Tiba-tiba wall media sosial dipenuhi dengan foto beberapa orang berjajar di depan angkul-angkul Pura Samuan Tiga, Gianyar dengan narasi “Selamat dan sukses kepada jajaran pengurus PHDI Pusat periode 2021-2026”.
Sontak publik tersentak melihat narasi itu di layar lima inci (smartphone). Terkejut, terkaget-kaget kenapa tiba-tiba ada pihak yang mengklaim sebagai pengurus PHDI yang sah melalui mahasabha luar biasa.
Bagi yang mendukung narasi itu, meluapkan euforia. Membagikan cerita kesuksesan menggelar mahasabha luar biasa karena dilakulan dengan dalih menyelamatkan PHDI dari pengaruh sampradaya, baik Sai Baba, Hare Krisna, atau ISCON. Klaim didukung 2/3 anggota PHDI Provinsi se-Indonesia. Dan sesuai AD/ART PHDI. Selain klaim 2/3 pemilik suara, pihak penggagas mahasabha luar biasa juga memiliki klaim lainnya, yaitu didukung 80 persen umat Hindu
Tentu banyak juga orang yang bertanya-tanya dari mana asal-usulnya tiba-tiba menyeruak ada pihak yang mengklaim kemenangan padahal kompetisi belum dimulai. Mereka mudah menelusuri fakta bahwa PHDI yang sah masih ada. Persiapan mahasabha XII sudah dilakukan. Pelaksanaannya akan dihelat sebulan lagi pada Oktober 2021.
Organisasi keumatan PHDI yang sah langsung merespon dengan menyatakan bahwa mahasabha luar bisa itu tidak sah/ilegal. Mahasabha luar biasa tidak sesuai dengan AD/ART organisasi.
Ormas berskala nasional serentak memberikan dukungan moral kepada PHDI di bawah kendali Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya.
Dukungan kepada PHDI diawali dengan sikap DPP Persadha Nusantara kemudian disusul ormas lainnya, yaitu DPP Majapahid Nusantara, DPP Ikatam Cendikiawan Hindu Indonesia (ICHI), DPP Prajaniti Hindu Indonesia, PP Kesatuan Mahasiswa Hindu Indonesia (KMHDI), PP Pandu Nusa, DPN Peradah Indonesia, FA KMHDI Pusat, PP MGPSSR, dan DPP Dosen Hindu Indonesia (DHI).
Selain dukungan dari ormas, dukungan PHDI provinsi dan kabupaten bergulir deras, diawali oleh PHDI Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jambi, Papua, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Banten.
Dukungan dari PHDI Kabupaten juga mengalir ke PHDI Pusat, yaitu PHDI Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cimahi, Kabupaten Bekasi, Balangan (Kalsel), Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur), Kabupaten Tangerang Provinsi Banten.
Dukungan besar dari PHDI provinsi bukti untuk dengan mudah mematahkan klaim bahwa mahasabha luar biasa didukung 2/3 pemilik suara sebagai syarat digelar mahasabha luar biasa.
Klaim dari penggagas mahasabha luar biasa dan fakta dukungan kepada PHDI Pusat periode 2016-2021 biarlah menjadi arena mereka untuk saling membuktikan yang mana legal dan yang mana ilegal.
Yang menarik bagi penulis dari isu kisruh majelis keumatan Hindu menjelang mahasbha XII adalah perdebatan di media sosial dari perspektif strategi komunikasi, yaitu propaganda.
Propaganda, menurut Encylopedia International merupakan strategi komunikasi massa yang dilakukan oleh individun atau kelompok dengan tujuannya untuk menyebarluaskan opini tanpa disertai alasan serta tanpa bukti kebenaran atau ketidakbenaran dari pesan yang disampaikan dengan tujuan untuk mempengaruhi opini publik.
Propaganda untuk memenangkan pertarungan opini dilakukan oleh kelompok yang mendukung mahasabha luar biasa melalui “orkestrasi” dengan cara membangun narasi yang sangat tajam, “siapa yang tidak mendukung mahasabha luar biasa adalah pro sampradaya”.
Dalam strategi propaganda tak jarang dilakukan dengan menghalakan segala cara, seperti menyebarkan kabar bohong (hoak), fitnah, adu domba, ujaran kebencian, perundungan, menuduh tanpa bukti, hingga tuduhan yang menyentuh ranah privat.
