Dewi Saraswati disebutkan sebagai salah satu simbol keberadaan Tuhan yang hadir dalam sains dan seni. Wanita cantik bertangan empat yang memegang sitar–alat musik petik, teratai, lontar, dan genitri, serta didampingi oleh angsa adalah visualisasi dari Dewi Saraswati. Penggambaran yang mewakili sifat dari sains dan seni di mata manusia. Sains dan seni yang mendampingi manusia dalam menjalani perkembangan peradabannya.
Sains dan seni itu seperti wanita. Wanita yang sangat cantik, lebih tepatnya. Banyak objek lain yang juga indah dan cantik tetapi tidak selengkap kecantikan wanita: misterius serta memikat untuk dikenali dengan lebih dalam. “Misterius” bisa jadi dikarenakan perkembangan dari berbagai peradaban dan kebudayaan yang membuat wanita berada pada posisi yang mengharuskannya untuk lebih sering menyembunyikan perasaan dan kemauannya: membuatnya penuh dengan teka – teki. Teka – teki yang hadir bersamaan dengan kecantikan yang selalu memanggil untuk dipahami. Sama seperti sains dan seni: indah, rumit, misterius, dan membuat penasaran.
Seperti simbol Dewi Saraswati yang menghadirkan seni dan sains secara bersamaan, sains dan seni sejatinya tidak dapat dibicarakan secara terpisah: merupakan satu mata uang dengan sisi yang berbeda. Walaupun secara kasat mata, seni dan sains tampaknya memang memiliki ciri khas yang kontradiktif: seni adalah kreativitas yang lentur sedangkan sains cenderung kaku dan rigid. Tetapi, bagaimana jika pandangan terhadap kedua objek itu diperluas?
Seni–walaupun lentur–memiliki pola – pola yang dapat dijabarkan dengan logika. Sesuatu disebut “indah” karena memiliki alasan walaupun alasan tersebut bersifat induktif dan sangat bergantung pada fenomenologi pengamatnya. Induktif dan fenomenologi yang benar – benar subjektif tentu saja masih dalam ranah sains dan dapat dijangkau dengan logika. Pada akhirnya, logika tersebut menjelma menjadi sebuah konsep yang dapat diturunkan dan diajarkan kepada orang lain dan generasi penerus. Sifat tersebut tentu saja sama dengan sifat sains dan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh praktis: adanya sekolah seni adalah bukti nyata atas pengakuan seni sebagai sains yang dapat dipelajari dan diturunkan.
Lalu, bagaimana dengan sains dan ilmu pengetahuan? Sifat dasar dari sains tentu saja kaku, rigid, dan penuh dengan logika terstruktur yang sangat disiplin. Walaupun demikian, di titik jenuh, ilmu pengetahuan dan sains pun perlu mencari celah kreativitas untuk mengembangkan dirinya. Kreativitas diperlukan untuk mengembangkan algoritma – algoritma lama menjadi algoritma – algoritma baru.
Tanpa adanya kreativitas, tentu saja rumus lama tidak akan terperbaharui, kaku, dan menjadi seperti dogma yang tidak dapat berkembang. Walapun pada akhirnya kreativitas tersebut harus diuji keabsahannya untuk memenuhi kriteria ilmu pengetahuan dan sains yang masuk akal, kreativitas dan imajinasi yang lentur dan serupa dalam mendalami seni sangat perlu dilakukan dalam pengembangan sains terbaru.
Di luar penggambaran wanita cantik, sifat dari sains dan seni dipertegas dengan sitar, lontar, genitri, angsa, dan teratai.
Sitar–alat musik petik–secara lugas menunjukkan adanya unsur seni dan kebudayaan. Musik yang lekat dengan keindahan adalah salah satu seni yang sudah menemani manusia sejak awal peradaban terbentuk. Hal serupa juga ditampilkan dengan lontar–buku–yang secara lugas menjelaskan adanya perkembangan pengetahuan yang ditulis–diceritakan, diajarkan, dan diturunkan dari generasi ke generasi
Selain simbol – simbol lugas yang ada, terdapat pula genitri yang melambangkan sesuatu yang terus berputar dan tidak ada habisnya seperti ciri khas dari proses pembelajaran yang benar. Saat mempelajari sesuatu, seseorang akan menemukan dua paradoks yang hadir secara bersamaan dan memiliki bobot yang sama persis dan membuat putaran menjadi seimbang: “semakin tahu” dan “semakin tidak tahu”. Masalah terjadi jika ketimpangan muncul. Saat pembelajar mendapati dirinya hanya “semakin tahu” tanpa merasakan adanya “ketidaktahuan baru”, maka sejatinya ia sedang terjebak di dalam dogma dan keyakinan yang semu. Dogma bahwa pengetahuan memiliki titik jenuh dan tidak dapat dikembangkan.
Di sisi lain, saat kondisi “semakin tidak tahu” saja yang hadir, maka sejatinya sang pembelajar tidak pernah bergerak dari tempatnya berdiri. Keseimbangan “semakin tahu” dan “semakin tidak tahu” adalah roda yang akan tetap menjaga manusia agar terus berkembang dan berjalan mengarungi semesta. Proses yang terus berjalan tanpa henti akan menjadikan manusia seperti angsa yang bijaksana: dapat memilah makanan di antara lumpur yang kotor. Lebih jauh lagi, kebijaksanaan tersebut akan membuat manusia menjadi indah seperti teratai: memiliki bunga idealisme yang tetap indah dengan cara berkompromi dan hidup dari realita rawa – rawa yang semrawut. [T]
___