnya para produsen kita di Bali ini tergusur kalah daya saing. Sudah kita kecil (kemudian) pasarnya diambil, udah gitu kita pula jadi pembelinya. Pakai endek, ternyata endeknya bikinan dari Troso, Jawa Tengah. Jadi kalau pakai endek jangan dulu bangga-bangga, cek dulu endek dari mana ini barang,” kata Gubernur Koster.
Semestinya, Gubernur Koster menggunakan komunikasi yang persuasif untuk mempengaruhi perilaku masyarakat Bali terhadap kebijakan endek. Komunikasi persuasif akan berdampak terciptanya hubungan harmonis antara Bali serta Jawa Tengah, yang sama-sama memiliki sentra penghasil endek potensial. Hubungan harmonis antar kedua daerah akan berdampak positif bagi industri endek, masyarakat pencinta endek, serta pemerintah kedua daerah ini.
Sebelumnya, pada awal tahun, Gubernur Koster juga menyampaikan kebijakan endek melalui surat edaran. Namun, kekeliruan melakukan komunikasi justru berdampak negatif di persepsi publik.
Publik mengkritik kebijakan endek karena ia salah menyampaikan pesan dari kebijakannya sehingga makna yah diharapkan dari kebijakan itu berbeda dengan makna yang ada di benak publik.
Tak lama setelah ia menyampaikan kebijakan endek, di media sosial muncul meme beragam foto dari orang yang menggunakan endek dengan cara nyeleneh. Ada video seorang laki-laki menggunakan pakaian endek bercelana pendek sedang memanggang ayam diserta narasi yang bernada satir. Ada juga laki-laki yang bertopi kelangsah berpakaian endek membawa jaring ikan. Ada lainnya lagi, laki-laki berpakaian endek berwarna merah sedang menenteng dua buah kurungan ayam. Bahkan ada juga seorang lelaki perlente yang menggunakan pakian endek sambil menegak secangkir arak.
Munculnya beragam gambar orang menggunakan endek dengan cara yang unik atau nyeleneh dan seseorang yang menggunakan endek dengan cara formal adalah reaksi dari makna yang dipersepsikan oleh publik dari pesan yang disampaikan oleh Gubernur Koster tentang SE No 4 Tahun 2021 tentang endek dalam jumpa pers pada 15 Februari 2021.
Fenomena munculnya meme dan narasi satir di media sosial menarik dianalisa dari perspektif komunikasi publik.
Rupanya Gubernur Koster keliru menyampaikan bahwa kata “himbauan” yang tertuang pada surat edaran diganti dengan kata “wajib” pada ucapan lisan yang disampaikan ketika jumpa pers.
Kekeliruan itu menyebabkan terjadinya distorsi makna terhadap surat edaran itu.
Sederhananya ada tiga elemen dalam proses komunikasi, yaitu si pengirim pesan (Gubernur Koster), penerima pesan (publik/masyarakat Bali), dan pesan apa yang disampaikan (kebijakan publik tentang busana endek).
Sebuah proses komunikasi publik tentang endek disebut efektif dilakukan oleh Gubernur Koster apabila pesan yang ia kirimkan direspon oleh publik sesuai dengan yang diinginkan si pengirim pesan. Jika publik memberikan respon yang berbeda maka telah terjadi kesalahan dalam komunikasi publik tersebut.
Menurut Fiske (2018) bahwa kesalahan dalam komunikasi disebabkan karena adanya gangguan. Gangguan ini yang menyebabkan terjadinya distorsi makna dari sebuah pesan. Gangguan bisa diakibatkan oleh saluran, audiens, pengirim pesan, atau pesan itu sendiri.
Gangguan dalam proses komunikasi Gubernur Koster saat jumpa pers menyampaikan kebijakan publik tentang endek bisa muncul dari beberapa elemen, yaitu dari alat berupa microphone dan pengeras suara yang digunakan pada saat jumpa pers, wartawan yang meliput jumpa pers, atau channel Youtube, media cetak dan online yang digunakan sebagai saluran untuk menyiarkan pesan. Gangguan juga bisa dari si pengirim pesan (Gubernur Koster), si penerima pesan (masyarakat Bali) atau pesan itu sendiri (SE tentang endek).