Dari perdebatan di media sosial sangat mudah mengenalinya. Pilihan diksi, yaitu sampradaya, Sai Baba, ISCON, terpapar sampradaya, sudah bisa ditebak berasal dari akun baik asli ataupun akun artifisial (tidak jelas pemilik akun) berasal dari akun pro mahasabha luar biasa.
Pemilik akun ini senantiasa menggunakan narasi dan diksi “terpapar sampradaya” untuk menuduh pihak yang mendukung PHDI Pusat. Mereka dituduh sebagai bagian dari Sai Baba, ISCON dan sebagainya.
Pilihan diksi dan narasi “terpapar sampradaya” nampaknya sengaja dibangun oleh “thingtank” dari gerakan pro mahasabha luar biasa. Hal ini tujuannya untuk membuat garis batas pemisah yang tegas bahwa yang pro mahasabha luar biasa adalah si penyelamat Hindu Bali dan nusantara. Sedangkan yang pro PHDI pusat adalah pihak yang tidak peduli Hindu Bali dan Nusantara.
Narasinya di-framing sedemikian rupa dengan tujuan netizen yang merasa memiliki dan menjaga Hindu akan tergerak untuk menentukan pilihannya, yakni membela dan menyelamatkan Hindu dari pengaruh sampradaya dan pada akhirnya mengakui mahasabha luar biasa PHDI sah dan legal.
Narasi yang telah di-framing sedemikian rupa itu kemudian disebar melalui media sosial. Para influencer atau key opinion leader menyebarkan narasi itu ke masing-masing jejaringnya yang telah ada di grup-grup media sosial, seperti facebook.
Mobilisasi pun dimulai. Setiap akun (asli atau palsu) pendukung mahasabha luar biasa menggerakkan jemarinya di layar lima inci (baca smartphone) membagikan narasi itu dengan cepat dan terorganisir. Orkestrasi narasi ini mudah mereka lakukan karena memiliki pendukung yang militan.
Akun-akun ini juga akan menyerang akun siapa saja yang mencoba memberikan argumen yang berbeda dengan memberikan stigma sebagai “pro sampradaya”.
Di awal, saat gerakan ini fokus pada sasaran tunggal yaitu sampradaya, orkestrasi dan mobilisasi memiliki pengaruh sangat kuat. Tak banyak yang mencoba membantah narasi itu.
Namun begitu narasi itu dibangun untuk melegalkan gerakan mahasabha luar biasa, perlawanan mulai bermunculan.
Tokoh-tokoh muda Hindu, ormas Hindu skala nasional, PHDI provinsi dan kabupaten melakukan counter isu terhadap narasi “pro sampradaya”. Perlawanan itu memberikan angin segar karena media sosial tidak lagi dijejali dengan narasi tersebut.
Dalam beberapa hari terakhir, opini nitizen di media sosial pun mulai kembali terpolarisasi. Tidak hanya didominasi oleh narasi yang diorkestrasi dan dimobilisasi oleh satu pihak untuk menyerang pihak yang berbeda pendapat.
Tentu saja, orkestrasi dan mobilisasi narasi dengan menstigma “orang yang tidak mendukung mahasabha luar biasa adalah pro sampradaya” jika berlangsung berlarut-larut akan sangat berbahaya.
Potensi perundungan itu tidak hanya akan terjadi di media sosial namun berpeluang menjadi gesekan di masyarakat. Sudah saatnya orkestrasi dan mobilisasi itu diakhiri.
Persaingan untuk ngayah di lembaga keumatan PHDI lakukanlah secara sehat. Bangun narasi dengan mengedepankan visi dan misi membangun Hindu. Tunjukkanlah kompetensi yang dimilik, karya membangun keumatan yang telah dilakukan, serta legacy akan akan ditorehkan untuk umat.
Bagi siapapun yang memiliki hasrat membangun Hindu melalui lembaga keumatan PHDI lakukanlah kompetisi dengan dengan semangat yang diwariskan tetua kita, “Sagilik-Saguluk Salunglung Sabayantaka, Paras-Paros Sarpanaya, Saling Asah, Asih, Asuh, yang artinya bersatu-padu, saling menghargai pendapat orang lain, dan saling mengingatkan, saling menyayangi, saling tolong-menolong.
Swaha!