Tatkala melakukan jumpa pers, Koster menyampaikan kebijakan publik SE No 4 Tahun 2021 tentang endek bahwa masyarakat Bali wajib menggunakan endek.
Padahal, SE No 4 Tahun 2021 tentang Penggunaan Kain Tenun Endek Bali/Kain Tenun Tradisional Bali ditetapkan tanggal 11 Februari 2021 SE No 4 pada huruf C angka 2 menyebutkan sebagai berikut: “Menghimbau kepada pimpinan instansi vertikal, pimpinan perguruan tinggi, Bupati/Walikota, pimpinan perangkat daerah, pimpinan BUMN dan BUMD, pimpinan perusahaan swasta, dan pimpinan organisasi/lembaga kemasyarakatan, hal-hal sebagai berikut menggunakan pakaian/busana berbahan kain tenun endek Bali/kain tenun tradisional Bali dalam berbagai aktivitas pada setiap hari Selasa”.
Namun, narasi Gubernur Koster pada jumpa pers tanggal 15 Februari 2021. Ia berkata: “Dan ini berlaku untuk semua, pekerja swasta juga, masyarakat umum lainnya. Ke mana pun pada setiap hari Selasa, ke mana pun melakukan aktivitas harus menggunakan busana atau pakaian bahan kain tenun endek Bali. Tidak hanya orang kantoran di pemerintah atau swasta, tetapi siapa juga pun. Jadi semua profesi, semua masyarakat Bali di hari Selasa menggunakan pakaian atau busana bahan kain endek Bali atau kain tenun tradisional Bali,”.
Dari narasi tersebut, poin yang menjadi perbicangan hangat adalah kata “harus” pada rentetan kalimat yang keluar dari Gubernur Koster. Kata “harus” dalam KBBI padanan katanya adalah “wajib”, “patut”, dan “mesti” (tidak boleh tidak).
Kata himbauan yang diganti dengan kata wajib mengakibatkan terjadinya distorsi makna, maka dapat disimpulkan bahwa gangguan proses komunikasi publik tentang endek muncul dari si pengirim pesan itu sendiri yaitu Gubernur Koster.
Gangguan itu terjadi akibat adanya perbedaan antara narasi yang langsung keluar dari mulut si pengirim pesan dengan isi dari teks yang termuat di SE. Gubernur Koster menggunakan kata “harus” dalam kalimat “instansi negeri, swasta, dan seluruh masyarakat Bali harus menggunakan endek setiap hari Selasa” sementara isi dari SE menyebutkan “menghimbau kepada instansi negeri dan swasta menggunakan pakaian berbahan endek tenun Bali setiap hari Selasa”. Artinya, si pengirim pesan yang telah mengaburkan makna dari pesan SE tersebut. Ia telah salah memilih pesan yang akan disampaikan ke publik.
Gangguan oleh si pengirim pesan mengakibatkan terjadi perubahan makna dari SE. Makna dari pesan yang terima oleh masyarakat Bali (penerima pesan) berbeda dengan makna yang tersirat dari SE.
Gangguan dari si pengirim pesan juga muncul akibat Gubernur Koster tidak terukur dalam menyampaikan kebijakan publik. Hal ini terjadi, kemungkinan akibat ia keliru memaknai SE atau tanpa sengaja keliru memilih diksi sehingga menggunakan kalimat yang berbeda dari makna yang tersirat dari lembar SE.
Untuk menghindari kekeliruan dalam melakukan komunikasi, seorang pejabat publik sepatutnya bisa melakukan komunikasi secara efektif sehingga makna dari respon publik sesuai dengan makna yang diharapkan oleh si pengirim pesan itu sendiri. [T]
___
Baca OPINI lain atau opini dari penulis GDE SUARDANA
___